JAKARTA – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) subsektor pertambangan mineral dan batu bara hingga semester pertama 2018 telah mencapai Rp 23,5 triliun. Raihan tersebut 73,41% dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp32,01 triliun.
Jonson Pakpahan, Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara, Kementerian ESDM, mengatakan salah satu penyebab utama realisasi positif penerimaan sektor minerba adalah harga komoditas batu bara yang masih tinggi hingga pertengahan tahun ini, bahkan cenderung naik. Apalagi porsi batu bara dalam PNBP lebih besar dibanding mineral.
“Realisasi PNBP minerba semester 1 Rp23,5 triliun dari target Rp32,01 triliun. Dari batu bara tetap (mayoritas kontribusi). Mineral kan sebenarnya tidak banyak, jadi 75% batu bara, 25% mineral,” kata Jonson ditemui di Kementerian ESDM Jakarta.
Merujuk data Kementerian ESDM, rata-rata harga batu bara acuan (HBA) sepanjang tahun ini di level US$97,66 per ton. Rata-rata tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata HBA tahun lalu senilai US$85,92 per ton, apalagi jika dibanding rata-rata HBA pada 2016 yang hanya sebesar US$61,84 per ton.
Bahkan untuk HBA Juli telah menembus tembus kisaran US$100 per ton, dan mencapai US$104,65 per ton, naik 8,32% dari HBA Juni 2018 senilai US$96,61 per ton.
Dengan hasil yang diraih pada semester I tahun 2018, Jonson memprediksi realisasi PNBP hingga akhir tahun minimal akan bisa menyamai atau lebih. Pada tahun lalu PNBP tercatat senilai Rp40,61 triliun.
“Saya berharap hasilnya di kisaran Rp40 triliun atau tidak turun dari tahun lalu. Ini yang kami coba usahakan semaksimal mungkin,” kata Jonson.
Menurut Jonson, realisasi PNBP sebenarnya masih bisa lebih banyak, namun tertahan karena pemerintah telah melakukan pengaturan harga jual batu bara khusus untuk kepentingan pembangkit listrik.
Pada Kepmen ESDM No. 1395 K/30/MEM/2018, harga jual batu bara untuk PLTU dalam negeri ditetapkan senilai US$70 per ton untuk kalori acuan 6.322 kkal/kg GAR atau menggunakan arga batu bara acuan (HBA). Apabila HBA berada di bawah nilai tersebut, maka harga yang dipakai berdasarkan HBA.
“Padahal sebenarnya banyak pengurang kami, yaitu Domestic Market Obligation (DMO),” ungkap Jonson.
Selain itu, Pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) pun bisa mengurangi potensi penerimaan negara secara keseluruhan. Pasalnya, para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi I mengklaim, pungutan tersebut tidak ada dalam kontrak sehingga perlu direimburse.
“PBBKB itu sebagai pengurang juga karena pajak atas bahan bakar kendaraan bermotor itu kan dipungut daerah. PKP2B Generasi 1 mengklaim itu. Mereimburse itu lagi karena itu dianggap pajak-pajak baru,” kata Jonson.(RI)
Komentar Terbaru