JAKARTA – Sampai menjelang pembacaan tuntutan, hubungan antara terdakwa Bachtiar Abdul Fatah dan dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) masih kabur. Salah seorang anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menangani perkara itu pun masih mempertanyakan, mengapa Bachtiar diminta bertanggung jawab atas pelaksanaan suatu proyek yang bukan kewenangannya.
Seperti yang terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 23 September 2013, dengan agenda pemeriksaan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah. Di depan persidangan, terdakwa yang bekerja di PT CPI sejak 1989 mengaku, saat ini menjabat sebagai Vice President Supply Chain Management.
Jabatan itu diembannya sejak 2012, setelah sebelumnya menjabat sebagai Assistant Vice President Supply Chain Management sejak 1 September 2011. Bachtiar menjabat sebagai GM SLS Minas – Riau dalam kurun 1 April 2009 – 31 Agustus 2011.
Saat menjabat sebagai GM SLS itulah, Bachtiar sempat menandatangani kontrak bridging C905616, yang saat ini diperkarakan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kontrak itu ditandatanganinya pada 24 Agustus 2011, enam hari sebelum ia efektif menjalankan tugas barunya sebagai Asisten Vice President Supply Chain Management di Jakarta, mulai 1 September 2013.
Menurut Bachtiar, ia ikut menandatangani kontrak bridging itu karena adanya POA (Power of Authorized) atau kuasa dari Presiden Direktur PT CPI untuk menandatangani perjanjian dengan pihak luar sebagai perwakilan dari perusahaan, yang melekat dalam jabatannya sebagai GM SLS saat itu. Jika tidak tanda tangan, maka terdakwa dianggap melanggar aturan di PT CPI. “Hal itu bisa berujung pada pemecatan,” terang terdakwa Bachtiar.
Sehingga, meskipun tanggung jawab utamanya sebagai GM SLS adalah pada manajemen reservoir, terdakwa harus tetap ikut menandatangani kontrak bridging C905616 yang merupakan kontrak untuk proyek bioremediasi. Terlebih, tidak ada alasan baginya untuk tidak tanda tangan, karena proyek bioremediasi PT CPI sudah sesuai dengan arahan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Bachtiar menerangkan bahwa penandatanganan kontrak bridging itu diinisiasi oleh Amelia Duhita. Dimana ada email dari Amelia Duhita yang disetujui Russel G Larsson dan Erwin Kasim, untuk dilanjutkan ke terdakwa hingga ke Vice President (VP) Sumatera Light Oil (SLO). VP SLO adalah bagian dari satu tim bernama CRC (Contract Review Committee) yang terdiri dari tujuh pimpinan tertinggi di wilayah kerja PT CPI di Sumatera. “Semua kontrak diatas USD 500.000 wajib mendapat persetujuan CRC,” jelasnya.
Jaksa Rudi Tertunduk
Terdakwa juga menerangkan bahwa kontrak C905616 itu dua kali ditandatangani Erwin Kasim sebagai Manager REM dan Delegation of Authority. Dalam proses pengadaan juga ada yang bernama registrasi kontrak dibawah kewenangan bagian pengadaan. Tidak ada orang yang yang bisa melakukan intervensi kepada proses pengadaan. Proses pengadaan itu ditangani tim tersendiri yang dinamakan authorized officer, yang dipimpin Bagawan Isawahyudi. Kontrak itupun sudah di-review tim pajak dan tim hukum.
Ditengah menyampaikan keterangan, Hakim Anggota Slamet Subagyo lantas mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. “Jadi dalam bioremediasi ini peran saudara apa? Mengapa saudara ikut tanda tangan di situ?,” Tanya Hakim Slamet. Terdakwa menjawab bahwa dirinya ikut tandatangan kontrak bridging bioremediasi itu karena adanya POA yang melekat pada jabatan.
Hakim Slamet bertanya lagi, “Tapi apa hubungannya dengan saudara? Mengapa saudara ikut tanda tangan di situ?”. Terdakwa menjawab, hubungan dia dengan bioremediasi adalah karena sebagai GM SLS terdakwa membawahi tujuh orang direct report yang membawahi sekitar 500 karyawan, salah satunya adalah REM dan IMS yang berkaitan dengan pekerjaan bioremediasi.
Hakim Slamet kemudian membuat kesimpulan bahwa terdakwa Bachtiar menandatangani kontrak bridging bioremediasi pada 24 Agustus, lalu pindah bertugas ke Jakarta mulai 1 September 2013. Terdakwa membenarkan kesimpulan Hakim Slamet itu. “Sebentar sekali. Berapa lama itu? Cuma enam hari? Lalu saudara sempat ngapain saja itu enam hari?,” tanya Hakim Slamet heran. “Ya, tidak ada,” jawab terdakwa spontan.
“Ya terus, bagaimana itu kalau tidak sempat ngapa-ngapaian?,” tanya Hakim Slamet lagi. “Ya, karena itu saya juga tidak mengerti, Yang Mulia,” jawab terdakwa Bachtiar sembari tertunduk dan menangis, tak habis pikir dengan kasus yng menimpanya saat ini. Beberapa pertanyaan yang diajukan penasehat hukum kemudian, tidak terjawab oleh terdakwa karena menangis.
Dalam suasana yang mengharukan itu, Jaksa Rudi yang disebut terdakwa memintanya menandatangani surat penahanan juga terlihat tertunduk dan duduk dengan posisi agak mundur, sehingga tertutup badan rekan-rekannya sesama Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Setelah agak tenang, terdakwa melanjutkan bahwa ia mengetahui statusnya sebagai tersangka pada Maret 2011. Pada 26 September 2011, empat tersangka termasuk terdakwa Bachtiar langsung ditahan Kejagung, tanpa pernah ditunjukkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan Edison Effendi.
Bantah Dakwaan Jaksa
Terdakwa juga mengatakan, selama diperiksa sebagai tersangka, tidak pernah ada pembicaraan mengenai jumlah kerugian negara. Terdakwa juga mengaku tidak pernah ditunjukkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan adanya kerugian keuangan negara akibat kontrak bridging C905616.
Dalam kesempatan itu, terdakwa juga membantah tandatangan yang dibubuhkannya pada kontrak bridging merupakan DOA (Delegation of Authority) seperti yang tertera di surat dakwaan JPU. Ia menegaskan, tandatangan yang dibubuhkannya merupakan POA.
Terdakwa juga menegaskan, sebagai GM SLS dirinya tidak punya kewenangan untuk intervensi ke dalam proses pengadaan. Karena terdakwa memang tidak bertanggung jawab pada pengadaan barang dan jasa. Terdakwa juga tidak mengetahui implementasi kontrak C905616 yang diteken 24 Agustus 2011, karena sudah pindah ke Jakarta sejak 1 September 2011.
Setelah memberikan keterangan di depan persidangan, menurut jadwal sidang pembacaan tuntutan JPU untuk Bachtiar, akan digelar pada 30 September 2013 mendatang, dimulai pukul 10.00 WIB di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Bachtiar Mestinya Sudah Bebas
Corporate Communication Manager Chevron dalam wawancara hari ini, Rabu, 25 September 2013 menyatakan bahwa semua keterangan yang muncul selama persidangan Bachtiar, makin memperkuat keyakinan bahwa putusan pengadilan terhadap tiga karyawan CPI lainnya tidak berdasar.
Segala yang terungkap di persidangan, kata Dony lagi, juga semakin menunjukkan bahwa putusan peradilan yang telah membebaskan Bachtiar dari tahanan dan statusnya sebagai tersangka merupakan keputusan yang obyektif dan adil.
“Mengingat tidak pernah ada putusan dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pra peradilan PN Jakarta Selatan maka sudah semestinya berdasarkan hukum di Indonesia, karyawan kami ini sudah menjadi warga negara yang merdeka dengan semua hak-hak hukum dan asasinya,” ujar Dony menjelaskan putusan PN Jakarta Selatan pada November 2012 lalu.
Menurut Dony, sampai persidangan yang saat ini akan masuk dalam agenda pembacaan tuntutan oleh JPU, tidak ada bukti yang jelas mengenai kerugian negara, tidak ada bukti tindakan kriminal atau tindakan penyalahgunaan wewenang oleh Bachtiar.
“Kami meminta agar penegak hukum bisa mempertimbangkan secara obyektif dan adil semua kesaksian dari lembaga pemerintah berwenang dan ahli-ahli yang kredibel serta bukti-bukti yang faktual. Kami pun meminta penegak hukum untuk mengabaikan semua keterangan dari pihak yang tidak netral termasuk keterangan ahli yang memiliki konflik kepentingan, misalnya yang pernah ikut tender untuk proyek yang sedang dipermasalahkan,” pungkas Dony.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru