JAKARTA – Pengembangan Blok East Natuna menjadi salah satu upaya untuk mendukung pencapaian target produksi migas nasional sebesar satu juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kaki kubik per hari pada 2030. Namun dengan tantangan yang dihadapi, serta skala yang sangat besar. Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) menilai pengembangan Blok East Natuna secara bertahap (phasing development) bisa menjadi salah satu solusi. Pengembangan dapat dimulai dengan memproduksikan lingkaran minyak di struktur AP karena minyak lebih mudah untuk dikomersialisasi yang dilanjutkan dengan pengembangan gas di struktur AL.
Henricus Herwin, Vice President Technical Excellence & Coordination PT Pertamina Hulu Energi, Subholding Upstream PT Pertamina (Persero), mengatakan performa dari pengembangan lapangan minyak bisa dilakukan sambil meneruskan studi pengembangan gas di struktur AL, yang dapat dibagi menjadi beberapa modul. Modul-modul ini dapat disesuaikan dengan kemampuan penyerapan industri penunjang dalam menyerap CO2 dan juga pasar gas yang tersedia.
“CO2 yang tidak terserap oleh industri dapat diinjeksikan kembali ke bawah tanah dengan teknologi CCUS (Carbon Capture, Utilization and Storage) dan CCS (Carbon Caputre and Storage),” kata Henricus, Jumat (13/8).
Menurut Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal IATMI, pengembangan lapangan gas raksasa kaya CO2 itu juga perlu dikaitkan dari kemampuan industri untuk menyerap CO2. Kawasan industri bisa dibangun di Pulau Natuna dan difokuskan pada industri yang bisa menyerap dan menggunakan CO2 seperti Pabrik GTL (Gas-To-Liquid) yang menghasilkan naptha, kerosine dan diesel serta pabrik DME (Dimethly Ether).
“Pengembangan industri ini bisa dilakukan secara bertahap yang tentunya akan diikuti dengan pengembangan lapangan gas yang juga dilakukan secara bertahap,” kata Hadi.
Ini merupakan benang merah dari Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Towards a Comprehensive Strategy for the East Natuna Development: Geopolitics – Subsurface – Surface Facility – Economics” yang digelar Ikatan IATMI, Sabtu (7/8).
Blok East Natuna memiliki kandungan gas yang sangat besar, 222 Tcf initial gas-in-place (IGIP) yang membuatnya menjadi undeveloped gas field terbesar di Asia Tenggara. Namun, kandungan gas yang besar tersebut datang dengan tantangan yang juga besar, dimana kandungan CO2-nya sangat tinggi (lebih dari 70%, merupakan single accumulation CO2 terbesar di dunia). Dengan kondisi tersebut, Blok East Natuna diperkirakan memiliki sumberdaya kontingen sebesar 46 Tcf, atau hampir sama dengan total cadangan gas Indonesia (55 Tcf 2P di awal 2020).
Selain kandungan CO2 yang tinggi, tantangan lain dari pengembangan blok East Natuna adalah lokasinya yang terpencil; jarak dari Blok East Natuna ke pulau Natuna mencapai 225 km dan jarak ke Pulau Sumatera mencapai 1000 km.
Ngurah Beni Setiawan, Ketua FGD Pengembangan Blok East Natuna, mengatakan pemisahan CO2, beserta pemanfaatannya, merupakan tantangan terbesar untuk dapat mengembangkan blok East Natuna. Untuk menjawab tantangan tersebut, dua buah penerapan teknologi dipaparkan pada sesi FGD, yaitu pemanfaatan supercritical gas expansion dan air laut sebagai pre-cooling untuk meningkatkan efisiensi pemisahan CO2, dan penggunaan wellhead turbo expander untuk menurunkan beban pendinginan selama proses pemisahan CO2.
“Di samping CO2 reinjection, beberapa alternatif pemanfaatan CO2 yang bertujuan untuk meningkatkan keekonomian juga didiskusikan secara komprehensif selama sesi FGD, di antaranya adalah penggunaan supercritical CO2 sebagai working fluid pada pembangkit tenaga listrik (metode Allam-Cycle), serta pemanfaatan CO2 untuk EOR pada lapangan-lapangan minyak di Sumatera,” kata Beni.
Selain penerapan teknologi, dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan untuk mendukung keekonomian proyek raksasa tersebut. Untuk hal ini, SKK Migas telah menyampaikan dukungannya dan keterbukaannya untuk berdiskusi mengenai kondisi fiskal dan insentif terkait pengembangan Blok East Natuna.
Hadi Ismoyo, mengatakan kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat, dan di saat yang bersamaan Indonesia juga harus menghadapi tantangan untuk dapat menurunkan emisi karbon. Di satu sisi, Blok East Natuna memiliki kandungan gas yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, Blok East Natuna memiliki kandungan CO2 yang juga sangat besar yang perlu dicarikan solusi pemanfaatannya agar tetap dapat mendukung program penurunan emisi karbon serta dapat menghasilkan proyek yang ekonomis yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara langsung maupun melalui multiplier effect yang dihasilkan.
“Berbagai macam alternatif solusi, baik teknis maupun non-teknis, yang telah dipaparkan dalam FGD ini diharapkan dapat mengantarkan semua stakeholder yang terlibat selangkah lebih dekat menuju pengembangan Blok East Natuna,” kata Hadi.
Hampir seluruh pemangku kepentingan sektor migas turut berpatisipasi dalam FGD yang digelar IATMI pada, mulai dari perwakilan pemerintah, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), lembaga kajian, akademisi serta anggota IATMI dari seluruh penjuru dunia.
Acara diawali dengan keynote speech mengenai aspek geopolitik area Natuna yang diberikan oleh Professor Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM periode 2000-2009 dan Menteri Pertahanan periode 2009-2014. Kemudian, dilanjutkan dengan plenary session yang menghadirkan empat narasumber yang mewakili stakeholder kunci di industri migas, yakni Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, Kepala Divisi Manajamen Proyek dan Pemeliharaan Fasilitas SKK Migas Ardiansyah, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PHE, Subholding Upstream Pertamina John Hisar Simamora, dan Direktur Utama PT Medco E&P Indonesia Ronald Gunawan.
Tiga sesi FGD kemudian dilakukan secara paralel dimana masing-masing FGD membahas secara spesifik aspek yang diperlukan untuk pengembangan Blok East Natuna di masa depan. Pada FGD 1, dibahas mengenai upstream challenges, FGD 2 menitikberatkan pada aspek downstream & utilization, lalu FGD 3 mencakup aspek projects & economics.
Blok East Natuna yang terletak di perairan Natuna, sekitar 225 km ke arah timur laut dari pulau Natuna. Blok ini ditemukan pada tahun 1973, dan Pertamina ditugaskan sebagai operator sejak tahun 2017. Lokasinya yang bedekatan dengan perbatasan wilayah negara-negara tetangga membuat geopolitik menjadi aspek penting dalam menentukan strategi pengembangan Blok East Natuna.
Selain itu, saat ini keadaan geopolitik di kawasan Asia Pacific sedang memanas dengan bertemunya konsep One Belt One Road yang diusung oleh Republik Rakyat China dengan relasi Indo-Pacific yang dimotori oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Apabila diperlukan kerja sama dengan perusahaan migas internasional untuk mengembangkan Blok East Natuna, maka aspek geopolitik dan geoekonomi kawasan perlu menjadi salah satu bahan pertimbangan.(RA)
Komentar Terbaru