JAKARTA – Fraser Institute, lembaga survei ekonomi energi asal Kanada memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak menarik bagi investor minyak dan gas bumi. Hal itu tertuang dalam laporan bertajuk Global Petroleum Survey 2018.
Fraser menilai 80 yurisdiksi berdasarkan jumlah cadangan minyak bumi. Sebanyak 80 yurisdiksi itu menghasilkan 68 persen produksi minyak dan gas dunia.
Ada 11 yurisdiksi dengan cadangan minyak bumi terbesar, Indonesia merupakan salah satunya. Yurisdiksi lain masuk ke dalam kategori tersebut adalah Rusia, Irak, Libya serta Venezuela. Berdasarkan kategori tersebut, Texas dianggap sebagai yurisdiksi paling menarik bagi investor. Menyusul Texas, ada Rusia, Alberta (Kanada), Mesir, dan Mozambique. Nigeria, Indonesia, Irak dan Libya menjadi lima yurisdiksi terbawah.
Jika jumlah cadangan minyak bumi tidak dijadikan pertimbangan, para responden menilai ada 10 yurisdiksi dengan hambatan investasi terbesar yang membuat mereka berat untuk berinvestasi. Venezuela tetap menempati posisi pertama sebagai yurisdiksi yang paling tidak diminati.
Posisi berikutnya secara berurutan adalah Yaman, Tasmania (Australia), Victoria (Australia), Libya, Irak, Ekuador, New South Wales (Australia), Bolivia, dan Indonesia.
Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat 71 dari 80 yurisdiksi pada 2018. Tahun sebelumnya, saat ada 97 yurisdiksi, Indonesia berada di posisi 92.
Pemerintah menilai hasil survei tersebut tidak valid dan dianggap tidak relevan dengan kondisi yang ada sekarang.
Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan lima hal penting yang menyatakan survei Fraser tersebut tidak valid. Pertama, dalam laporan Fraser 2018 tersebut, disebutkan bahwa penyusunan kontrak migas gross split dirancang secara buruk dan menghambat investasi. Kenyataannya, saat lelang blok migas pada 2018 terdapat sembilan blok yang laku dengan skema gross split. Bahkan, Thailand yang dalam survei Fraser 2018 rangking-nya lebih baik dari Indonesia, sepanjang tahun lalu hanya mencatat dua blok migas yang laku.
“Pada 2017 dan 2018 terdapat sejumlah 36 blok migas dengan skema gross split dan 14 diantaranya merupakan hasil lelang. Sebaliknya pada 2015 dan 2016 tidak ada lelang blok migas yang laku satupun dengan skema cost recovery. Artinya investor merespon,” kata Agung kepada Dunia Energi, Kamis (10/1).
Kedua, proses penyusunan peraturan terkait kontrak migas gross split sudah melibatkan para investor. Bahkan perubahan peraturan gross split juga dilakukan untuk mengakomodir investor dengan tetap menjaga keuntugan negara jangka panjang lebih baik. Perubahan tersebut antara lain pembebasan pajak saat eksplorasi, penambahan split kontraktor tidak lagi dibatasi atau bisa lebih dari 5%, penemuan cadangan pada lapangan komersial dapat tambahan split 3%, lapangan migas frontier onshore dapat tambahan split 4%, blok migas non-konvesional seperti CBM dan shale gas dapat tambahan split menjadi 16%.
“Sebelumnya investor tidak dapat itu, tapi kami akomodir masukan investor selama keuntungan negara jangka panjang tetap terjaga, dan investasi menjadi lebih bergairah. Kenyataannya sekarang 14 blok migas gross split laku dilelang pada 2017 dan 2018. Padahal dua tahun sebelumnya tidak laku sama sekali. Artinya survei Fraser bertolak belakang,” ungkap Agung.
Ketiga, Agung mengakui bonus tanda tangan dalam kontrak migas gross split lebih besar dibanding era cost recovery. Komitmen kerja pasti investasinya juga jauh lebih besar. Itu bertujuan agar penerimaan negara lebih baik, dan jaminan investasi kontraktor agar pencarian cadangan dan produksi migas bisa lebih besar.
“Dari total 36 kontrak migas gross split, bonus tanda tangan untuk pemerintah sebesar Rp13,4 triliun. Sedangkan komitmen investasi kontraktor sebesar Rp31,5 triliun yang digunakan untuk pencarian cadangan migas baru dan peningkatan produksi,” katanya.
Tidak hanya, menurut Agung, survei Fraser 2018 untuk kategori negara yang dilakukan pada 80 negara pada periode Mei hingga Agustus 2018, sehingga informasinya bisa jadi kurang maksimal. Dalam survei 2018 juga tercatat bahwa angka survei perception index Indonesia mengalami peningkatan menjadi 47,16 dibanding 2017 sebesar 35,02.
Terakhir, invetasi migas 2018 sebesar US$ 12,5 miliar, naik dibanding 2017 sebesar US$ 11 miliar. “Artinya secara kuantitatif dilihat dari berbagai aspek, iklim investasi migas lebih baik dan progresif,” tandas Agung.(RI)
Komentar Terbaru