PEMERINTAH Indonesia secara resmi telah mengirimkan dokumen NDC baru ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 21 Juli 2021 untuk dibahas dalam Konferensi Iklim ke-26 di Glasgow pada 31 Oktober-12 November 2021. NDC adalah nationally determined contributions atau kontribusi nasional yang ditetapkan, merujuk pada pengurangan emisi karbon 2030 untuk menekan suhu bumi tak naik di atas 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850.
Dalam surat pengantar dokumen tersebut, pemerintah menjelaskan ada lima penguatan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim hingga 2024 dan 2030.
Ada perubahan sedikit dalam dokumen terbaru tersebut elaborasi bidang kelautan untuk skema adaptasi perubahan iklim. Indonesia masih memakai dua skema dalam pengendalian perubahan iklim, yakni melalui mitigasi dan adaptasi.
Mitigasi perubahan iklim melalui penurunan emisi karbon. Target Indonesia masih sama dengan NDC sebelumnya, sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030 dengan prediksi emisi sebanyak 2,87 Gigaton setara CO2.
Dalam dokumen skenario jangka panjang ketahanan iklim 2050, pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa nol-emisi bersih atau net-zero emissions akan tercapai pada “2060 atau lebih cepat”. Kalimat mengambang ini menggembirakan, karena lebih cepat sepuluh tahun dari perhitungan KLHK, tapi meleset 10 tahun dari Perjanjian Iklim Paris 2015.
Target net-zero emissions 2060 hanya muncul dalam rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengajukan empat skenario tahun net-zero emissions, yakni 2045, 2050, 2060, dan 2070.
Ada dua sektor andalan untuk mencapainya, yakni mengurangi emisi dari penggunaan lahan di sektor kehutanan dan transisi energi, selain pertanian, proses produksi, dan limbah.
Dalam beberapa tahun kebelakang isu transisi energi terus berkembang dengan sangat pesat. Tidak hanya nasional tapi dunia internasional berlomba-lomba mulai melakukan transisi energi. Di tanah air salah satu wujud transisi energi adalah dengan berbagai upaya untuk mengejar target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% dalam bauran energi mix nasional pada tahun 2025.
Mengejar target yang sudah dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) itu juga jadi salah satu cara untuk menuju nol emisi karbon (Net Zero Emission) pada tahun 2060. Salah satu langkah awal yang dilakukan adalah rencana PT PLN (Persero) untuk mempensiunkan seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batu bara. PLN akan mulai secara bertahap meninggalkan batu bara untuk pembangkitnya pada tahun 2022 dengan tidak menerima kontrak baru untuk pembangunan PLTU.
Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN, mengungkapkan upaya mempensiunkan PLTU secara masif kemudian akan dilakukan bertahap mulai tahun 2025 dimana PLTU dengan total kapasitas 1,1 Gigawatt (GW) akan digantikan dengan pembangkit listrii berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Selanjutnya pada tahun 2030,PLN mulai mempensiunkan PLTU subcritical. “Retirement subcritical tahap pertama dengan kapasitas 1 GW,” kata Zulkifli belum lama ini.
Lalu dilanjutkan pada 2035 dengan mempensiunkan atau mematikan PLTU subcritical tahap kedua dengan total akapasitas 9 GW. Selanjutnya tahun 2040 PLN mulai tidak gunakan PLTU supercritical dengan total kapasitas pembangkitnya mencapai 10 GW.
Pada 2045 hingga 2055 akan dilanjutkan mempensiunkan PLTU bertipe ultra supercritical tahap pertama dengan total kapasitas pembangkit sebesar 24 GW. Ini dilakukan secara bertahap hingga 2055 dan diakhiri dengan mempensiunkan PLTU ultra supercritical dengan total 5GW pada 2055.
Sebagai ganti dari PLTU, pemerintah punya langkah yang bisa dibilang sangat ambisius yakni meningkatkan porsi pembangkit EBT dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam draft RUPTL 2021-2030 porsi pembangkit listrik berbasis EBT meningkat menjadi 51,6% meningkat dibanding RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30%.
Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), mengungkapkan salah satu andalan pembangkit EBT untuk mengganti PLTU nanti adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kapasitas PLTS dalam draf RUPTL hijau yang terbaru nanti setidaknya mencapai sekitar 5 gigawatt (GW).
“Dari sisi kapasitas memang ini masih didiskusikan yang masuk RUPTL berapa GW, tapi angkanya sudah di 5 GW akan masuk di RUPTL untuk 10 tahun ke depan,” kata Dadan.
Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025. Target tersebut kemungkinan besar akan ditingkatkan dalam Grand Strategy Energi Nasional (GSEN). Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dewan Energi Nasional (DEN) tengah mengkaji adanya potensi tenaga surya untuk mewakili sepertiga atau sekitar 17.6 GW dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035.
Pemerintah sendiri mencatat potensi tenaga surya untuk dijadikan tenaga listrik mencapai 207 GW. Sementara dalam laporan kajian yang dirilis oleh Institute for Essential Service Reform (IESR) berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp. IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.
Dalam kajian Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential yang disusun Daniel Kurniawan, peneliti IESR, menjelaskan ada 23 jenis tutupan lahan yang dinilai sesuai untuk pembangunan PLTS. Kemudian setelah diseleksi lagi tersisa hanya sembilan jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.
“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelas Daniel.
Menggunakan skenario paling optimistis, sembilan jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.
“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,”ungkap Daniel.
Tidak hanya PLTS, ikhtiar dalam rangka merintis cita-cita menuju nol emisi karbon juga dilakukan melalui penggunaan biomassa yang disiapkan untuk jadi pengganti batu bara di PLTU.
PLN sendiri telah memiliki program green booster yang salah satunya adalah co-firing biomassa. Bagi PLN, co-firing biomassa juga tidak memerlukan investasi besar seperti membangun pembangkit listrik. PLN hanya perlu mengalokasikan tambahan biaya operasi atau Operational Expenditure (Opex).
“Dari semua komitmen kami adalah co-firing biomassa bisa kita masukan, bisa ke PLTU eksisting blanded dengan PLTU Batu Bara untuk capai 23% tahun 2025,” kata Muhammad Ikbal Nur, Direktur Perencanaan Korporat PLN.
Pada awal tahun ini PLN telah uji coba co-firing biomassa pada 32 PLTU. Jumlah tersebut sudah lebih dari setelah target penerapan co-firing biomassa di 52 PLTU hingga 2024 yang ditargetkan PLN dengan total kapasitas 18.154 MW potensi yang diterapkan co-firing biomassa.
Pemanfaatan co-firing biomassa di PLTU sendiri sudah ada dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038. Berdasarkan kalkulasi PLN untuk memenuhi kebutuhan 1% cofiring di PLTU di Indonesia, maka dibutuhkan biomassa sebanyak 17.470 ton per hari atau 5 juta ton wood pellet ton per tahun, ekuivalen dengan 738 ribu ton per tahun pellet sampah.
Saat ini terdapat tiga tipe PLTU yang bisa diterapkan co-firing biomassa yakni, 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari.
Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah atau hasil hutan berupa kayu. Ini dicampurkan 1% hingga 5% dari total kebutuhan pembangkit listrik terhadap bahan baku batu bara.
EBT Menuju Ekonomi Lebih Baik
Indonesia punya banyak pilihan energi terbarukan yang siap untuk dikembangkan. Kini yang diperlukan adalah konsistensi serta kemauan dari para pemangku kepentingan. Apakah modal besar itu mau dimanfaatkan dengan segera atau tidak. Karena kalua dilihat dari momentum, sekarang adalah momentum yang sangat tepat. EBT tidak hanya bisa jadi solusi atas masalah energi tapi juga ekonomi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kajiannya yang direkomendasikan kepada Presiden Joko Widodo menunjukkan bahwa EBT bisa menjadi pendukung pemulihan ekonomi paska pandemi. Salah satu pembangkit EBT yang bisa jadi solusi adalah PLTS Atap. Menurut Fabby, melalui penciptaan lapangan kerja melalui program alih subsidi listrik menjadi instalasi PLTS Atap di rumah pelanggan listrik PLN 450 dan 900 VA (1 kW sampai dengan. 1,5 kW per rumah) yang menerima subsidi melalui penugasan kepada PT PLN dan bermitra dengan swasta. “Setiap 1 GW instalasi PLTS Atap dapat menciptakan lapangan kerja minimal 30 ribu orang. Pelanggan 450VA dan 23,7 juta dan 900VA ada 7,2 juta,” kata Fabby.
Dalam kajiannya Fabby menjelaskan biaya yang disiapkan bisa sebesar Rp15 triliun per tahun untuk melakukan penetrasi subsidi PLTS Atap untuk 700 ribu – 1 juta pelanggan PLN bersubsidi per tahun itu. Melalui program itu maka beberapa multiplier effect bisa tercipta. Pertama adalah penyerapan tenaga kerja. Hal itu bisa diwujudkan melalui reorientasi kartu pra kerja untuk menyediakan pelatihan bersertifikasi yang trampil dalam pemasangan instalasi panel surya. “Pelatihan tenaga trampil seperti surveyor, installer,supervisor dilakukan selama 2-3 bulan bekerjasama dengan BUMN dan perusahaan swasta yang jadi EPC PLTS Atap,” kata Fabby.
Per tahun menurut Fabby serapan tenaga kerja terampil (green skilled workforce) bisa mencapai 20 ribu hingga 22 ribu orang. Lalu ada 10 ribu tenaga kerja lain secara tidak langsung.
Selain tadi masalah tenaga kerja yang terselesaikan, hasil akhir dari penetrasi tersebut diantaranya terjadi penurunan subsidi sebesar Rp1,3 triliun per tahun. Lalu dari sisi lingkungan terjadi penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 1,05 juta ton CO2 per tahun untuk setiap 1 GW PLTS Atap yang terpasang dan digunakan. “Serta tumbuhnya ekonomi hijau rendah karbon di Indonesia,” kata Fabby.
[…] Baca selengkapnya di Dunia Energi […]
[…] Read more Dunia Energi […]