JAKARTA – Indonesia menyampaikan pernyataan nasionalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Ia menyebutkan berbagai komitmen iklim yang Indonesia lakukan, termasuk peningkatan ambisi iklim dengan menyerahkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) pada September lalu. Ma’ruf menegaskan agar kesepakatan iklim perlu segera diimplementasikan dengan dukungan internasional yang jelas di tingkat nasional dalam pendanaan aksi iklim, penciptaan pasar karbon dan investasi transisi energi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang selain perlu meningkatkan lagi ambisi iklim Indonesia, untuk mempercepat implementasi transisi energi, Indonesia perlu mendorong masuknya dukungan pembiayaan internasional untuk mitigasi perubahan iklim melalui penguatan perencanaan pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, penguatan sistem energi bersih, dan persiapan proyek-proyek yang bankable. Hal ini perlu didukung oleh kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian berinvestasi dengan risiko yang rendah dan transparansi informasi bagi publik, serta mendorong keterlibatan masyarakat.
Pada Enhanced NDC, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi GRK dari 29% di dokumen updated NDC menjadi 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional (conditional). Meski merupakan langkah maju, IESR menilai target ini masih belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong upaya yang lebih ambisius bagi negara di dunia untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
Salah satu yang menjadi faktor peningkatan target penurunan emisi adalah naiknya target reduksi emisi di sektor energi dari 11% di Updated NDC menjadi 12,5% (unconditional) dan dari 13,9% menjadi 15,5% (conditional).
“Agar selaras dengan target Persetujuan Paris, Indonesia perlu meningkatkan target bauran energi terbarukannya menjadi 42% di 2030. Sementara, di Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 yang menjadi landasan Enhanced NDC ini, bauran energi terbarukan hanya 43% di 2050,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Selasa (8/11/2022).
Menurutnya, peluang peningkatan target bauran energi terbarukan terbuka lebar dengan pelaksanaan komitmen pensiun dini 9,2 GW PLTU batu bara.
Fabby mengatakan, melalui Perpres 112/2022, Pemerintah membuka kesempatan untuk melakukan percepatan penghentian operasi PLTU sebelum 2050.
“Di COP ini, komitmen tersebut harus digaungkan dan kebutuhan pendanaan untuk pensiun dini PLTU, yang rata-rata berusia 13 tahun, dan dukungan pendanaan dari negara maju harus disampaikan lugas, diikuti dengan target yang ambisius. Saat ini kepastian target pensiun dini PLTU sebelum 2030 belum disepakati oleh pemerintah, dan masih menggunakan target PT PLN yang berbeda dengan target 9 GW oleh Kementerian ESDM,” kata Fabby.
Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Universitas Maryland, pada 2030 dibutuhkan biaya sekitar USD 4,6 miliar untuk pengakhiran 9,2 GW PLTU dan US$27,5 miliar hingga 2045 untuk seluruh PLTU. Sementara, untuk dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030. Meski terlihat jumlahnya besar, namun manfaat yang diraih dari pensiun dini PLTU jauh lebih besar di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.
Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi IESR, menjelaskan biaya pembangkitan listrik energi terbarukan seperti PLTS sudah lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru, dan bahkan dalam dekade ke depan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU batubara yang ada saat ini. Secara ekonomi, manfaat dari pensiun PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan dapat mengurangi biaya pembangkitan listrik rata-rata dalam jangka panjang. “Selain itu, tersedia manfaat kesehatan, naiknya ketersediaan pekerjaan hijau di sisi sosial, serta secara lingkungan, dapat menghindari biaya retrofit pengendalian polusi udara, peningkatan kualitas udara, penghematan air dan kualitas air, dan pengurangan emisi GRK,” jelas Deon Arinaldo.
Kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia mencapai US$135 miliar menuju tahun 2030 dan meningkat menjadi US$455 miliar dan US$633 miliar dalam masing-masing dekade berikutnya. Investasi ini untuk membangun energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, sistem penyimpanan listrik (storage), investasi efisiensi energi, dan juga pengembangan jaringan transmisi dan distribusi. Oleh karena itu, penting agar fokus pembiayaan publik dan juga dukungan pembiayaan internasional diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang positif untuk sistem energi bersih.(RA)
Komentar Terbaru