CUACA buruk, jarak pandang terbatas, dipukul ombak, dan dihempas gelombang setinggi lima meter sudah jadi menu yang kerap dialami oleh La Ode Rizky Nuralamsyah (32 tahun), 2nd Officer atau juru navigasi Pertamina Shipping. Meskipun menggunakan kapal besi tetap saja kengerian mengarungi samudera masih bisa dirasakan.
Selain risiko besar mempertaruhkan nyawa, para pelaut juga punya ‘emosi’ lain lantaran harus meninggalkan keluarga. Kegusaran dirasakan semakin berat saat pandemi COVID-19 menyerang sejak awal 2020.
“Ayah kapan pulang?” kata Rizky menceritakan momen saat putra semata wayangnya bertanya setiap kali mereka berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp maupun sambungan telepon. Dia sering mendapatkan pertanyaan itu saat bertugas di MT Sanga Sanga, kapal pengangkut BBM.
Sekitar 10 bulan lamanya Rizky bertugas di MT Sanga Sanga. Kapal yang dioperasikan oleh PT Pertamina Trans Kontinental, cucu usaha PT Pertamina (Persero), berkapasitas 30.000 Deadweightton (DWT) yang mengangkut Biosolar (B30) untuk didistribusikan ke Kalimantan.
Masa tugas Rizky mau tidak mau harus diperpanjang selama empat bulan akibat pandemi. Maklum, untuk mengurangi risiko penularan virus, pemerintah daerah hampir di seluruh Tanah Air memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pertamina juga berperan dalam upaya memutus mata rantai virus sehingga tidak ada mobilisasi pekerja atau crew change kapal selama beberapa bulan sejak awal pandemi pada Maret 2020. Untungnya kemajuan teknologi bisa menjadi sarana untuk bisa sekedar mengobati sedikit rindu si kecil kepada sang ayah yang meninggalkannya sejak September 2019.
“Alhamdulillah masih bisa berkomunikasi via telepon atau chat dan video call by WhatsApp yang menjadi hiburan utama,” cerita Rizky kepada Dunia Energi, Minggu (25/10).
Keikhlasan Rizky menjalani kewajibannya di kapal tidak lepas dari dukungan keluarga. Nadya Farahnaz Riestiyani (32 tahun), istri Rizki kepada Dunia Energi saat berkunjung ke rumahnya di wilayah Harapan Jaya, Bekasi, menceritakan sejak awal dia dan Rizky siap menjalani kehidupan sebagai keluarga pelaut. Dia pun terus menanamkan mental itu kepada buah hatinya, La Ode Fatih Ammar Zafir. Hanya saja adanya pandemi COVID-19 membuat kepergian kepala keluarga terasa berbeda, terlebih bagi si buah hati.
“Sudah biasa ditinggal (tugas) jadi mengalir aja gitu, cuma pas pandemi dan waktunya pulang tapi nggak pulang-pulang agak cemas juga takut ketahan (di kapal) lebih lama,” ujar Nadya.
Kecemasan itu sudah mulai dirasakan Ammar. Bocah yang tahun ini sudah menginjak umur 4 tahun terlihat sering memegang dan memandangi handphone milik ibunya. Bukan untuk bermain game tapi menunggu panggilan telepon atau video call masuk dari Ayah. Harap-harap cemas mungkin juga penasaran terus menyelimutinya. “Bu, dede mau telepon ayah, belum bisa ya sekarang?,” katanya sambil terus memijit-mijit layar handphone.
Telepon atau video call jadi andalan untuk mengobati rasa rindu Ammar. Tapi tentu komunikasi tidak bisa selalu lancar karena selain adanya jam kerja sinyal pastinya tidak menentu lantaran Rizky berada di tengah lautan. Nadya menceritakan biasanya ada jam-jam tertentu mereka baru bisa berkomunikasi, terkadang agar lebih singkat mereka hanya saling berkirim voice note (pesan suara). Menurut dia, putra tunggal mereka itu sadar sudah tidak berjumpa dengan ayahnya dalam waktu yang lebih lama dari biasanya. “Ayah pulangnya kapan bu? Dede kangen ayah bu,” kisah Nadya menirukan pertanyaan yang sering dilontarkan Ammar.
Sebelum serangan pandemi seharusnya Rizky bertugas selama enam bulan sejak September tahun lalu hingga Maret 2020 dan mendapatkan jatah cuti baru kemudian bertugas lagi. Namun pagebluk virus yang berasal dari Wuhan, China ini membuat Rizky harus rela dan ikhlas mengikuti protokol yang diterapkan pemerintah dan Pertamina untuk tidak memasuki salah satu pusat penyebaran virus di wilayah Jabodetabek kala itu. Ia pun maklum dan sadar hal itu kondisi itu tidak bisa dihindari demi kesehatan dan keselamatan keluarga tercinta. Dia baru diizinkan cuti atau turun kapal pada Juni lalu. Itu pun harus melalui serangkaian tes mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Selain swab test – PCR (Polymerase Chain Reaction) sebelum terbang ke Jakarta dia diharuskan menjalani isolasi mandiri.
Apa yang dirasakan Rizky juga dirasakan oleh hampir seluruh pekerja kapal Pertamina. Rasa rindu kepada keluarga mereka alihkan dengan mempererat tali silaturahmi antar sesama pelaut. Dia menceritakan dukungan dari rekan-rekan diatas kapal sangat membantu mereka menjalani hari-hari berat ketika harus jauh dari keluarga tercinta.
“Kami dituntut untuk memang saling support disetiap keadaan karena di atas kapal ini lah rumah kedua bahkan bisa dibilang rumah pertama kami karena hidup kita dihabiskan lebih banyak di atas kapal ketimbang di rumah bersama keluarga,” ungkap Rizky.
Saling memberikan dukungan antar sesama pelaut selalu jadi obat mujarab ketika perasaan jenuh maupun semangat mulai luntur ketika berada di kapal. “Semoga pandemi ini cepat berakhir, karena hampir seluruh kawan-kawan diatas kapal meningkat stres-nya dengan adanya pandemi,” ungkap Rizky.
Pergantian shift pekerja akhirnya bisa dilakukan pada bulan Juli lalu. Akan tetapi baru 1,5 bulan melepas rindu bersama anak dan istri tercinta panggilan tugas kembali harus dijawab. Sudah dua bulan ini Rizky kembali berlayar diatas kapal MT Kasim berkapasitas 6.000 DWT, pengangkut BBM jenis Premium, Pertamax, dan Biosolar untuk kawasan Sulawesi. MT Kasim mengirimkan pasokan BBM dari Terminal BBM (TBBM) Baubau ke beberapa wiliayah seperti Donggala, Parepare, dan Palopo. Meski berat, Rizky yakin pengorbanannya jauh dari keluarga tidak akan sia-sia lantaran tujuan dari pekerjaannya sebagai pengabdian kepada negara untuk membantu pemenuhan energi ke masyarakat.
“Perasaannya seperti biasa disaat ada panggilan tugas negara sedih dan senang selalu bercampur. Selain tugas negara, ini juga menjadi kewajiban ibadah sebagai kepala rumah tangga,” katanya.
Rizky dan teman-teman pelaut Pertamina merupakan garda terdepan dalam pendistribusian bahan bakar baik BBM maupun Liquefied Petroleum Gas (LPG) ke seluruh pelosok negeri. Sebagai negara kepulauan, jalur laut jadi jalur utama dalam pendistribusian bahan bakar. Bayangkan jika tidak ada mereka, pasokan BBM maupun LPG pasti akan langsung terganggu maka dari itu kehadiran mereka ditengah pandemi tetap masih sangat dibutuhkan.
Ada tiga moda transportasi dalam pendistribusian BBM dan LPG, yakni darat, laut dan udara itu yang membuat pendistribusian BBM dan LPG di Indonesia oleh Pertamina bukanlah perkara mudah. Tentu faktor geografi jadi salah satu penyebab utamanya yang membuat rantai distribusi bahan bakar panjang dan bertingkat. Tidak jarang pendistribusian BBM atau LPG ke suatu wilayah harus melalui multi moda transportasi sekaligus tidak hanya terdiri dari tiga moda utama darat, laut dan udara.
Ini disebabkan setiap moda transportasi sebenarnya masih memiliki berbagai tantangan, misalnya transportasi laut. Kerumitan kerap ditemui apalagi jika membawa bahan bakar misalnya BBM ke pulau-pulau kecil yang dikelilingi perairan dangkal serta belum tersedianya infrastruktur dermaga memadai sehingga menyulitkan untuk dilakukan bongkar muat BBM. Ketika telah dibongkar muat dan diangkut dengan menggunakan transportasi darat kesulitan tidak berhenti. Di darat yang lokasinya sangat tersebar, masih banyak infrastruktur jalan dan jembatannya sangat terbatas.
Penggunaan multi moda transportasi tentu berimbas terhadap biaya angkut. Berdasarkan data Pertamina untuk penggunaan transportasi darat biayanya sekitar Rp190 per liter. Lalu multimoda air sekitar Rp3.000 per liter dan multimoda udara menelan biaya sekitar Rp15.100 per liter.
Mulyono, Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina, menjelaskan penggunaan multi moda transportasi satu-satunya cara untuk menyalurkan BBM maupun LPG di Tanah Air. Dia menjelaskan secara sederhana, pendistribusian BBM dari kilang diangkut dengan kapal menuju terminal tangki utama. Lalu diambil lagi dan diangkut dengan kapal menuju TBBM. Dari sana BBM diangkut menggunakan mobil tangki ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) baru kemudian dinikmati masyarakat.
Namun pola sederhana seperti itu hanya bisa terjadi di kota-kota besar. Sementara wilayah Indonesia terdiri atas 13 ribu lebih pulau serta kantung-kantung pemukiman masyarakat yang berada di wilayah pedalaman.
Mulyono mencontohkan pendistribusian bisa menggunakan lebih dari tiga moda sekaligus. Jadi minyak mentah (crude oil) yang diproduksi sumur-sumur minyak diangkut dibawa untuk diproses lebih lanjut agar di level midstream atau ke kilang untuk menghasilkan berbagai produk nantinya. Pengangkutan gunakan kapal-kapal tangker berukuran besar dengan kapasitas ada yang mencapai 300 ribu ton, 100 ribu ton, 80 ribu ton, 30 ribu ton atau ada juga yang 17 ribu ton. “Itu 300 ribu ton ukurannya 4 lapangan sepak bola disambung sekitar 150 meter, panjang 400 meter,” ujar Mulyono di Jakarta beberapa waktu lalu.
Setelah crude oil diproses di kilang dan menjadi berbagai produk BBM yang kemudian diangkut lagi dengan kapal atau pipa, atau bisa juga dengan Rail Tank Wagon (RTW) atau kargo menggunakan kereta api ke depot. Setelah sampai di depot BBM selanjutnya dibawa dengan mobil tangki ke SPBU, atau Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) untuk Avtur atau pasok ke industri langsung. Pola itu adalah pola ideal dalam pendistribusian BBM.
Tapi tidak semua distribusi secara ideal itu bisa dilakukan untuk seluruh wilayah. Indonesia adalah negara besar. Masih ada wilayah pedalaman atau wilayah terluar belum memiliki fasilitas penyimpanan seperti terminal atau tangki penyimpanan sehingga BBM harus diangkut dan dikemas dalam bentuk drum. Setelah diangkut mobil tangki atau Landing Craft Tank (LCT) kemudian drum BBM dibawa lagi oleh truk barang baru kemudian ke SPBU.
Jika masih belum bisa menjangkau wilayah yang dituju dengan gunakan moda transportasi darat dan laut, diperlukan moda transportasi udara untuk mengangkut BBM misalnya ke wilayah pegunungan di Papua. Setelah pesawat mendarat masih harus dipindahkan lagi menggunakan truk barang agar sampai ke SPBU.
Masih berdasarkan data Pertamina, setiap tahunnya rata-rata Pertamina mengapalkan 20 ribu kali BBM dengan volume rata-rata lebih dari 50 juta Kiloliter (KL). Untuk semester I 2020 saja, jumlah BBM yang sudah diangkut melalui kapal mencapai 24,6 juta kiloliter.
Proses produksi, pengolahan hingga distribusi BBM Pertamina melibatkan banyak fasilitas antara lain enam kilang, tujuh unit instalasi, tujuh unit terminal transit, dua floating storage, 94 TBBM (Group) 54 DPPU, tiga jobber, 3.930 mobil tangki, tiga unit pesawat air tractor. Kemudian hingga 22 oktober Pertamina gunakan 295 kapal salurkan BBM di dalam negeri.
Kenyataan itulah yang membuat tidak berlebihan jika pola pendistribusian BBM di Indonesia dikatakan sebagai pola distribusi BBM paling rumit di dunia. Menurut Mulyono jika digambarkan, rute pelayaran kapal-kapal pengangkut BBM Pertamina sama seperti urat nadi yang ada dalam tubuh manusia.
Bayangkan, tubuh kita dilihat sebagai Indonesia sementara rute kapal tanker itu seperti pembuluh darah. Kalau pembuluh darah mendistribusikan darah ke seluruh tubuh, itulah rute kapal-kapal Pertamina distribusikan BBM ke seluruh wilayah Indonesia. Rute kapal sebagai urat nadi energi ini Indonesia harus dijaga betul. Begitu juga dengan kapal yang membawa energi , jangan sampai mengalami gangguan. Karena jika tidak, maka akan ada gangguan terjadi di wilayah yang menjadi tujuan pelayaran kapal-kepal pengangkut BBM tersebut.
“Contoh Indonesia Timur ada dua tanker ke sana. Kalau mau bikin Indonesia Timur sakit atau lumpuh dua tangker, kita putuskan ‘pembuluh darah’ itu. Kalau dua tangker dilumpuhkan itu lumpuh Indonesia timur,” jelas Mulyono.
Menjaga Geliat Ekonomi
Mulyono menegaskan sebagai sebuah perusahaan memang tugas Pertamina adalah mencari dan menghasilkan keuntungan, tapi lebih dari pada itu, Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki tugas dan fungsi harus selalu siap kapanpun untuk bisa memenuhi kebutuhan energi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia termasuk di wilayah terluar, terdepan, terpencil (3T) dengan harga yang terjangkau.
Menurut Mulyono, pandemi memberikan efek luar biasa bagi Pertamina. Namun pendistribusian energi tetap harus dilakukan. Saat yang lain harus bekerja di rumah atau Work from Home (WFH), para pelaut Pertamina yang bekerja di garda terdepan dalam pendistribusian energi tetap harus bekerja.
Dia mengungkapkan lebih dari 92% staf di bagian logistik Pertamina tetap bekerja di lapangan saat pandemi. Termasuk awak kapal tanker juga tidak boleh turun dari kapal guna terhindar dari penularan COVID-19. “Untuk kapal saya minta seluruh kapal 100% kami lockdown, karena orang- orang kapal kalau turun itu di perumahan-perumahan juga nggak diterima, jadi sudah paling aman di atas kapal. Jadi yang kemarin enam bulan sekali pulang ketemu keluarga, kemarin sembilan bulan sudah di kapal saya tahan dan akhirnya kawan-kawan ini mengerti,” kata Mulyono.
Efek pandemi yang paling terasa adalah melubernya stok BBM akibat menurunnya konsumsi masyarakat sebagai konsekuensi dari pemberlakukan PSBB di berbagai wilayah sehingga mobilitas masyarakat juga terbatas.
Dia mengatakan konsumsi BBM Pertamina sejak Januari hingga April terus menunjukkan tren negatif dan terparah terjadi pada April 2020. Konsumsi baru bisa merangkak naik memasuki bulan Mei. Stok BBM jenis Premium pada April tercatat menyentuh 38 hari, padahal normal hanya 20 hari. Kondisi stok Solar juga pernah mencapai 31 hari, padahal normal hanya 15 hari. Avtur juga stoknya sempat mencapai 564 hari pada Mei karena kebutuhan turun sampai 90%. Untuk BBM jenis lainnya stok juga sempat meningkat, seperti Perta series yang sempat mencapai 47 hari, padahal normalnya hanya 8-10 hari.
“Mei, Juni, Juli sudah mulai recover, Agustus sudah mulai bagus. Mudah-mudahan nggak terjadi PSBB (di semua daerah) lagi,” kata Mulyono.
Pertamina harus terus bergerak meskipun pandemi menyerang. Bukan hanya untuk masyarakat sebagai pengguna sehingga ekonomi bisa terus bergeliat tapi juga keberlanjutan operasional perusahaan. Pertamina, kata Mulyono, menjalankan beberapa strategi agar kegiatan operasional dari hulu ke hilir tetap berjalan sehingga semua pihak yang terlibat tidak perlu kehilangan lapangan pekerjaan. “Ada 1,2 juta orang yang berhubungan langsung dengan Pertamina tidak ada satu pun yang di PHK. Upstream kita operasikan, kilang, SPBU semua kita operasikan, kenapa? karena Pertamina mikirin 1,2 juta orang,” tegas Mulyono.
Beberapa kebijakan manajemen misalnya dari sisi teknis pengoperasian kapal. Dalam kondisi normal, kapal memiliki tiga speed yang digunakan pertama best speed, service speed dan economic speed. Menurut Mulyono, biasanya kapal-kapal Pertamina menggunakan service speed atau pada kecepatan 10-12 knot. Hanya saja dengan kecepatan seperti itu pada masa pandemi ini maka begitu sampai di depot kapal-kapal dipastikan harus mengantri karena tangki yang masih penuh akibat penjualan BBM turun. Akhirnya semua kapal diinstruksikan agar beroperasi dengan economic speed atau pada kecepatan 8 knot. Strategi ini terbukti lebih efisien dari sisi operasional kapal.
“Pemakaian BBM-nya turun 25%. Kami dapat US$80 juta untuk menurunkan speed kapal dan kalau diturunkan (speed) supaya sampai sana (depot) nanti pas sudah ada ruang muatnya, ruang bongkarnya sudah ada tersedia. Kalau dia pas di sana itu jadi parkirnya tidak lama, kalau kapal menunggu parkir, bayar parkirnya juga mahal gitu,” jelas Mulyono.
Kebijakan berikutnya adalah dengan mengubah skema atau mekanisme pembelian minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Mekanisme yang dijalankan Pertamina dengan mengurangi frekuensi pengangkutan minyak yang dibeli dari KKKS.
“Harusnya setiap bulan minyak KKKS diambil, tapi sekarang diambil tiga bulan sekali. Jadi storage Pertamina bisa digunakan untuk menimbun crude dan gasolin,” kata Mulyono.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menuturkan posisi Pertamina di masa pandemi ini memang cukup sulit setelah dihadapkan pada turunnya harga minyak dunia sejak awal tahun, perusahaan migas pelat merah ini juga harus menghadapi kenyataan anjloknya konsumsi BBM masyarakat. Padahal selama ini sektor hilir atau penjualan BBM jadi andalan untuk mengeruk keuntungan atau sekedar menutupi kerugian dari bisnis hulunya saat harga minyak rendah. Di sisi lain menurut dia Pertamina juga memiliki kewajiban moral untuk tetap salurkan BBM ke masyarakat dalam berbagai kondisi termasuk kondisi pandemi.
“Agak sulit bagi Pertamina sebagai BUMN kalaupun WFH ada kewajiban moral untuk bisa mendistribudikan BBM ke seluruh wilayah ditengah kondisi sekarang sulit, karena penjualan turun sehingga biaya distribusi variabelnya jauh lebih besar apalagi ditambah fixed cost,” ungkap dia saat dihubungi Dunia Energi, Senin (26/10).
Menurut Komaidi, upaya efisiensi sebenarnya coba dilakukan melalui pembentukan holding dan subholding yang bisa mendorong integrasi penggunaan berbagai peralataan dalam kegiatan operasional Pertamina tapi kondisi yang terjadi sekarang ini memang tergolong luar biasa dan sangat langka terjadi, karena itu efek dari integrasi juga belum banyak dirasakan.
Langkah Pertamina yang tetap menjaga keberlangsungan operasinya dari hulu maupun hilir menurut Komaidi wajar mendapatkan perhatian karena jika tidak pemutusan hubungan kerja berbagai industri penunjangnya bisa terjadi. “Ujungnya tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung, Pertamina impact yang dirasakan tidak langsung,” kata dia.
Pemerintah kata Komaidi bisa ikut ambil bagian turut menanggung tugas yang seyogyanya menjadi kepentingan pemerintah untuk tetap menjaga perekonomian melalui penyerapan tenaga kerja serta menjaga daya beli masyarakat. Pertamina sebagai BUMN sejatinya hanyalah sebagai instrumen. Kebijakan yang bisa mendukung instrumen itu bisa dilahirkan oleh pemerintah. Menurut Komaidi dukungan yang diberikan bisa berupa interfensi fiskal maupun non fiskal.
“BUMN salah satu instrumen, tapi kebetulan Pertamina misinya salah satu agen pembangunan, fungsi (pemerintah) nggak bisa dilepas begitu aja ke Pertamina,” ungkapnya.
Komaidi menyarankan Pertamina untuk membangun komunikasi yang baik dengan pemerintah guna membahas apa saja dukungan yang dibutuhkan untuk melalui masa sulit ini. ” Komunikasi yang baik ke pemerintah harus dibangun, kalau sampai terjadi layoff pemerintah juga yang rasakan dampaknya,” ujarnya.
Menurut Komaidi pemerintah tidak akan rugi jika berikan insentif ke Pertamina karena secara tidak langsung akan berdampak juga ke perekonomian nasional. “Manfaatnya ke pemerintah juga ada. Dengan dikasih insentif nilainya Rp1 triliun misalnya untuk menjaga ekonomi sehingga bisa hasilkan timbal balik Rp5 triliun,” kata Komaidi. (Rio indrawan)
Komentar Terbaru