JAKARTA – Pemerintah meminta PT PLN (Persero) dan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk segera menyelesaikan pembahasan terkait harga listrik yang diperjualbelikan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Ida Nuryatin Finahari, Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan pada dasarnya pemerintah tidak bisa melakukan intervensi terhadap penetapan harga antara PLN dan pengembang listrik. Untuk ini jalan satu-satunya adalah mencapai kesepakatan bisnis agar penyaluran listrik ke masyarakat tidak terganggu kedepannya.
“Urusan harga pengembangan komunikasi langsung ke PLN, jadi negosiasi sendiri. Kami fasilitasi dulu, kalau ujungnya berkomunikasi ya mereka lanjut. Kami hanya dilaporkan saja nanti,” kata Ida di Jakarta, Selasa (8/5).
Dua PLTP, Karaha Unit 1 yang sudah beroperasi dan akan segera beroperasi pada tahun ini, PLTP Lumut Balai belum mencapai kesepakatan harga jual listrik.
Di Karaha, pembangkit sudah mulai beroperasi komersial pada 6 April 2018 dengan kapasitas 30 megawatt (MW). Harga listriknya US$ 8,6 sen per KWh dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Namun setelah dilakukan kejian serta audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), harga yang sesuai dengan keekonomian adalah 11,4 sen per KWh. Pihak PLN kini masih melakukan kajian ulang terhadap masukan dari BPKP tersebut.
Selain itu, di Lumut Balai harga listrik dalam HoA yang disepakati adalah sebesar 11,6 sen per KWh dan sudah disetujui BPKP. Namun PLN meminta harga tersebut dikaji ulang, karena dianggap masih terlalu tinggi. Padahal harga yang sesuai dengan HoA maupun verifikasi BPKP tersebut sudah mempertimbangkan berbagai macam faktor dan sesuai dengan keekonomian proyek.
Ida meyakini kedua perusahaan negara tersebut bisa mencapai kesepakatan, hanya tinggal menunggu waktu implementasi kesepakatannya. “Kan ada HoA-nya, hanya penerapan implementasi kapan. Kami (Kementerian ESDM) tidak sampai kesana,” ungkap dia.
Kesepakatan harga juga tegantung dari intensitas pembahasan antar dua perusahaan serta ketersediaan data sebagai dasar perhitungan. “Namanya negosiasi PLN juga butuh data lengkap, sebarapa aktif PGE kasih data sehingga harus ada hitungan lagi. Dasarnya apa nih PGE mengusulkan sekian,” papar Ida.
Menurut Ida, nilai yang disodorkan BPKP juga bukan merupakan keharusan yang harus dipatuhi, melainkan hanya acuan. Untuk keputusan akhir tetap harus melalui mekansime business to business. “Jadi BPKP hanya acuan dan kami di ESDM tidak bisa intervensi sampai sejauh itu,” tandas Ida.(RI)
Komentar Terbaru