JAKARTA – Kepala Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini menyatakan, pihaknya akan terus berupaya meningkatkan pasokan gas untuk kebutuhan domestik. Dengan begitu, sektor hulu migas secara tidak langsung telah memberikan subsidi kepada tiga sektor strategis lainnya di dalam negeri, yakni industri, pupuk, dan kelistrikan.
Dalam sebuah wawancara di Jakarta awal Juli 2013, Rudi membantah tudingan bahwa sektor hulu migas cenderung memprioritaskan ekspor hasil produksinya, dan tidak berpihak pada kepentingan dalam negeri. Karena terbukti, ujarnya, alokasi gas ke dalam negeri volumenya terus meningkat setiap tahun.
“Saat ini, jatah gas untuk domestik mendekati 49 persen dari total produksi. Jumlah ini naik signifikan ketimbang 10 tahun lalu, dimana pasokan ke domestik tidak lebih dari 10 persen. Alokasi untuk domestik ini buat siapa? Jika dirunut berdasarkan besaran, alokasi terbanyak untuk industri, kemudian kelistrikan, pupuk, terakhir baru untuk peningkatan lifting,” ungkapnya.
Khusus untuk pupuk, jelasnya, alokasi yang ada saat ini untuk memenuhi total 12 kontrak yang sudah berjalan, dengan volume kontrak sebesar 743 Bbtud (billion british thermal unit per hari). Ke depan, telah direncanakan tambahan kontrak untuk lima pabrik pupuk yang akan dikembangkan, yaitu PT Pupuk Kaltim-5, PT Petrokimia Gresik (PKG)-2, PT Pupuk Sriwijaya-IIB dan IIIB, serta Pupuk Kujang-IC.
Saat ini, kata Rudi, telah ditandatangani satu kontrak PJBG (perjanjian jual beli gas bumi) untuk revitalisasi pabrik Pupuk Kaltim-5. Empat lainnya masih proses pembahasan kontrak. Tiga diantaranya sudah ditetapkan alokasi gasnya, dan satu pabrik masih dalam evaluasi.
“Jadi perhatian kami untuk perkembangan pabrik pupuk sangat serius. Tidak hanya pupuk, sektor hulu migas ini harus memenuhi kebutuhan listrik dan industri yang terus meningkat. Jadi betapa tidak bersyukurnya bila masih terus menghujat bahwa industri hulu migas tidak berpihak pada industri domestik, khususnya pabrik pupuk,” tegas Rudi yang juga Guru Besar Teknik Perminyakan ITB ini.
Harga Sering Bermasalah
Toh demikian, Rudi tidak menampik bahwa dalam pasokan gas untuk keperluan di dalam negeri, sering bermasalah dari sisi harga. Ini terjadi, karena harga gas bumi dari satu sumber dengan sumber lainnya seringkali berbeda, tergantung “medan” yang dihadapi di setiap lapangan gas yang bersangkutan.
Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi gasnya di darat atau laut, berapa kedalaman reservoir (sumur), besar atau kecil cadangan, akses menuju lokasi sujur gas cukup terpencil atau sudah ada infrastruktur, semuanya menjadi landasan dalam penentuan harga. Berbagai faktor di lapangan itu, ujarnya, berpengaruh pada nilai keekonomian lapangan, yang membuat harga gas setiap lapangan berbeda.
“Hal ini harus dipahami oleh pengguna gas. Tidak mungkin industri hulu migas menjual gas di bawah harga keekonomian. Ini tentu akan merugikan, baik negara maupun investor. Jika tidak ekonomis, tentu membuat proyek itu tidak berjalan, dan akhirnya tidak akan ada gas yang mengalir yang bisa dimanfaatkan,” papar Rudi.
Saat ini, jelasnya, harga rata-rata gas ekspor melalui pipa sebesar US$ 15,6 per MMbtu (million british thermal unit). Untuk LNG sebesar US$ 14,5 per MMbtu. Sedangkan rata-rata harga gas domestik sekitar US$ 5,8 per MMbtu. “Ini berarti, secara tidak langsung industri hulu migas memberi subsidi kepada industri, pupuk, dan kelistrikan. Jumlahnya per tahun mencapai puluhan triliun rupiah,” tuturnya.
Namun heranya, kata Rudi, langkah SKK Migas ini belum diapresiasi dengan baik. Konsumen gas masih berpikir pasokan gas domestik dengan murah adalah kewajiban. Padahal dari sisi bisnis industri hulu migas, harga gas domestik murah tersebut adalah memberikan subsidi bagi industri lain.
(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru