JAKARTA– Industri batubara nasional kembali menggeliat didorong peningkatan kebutuhan batubara dari China sehingga mendorong kenaikan harga yang per September tercatat sebesar US$ 63,93 per ton, naik 9,5 persen dibandingkan harga batubara acuan (HBA) Agustus sebesar US$ 58,37 persen. Pelonjakan harga batubara juga karena industri tekstil dan alas kaki di Bangladesh yang mulai berkembang dan permintaan batubara untuk pembangkit di Pakistan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan membaiknya harga batubara membuat pelaku usaha dalam negeri kembali bergairah. Namun, menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono, kondisi ini tidak serta merta membuat produksi batu bara dalam negeri segera meningkat. “Produksi tidak naik, tapi harga batubara saat ini membuat gairah,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) mencapai 101,22 juta ton sepanjang semester I 2016, turun 29,55 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 143,68 juta ton. Penurunan produksi itu karena anjloknya ekspor yang hanya 80,22 juta dibandingkan periode semester I 2015 yang tercatat 117,33 juta. Produksi batubara PKP2B menyumbang 60 persen-80 persen produksi batubara nasional.
Menurut Bambang, kenaikan harga batubara September disebabkan meningkatnya permintaan dunia khususnya China dan India. Sayangnya, pemerintah belum bisa menyatakan jumlah kebutuhan batubara di dua negara tersebut. “China dan India banyak impor batu bara,” ujarnya.
Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI), mengatakan kenaikan harga acuan batubara saat ini melewati eksepektasi Asosiasi. Dia optimsitis kenaikan harga batubara masih akan berlangsung hingga kuartal IV 2016. Kalaupun terjadi penurunan, diproyeksikan tidak terlalu dalam.
Berdasarkan catatan Dunia-Energi, kenaikan harga di September melampaui HBA di Januari 2016 silam yang berada di level US$ 53,20 per ton. Sejak awal tahun memang terjadi fluktuasi harga. Pada Februari HBA anjlok ke level US$ 50,92 per ton. Kemudian naik tipis di Maret dengan HBA pada posisi US$ 51,62 per ton. Tren penguatan tersebut berlanjut ke April yang membuat HBA berada di level US$ 52,32 per ton.
Tren kenaikan harga dipengaruhi finalisasi kontrak pasokan batu bara antara Australia dan Jepang. Namun setelah kontrak ditandatangani harga batu bara kembali melemah di Mei di posisi US$ 51,2 per ton.
Penetapan formula HBA memang dipengaruhi oleh sejumlah index yakni Indonesian Coal Index (ICI), New Castle Export Index (NEX), New Castle Global Coal Index (GC) dan Platts. Masing-masing Index memiliki porsi sama sebesar 25 persen dalam penetapan HBA per bulan. (RK/DR)
Komentar Terbaru