JAKARTA – Penetapan harga gas industri maksimal US$6 per MMBTU dinilai tepat mendorong peningkatan perekonomian nasional. Energi harus menjadi modal pembangunan yang memberikan multiplier ekonomi, termasuk sektor industri dan tidak hanya berperan sebagai komoditas ekspor semata dalam mendapatkan devisa negara.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan harga gas untuk industri yang mahal menjadi salah satu penyebab industri tidak kompetitif. Industri baja misalnya, peningkatan harga gas sebesar 21,2% mengakibatkan antara lain penurunan utilitas pabrik sebesar 40%. Serta peningkatan komoditas impor sebesar 13,5%.

Hal yang sama juga terjadi pada industri sarung tangan karet. Peningkatan harga gas di plant gate sebesar 31,6% menyebabkan turunnya kapasitas produksi 29,4% dan peningkatan komoditas impor sebesar 48,9%, bahkan terdapat sembilan pabrik sarung tangan yang tutup.

Pada industri keramik peningkatan harga gas sebesar 21,2% mengakibatkan penurunan utilitas pabrik sebesar 33,3%, serta penurunan produksi sebesar 21,1% dan penurunan komoditas ekspor sebesar 16,8%. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan domestik komoditas impor keramik naik sebesar 63,3%. Pada industri gelas peningkatan harga gas sebesar 21,2% mengakibatkan penurunan kapasitas produksi sebesar 38,2%, penurunan komoditas ekspor sebesar 33,3%, dan kenaikan komoditas impor sebesar 12,7%. Bahkan empat pabrik di antaranya tutup operasi, termasuk Glass Surabaya yang sudah 30 tahun beroperasi.

Pada 2006-2011 harga gas industri di Jawa Bagian Barat terus naik, walaupun harga hulu relatif tetap. Biaya penyaluran terus naik dari US$3,5 per MMBTU sampai dengan US$4,6 per MMBTU. Selanjutnya pada 2012-2013, harga hulu hanya naik US$1,1 per MMBTU, namun harga gas ke industri naik US$1,9 per MMBTU dari sekitar US$7,3 per MMBTU ke US$9,2 per MMBTU.

“Melalui harga gas yang kompetitif diharapkan dapat meningkatkan daya saing, kapasitas produksi, investasi dan menyerap tambahan tenaga kerja, sehingga iklim investasi di Indonesia terus lebih baik. Serta bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi,” kata Mamit, Senin (15/6).

Salah satu kebijakan yang diambil melalui implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Penerapan kebijakan penyesuaian harga gas bumi untuk industri tertentu sangat penting bagi sektor industri, karena harga gas merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi. Sehingga penurunan harga gas akan meningkatkan daya saing dan industri menjadi lebih kompetitif.

Penyesuaian harga gas dilakukan dengan mekanisme penurunan harga gas hulu menjadi US$ 4,0-4,5 per MMBTU melalui pengurangan porsi Pemerintah dan melakukan efisiensi biaya penyaluran menjadi USD 1,5-2,0 per MMBTU, sehingga harga gas di plant gate menjadi US$ 6,0 per MMBTU.

PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan grup sendiri sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman implementasi Kepmen ESDM No.89K/10/MEM/2020 dengan pelanggan industri tertentu pada Jumat (6/6). Komitmen tersebut mencakup 177 pelanggan industri tertentu dan diwakili secara simbolis oleh beberapa Sales Area PGN untuk area Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Surabaya dan Medan dengan beberapa perwakilan pelanggan industri tertentu.

Diyakini penurunan harga gas industri tersebut akan meningkatkan produktivitas dan utilitas sektor manufaktur di dalam negeri sehingga sektor industri dapat meningkatkan efisiensi proses produksinya, yang ujungnya akan bisa menghasilkan produk-produk yang berdaya saing baik di kancah domestik maupun global.

“Semoga dengan adanya kebijakan ini bisa meningatkan peran industri secara signifikan dalam pembangunan ekonomi naisonal, dan berharap akan berlakut terus kedepan,” kata Mamit.(RI)