JAKARTA – Hasil uji sampel atau contoh tanah yang digunakan oleh Kejaksaan Agung dalam menjerat para terdakwa dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, ternyata tidak valid (akurat). Pasalnya, pengujian itu tidak dilakukan di laboratorium terakreditasi, bahkan dengan metode yang salah.
Keraguan ini mencuat, setelah sejumlah ahli bioremediasi dari beberapa perguruan tinggi terkemuka di Tanah Air serta ahli dari lembaga yang berkompeten, memberikan keterangan dalam sidang kasus bioremediasi Chevron di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, 24 Mei 2013.
Ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Haryati Suhardi menuturkan, dalam penerapan teknologi bioremediasi atau pengolahan limbah menggunakan bakteri pada industri minyak dan gas bumi (migas) acuannya adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003.
Guna mengetahui tanah tercemar limbah minyak atau tidak, kata Sri Haryati, harus dilakukan pengujian sampel di laboratorium yang terakreditasi (memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan, red). Di laboratorium terakreditasi, pengujian sampel akan berlangsung obyektif dibawah pengawasan pihak yang berkompeten.
Obyektivitas dan pengawasan sangat penting, karena sampel tanah yang diuji akan digunakan untuk kepentingan umum, yakni penyidikan kasus bioremediasi Chevron. Selain itu, pengujian sampel wajib dilakukan di laboratorium terakreditasi demi menjamin validitas (kearutan hasil pengujian, red) dan safety (keamanan, red).
Menurut Sri Haryati, salah satu peralatan yang pasti dimiliki oleh laboratorioum terakreditasi, ialah GCMS (Gas Chromatography-Mass Spectrometri). GCMS adalah alat yang besar, yang dilengkapi komputer serta printer untuk memonitor proses dan hasil pengujian. Hasil pengujian pun harus dianalisis oleh orang yang mempunyai keahlian bidang kimia analit.
“Perlu meja 2 x 1,5 meter untuk meletakkan GCMS, karena ini bukanlah alat portable yang bisa dijinjing. Selain itu, yang menganalisa hasilnya harus ahli kimia analit,” tutur Sri Haryati Suhardi yang dihadirkan di persidangan sebagai saksi ahli untuk Kukuh Kertasafari, salah satu karyawan Chevron yang menjadi terdakwa dalam kasus bioremediasi.
Semua prosedur baku pengujian sampel yang dituturkan ahli bioremediasi ITB ini, tidak pernah dilakukan Kejaksaan Agung. Dakwaan dan tuntutan Kejaksaan Agung terhadap para terdakwa kasus bioremediasi Chevron, hanya didasarkan pada hasil pengujian sampel di laboratorium ‘dadakan’ menggunakan peralatan portable, dengan dipimpin seseorang bernama Edison Effendi.
Sampel Kadaluarsa
Oleh Kejaksaan Agung, Edison Effendi selama ini dianggap sebagai ahli bioremediasi, meski nama dan sosoknya tidak pernah dikenal dalam Forum Bioremediasi Indonesia yang berdiri sejak 2003. Edison yang juga pelapor, dijadikan saksi ahli sekaligus saksi fakta oleh Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi Chevron.
Edison mengambil sampel hanya dalam satu waktu, yakni pada 11 April 2012. Namun pengujiannya di laboratorium ‘dadakan’ baru dilakukan pada 13 Juni 2012, menggunakan peralatan portable. Metode pengambilan sampel berikut pengujiannya oleh Edison ini, juga mendapat kritik dari Sri Haryati.
Menurut Sri, rentang waktu antara proses pengambilan dan proses pengujian sampel, tidak boleh terlalu jauh. “Sampel diuji setelah dua bulan diambil, maka terjadi perubahan karakter, stabilitas sampel berubah,” terangnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpinan Hakim Ketua Sudharmawati Ningsih.
Dunia Energi juga mencatat, berdasarkan keterangan banyak ahli, pengujian sampel tidak boleh lebih dari 14 hari sejak dilakukannya pengambilan. Jika melewati batas waktu 14 hari sejak pengambilan sampel baru diuji, maka sampel dianggap kadaluarsa.
Lucunya lagi, dalam dakwaannya Kejaksaan Agung menyatakan hasil uji sampel tanah di lapangan Chevron yang dilakukan Edison Effendi dan kawan-kawan, menunjukkan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) sama dengan nol persen. Sedangkan Sri Haryati mengaku, para ahli sebagai peneliti tidak pernah menggunakan angka nol untuk hasil uji, melainkan menggunakan “ND (Not Detected)”.
Hal senada diungkapkan ahli bioremediasi Institut Pertanian Bogor (IPB) Linawati HS. Di hadapan Majelis Hakim kasus bioremediasi pada Jumat, 24 Mei 2013, Linawati menegaskan bahwa pengujian sampel harus dilakukan di laboratorium terakreditasi, dan dilakukan oleh analis-analis profesional dengan standar KAN (Komite Akreditasi Nasional).
“Jika bukan di laboratorium terakreditasi, maka harus ada laboratorium pembanding. Tentang laboratorium ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 1999. Kondisi laboratorium harus dikalibrasi sampai benar-benar bersih, dan tidak ada laboratorium portable untuk pengujian sampel,” tegas Linawati yang juga dihadirkan untuk terdakwa Kukuh Kertasafari.
Tidak Bisa Jadi Referensi
Linawati juga menerangkan, akreditasi tidak hanya diwajibkan pada laboratoirum. Melainkan semua alat yang ada di laboratorium, juga operatornya, serta tenaga dan sistem administrasinya, harus terakreditasi. Alat yang diwajibkan diantaranya GCMS, juga bukan alat yang asing bagi peneliti, dan tidak ada versi baru GCMS sejak 2009.
Soal rentang waktu antara pengambilan dan pengujian sampel, Linawati lebih tegas lagi. “Lewat dari waku maksimal (pengujian) maka hasil uji tidak valid dan tidak bisa dipakai. Karena setiap alat, termasuk GCMS, punya batas kemampuan deteksi (detection limit)” tandasnya.
Tak berbeda yang diungkapkan Udiharto, ahli bioremediasi dari Pusat Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menurutnya, sampel yang diuji harus bersih, tidak terkena kontaminan, tidak kena sinar matahari, harus disimpan dengan tepat, dan ada batas waktu penyimpanan.
“Lewat dari batas waktu, sampel memang bisa dianalisis, tapi hasilnya tidak bisa digunakan sebagai referensi (acuan, red). Untuk digunakan sebagai referensi, laboratorium tempat menguji sampel harus terakreditasi,” terang Udiharto yang dihadirkan di sidang kasus bioremediasi pada Jumat, 24 Mei 2013, untuk Widodo, salah satu karyawan Chevron yang juga diseret menjadi terdakwa dalam kasus itu.
Udiharto juga menggambar, GCMS merupakan alat berukuran besar, dan harus diletakkan pada tempat yang special berupa meja besar, dingin, perlu tempat gas, CT, alat untuk me-record (merekam hasilnya, red). Sehingga untuk menempatkan GCMS membutuhkan ruangan khusus yang tidak kecil.
“Kalau hasil uji laboratorium digunakan sebagai referensi, maka sampel harus diuji di dua laboratoirum independen dan terakreditasi. Jika dua laboratorium itu hasilnya jauh berbeda, maka sampel harus diuji di laboratorium acuan, yakni Laboratorium Pusarpedal (Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan),” tukasnya.
Laboratorium Pusarpedal adalah milik Kementerian Lingkungan Hidup yang berada di Puspitek Serpong, Tangerang – Banten. “Jika tidak mengikuti aturan laboratorium ini, maka hasil uji sampel tidak kredibel,” tegas Udiharto lagi.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru