JAKARTA – Niatan pemerintah dalam menggenjot hilirisasi industri pertambangan menemui jalan terjal. Salah satu tantangan besarnya adalah ketersediaan tenaga listrik. Ini bahkan diakui sendiri oleh pemerintah.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan enaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar, dan mayoritas masih dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan dasar batu bara. Di sisi lain batu bara menghasilkan emisi gas buang cukup besar. Padahal produk hilirisasi sekarang dituntut untuk jadi produk hijau alias tidak diproduksi dengan cara-cara yang menghasilkan emisi.

“Di Sulawesi sendiri, smelter yang ada disini, mengkonsumsi kurang lebih 20 GW, dan itu didominasi dari batubara, jadi kalau dihitung emisi karbonnya ini sekian juta ton, nah ini tentu saja akan menjadi satu tantangan ya buat industri-industri smelter yang ada di sini,” ungkap Arifin dalam keterangannya, Jumat (5/7).

Indonesia kata Arifin harus bersiap dan segera membangun ekosistem tenaga listrik berbasis energi bersih dari Energi Baru Terbarukan (EBT) pasalnya komunitas dunia sudah mencanangkan hanya akan menggunakan produk yang green.

“Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut ‘Cross Border Carbon Mechanism’, nanti disitu ada masalah perpajakan emisi gas CO2 ke depan,” ujar Arifin.

Melalui penerapan Cross Border Carbon Mechanism, tambah Arifin, nantinya akan ada pengenaan pajak karbon, sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Saat ini, pemerintah sedang Menyusun rencana untuk bisa menyediakan tenaga listrik dengan energi yang memiliki emisi karbon yang rendah, karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar, seperti prospek sumber gas di Blok Masela yang akan produksi pada tahun 2030 dengan proyeksi sebanyak 10,5 juta ton LNG per tahun. Kemudian di Selat Makassar ada lapangan miliki ENI yang akan produksi di tahun 2027-2028, serta satu blok di Sumatera Bagian Utara, yakni Blok Andaman.

Potensi besar lain, jelas Arifin, adalah energi matahari di Indonesia, kemudian potensi angin, namun karena terbatas industri pendukungnya, maka potensi-potensi besar tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Potensi lain yang belum dimaksimalkan adalah potensi hidro yang berlokasi di Kalimantan Utara dan Papua.

Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, maka produk-produk yang dihasilkan berasal dari energi yang rendah emisi sehingga harganya bisa kompetitif.

“Tentu saja itu bisa menjadi peluang besar yang bisa ditangkap oleh industri, bagaimana kita itu bisa menyiapkan produk-produk yang didukung oleh energi bersih untuk bisa bersaing secara global. Produk kita pun juga tidak tergantung kepada satu pasar yang belum menerapkan Cross Border Carbon Mechanism, karena produknya sudah standar internasional dan kompetitif,” ujar Arifin. (RI)