JAKARTA – implementasi suplai listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dinilai belum siap secara fundamental meskipun minat untuk membangunnya tidak sedikit.
Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan kesiapan Indonesia tergantung pelaku usahanya mau diatur tidak. “Kan orang-orang kita paling nggak mau diatur,” kata Agus, Selasa (21/3).
Indonesia menurut Agus, belum siap untuk mengimplementasikan PLTS Atap. Selain itu dia menilai pengembangan PLTS Atap juga belum jelas strateginya antara yang solar sell, di atas atap, atau secara luas. “Kemudian juga belum berbicara mau off grid atau on grid,” ujar Agus.
Menurutnya, Vietnam sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang gencar memakai PLTS atap akhirnya tumbang karena regulasinya sendiri “Gara-gara tidak berjalan lancar secara fundamental lalu disetop mulai 2021 hingga 2030. Siapa yang bayar untuk membangun baterai, transmisi dll?” tanyanya.
Diketahui, selama kurun waktu 1 tahun yaitu periode 2019 – 2020, terjadi penambahan kapasitas hampir 8 GW untuk PV Rooftop dan hampir 8 GW untuk solar farm. Namun, hal tersebut meninggalkan persoalan baru bagi sistem kelistrikan Vietnam, di mana akhirnya pelanggan, investor dan Vietnam Electricity/EVN selaku offtaker harus menanggung pil pahit itu.
Selain itu, intermintensi menjadi salah satu kelemahan pembangkitan listrik dari tenaga surya karena pemasang/pengusaha PLTS tidak bisa mengatur iradiasi matahari.
Intermitensi sebenarnya menggambarkan terputus-putusnya produksi listrik pembangkit listrik surya maupun angin yang sangat bergantung pada faktor cuaca. Dengan demikian, kondisi ini mengganggu keandalan listrik sehingga kualitas layanan jadi tidak maksimal.
Sementara itu, Erlangga Bayu, perwakilan Asosiasi Pembangkit Surya Atap mengakui masih banyak kendala terkait dengan implementasinya.
Kendala tersebut juga terkait dengan sejumlah kebijakan, baik di daerah maupun tingkat nasional. Saat ini diketahui, masih dilakukan harmonisasi atas kebijakan tersebut karena dianggap belum matang bagi pemerintah dan pengusaha. “Sehingga implementasinya masih banyak hambatan,” ujar Erlangga.
Saat ini, pemerintah tengah mengharmonisasi pengusahaan dan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dengan merevisi aturan tentang PLTS Atap.
Pembangunan _renewables_ tidak bisa dihindari tetapi harus berlangsung tanpa membawa dampak yang berat untuk masyarakat dan negara. Hingga saat ini, upaya penurunan karbon juga telah dilakukan pemerintah Indonesia, target emisi yang tadinya 29% sudah dinaikkan menjadi 31,89%.
Di Vietnam konsepnya adalah jual beli dimana fit in tariff yang berlaku tinggi banget. Sedangkan pada permen 26/2021 jangankan dijual pada pasal 29 disebutkan larangan untuk jual beli listrik PLTS Atap. Jika listrik PLTS lebih besar dari yang dimanfaatkan sendiri, PLN mendapatkan dengan gratis. Disisi lain, over supply dikatakan karena adanya klausul take or pay pada kontrak PLN dengan PLTU batubara. Dimana pakai tidak dipakai harus PLN harus bayar. Kalau begini kenapa harus PLTS yang dikekang untuk implementasi ?