JAKARTA – Investasi panas bumi cenderung menurun, dari tahun 2018 sebesar US$ 1,18 miliar, tahun 2023 sekitar US$ 740 Juta. Ini mengindikasikan bahwa bahwa kerangka regulasi yang ada belum cukup optimal dalam mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia. Hal ini juga mencerminkan bahwa regulasi yang ada saat ini belum cukup ramah bagi investor.

Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menyatakan urgensi untuk memperbaiki dan memperkuat kebijakan serta regulasi yang dapat memberikan kepastian dan daya tarik lebih bagi investor di sektor energi baru terbarukan, khususnya panas bumi, untuk memastikan peningkatan investasi di masa depan.

“Meskipun Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang besar, yaitu sekitar 23 GW, pemanfaatannya saat ini masih relatif lambat dengan kapasitas terpasang hanya 10,3% atau sekitar 2.378 MW,” kata Eddy dalam diskusi Peran Penting Industri Panas Bumi dalam Kebijakan Transisi, Ketahanan Energi dan Ekonomi Nasional yang digelar Reforminer Institute, Kamis (29/8).

Meskipun begitu, Indonesia tetap menjadi negara kedua terbesar di dunia dalam pemanfaatan panas bumi, setelah Amerika Serikat yang memiliki kapasitas 3.676 MW. Eddy Soeparno juga mencatat bahwa sekitar 85% dari kapasitas panas bumi yang terpasang di Indonesia dikelola oleh BUMN, seperti PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN, dan PT Geo Dipa Energy.

“Dominasi BUMN dalam pengelolaan panas bumi menunjukkan peran penting negara dalam mengembangkan sektor ini,” ungkap Eddy.

Pada tahun 2023, potensi energi panas bumi di Indonesia diperkirakan mencapai 23,4 GW. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang tertuang dalam Perpres No. 22 Tahun 2017, target kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) ditetapkan mencapai 7,2 GW pada tahun 2025, 9,2 GW pada tahun 2030, dan 17,5 GW pada tahun 2050. Saat ini, Direktorat Energi Baru dan Terbarukan (DEN) tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), yang menargetkan transisi energi dengan puncak emisi antara tahun 2035 hingga 2045 dan mencapai net zero emission pada tahun 2060. Dalam RPP KEN, target untuk kapasitas PLTP adalah 4 GW pada tahun 2025 dan 15 GW pada tahun 2050. Namun, hingga Juni 2024, kapasitas terpasang PLTP baru mencapai 2,4 GW.

Dina Nurul Fitria, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyatakan pengembangan panas bumi memang menghadapi tantangan signifikan, seperti biaya investasi yang tinggi dan risiko yang besar, terutama karena lokasi potensi energi panas bumi sering kali jauh dari konsumen listrik, sehingga memerlukan pembangunan infrastruktur pendukung. Selain itu, ketidaksesuaian antara kapasitas pengembangan dan permintaan listrik yang lebih rendah menyebabkan keekonomian proyek PLTP menjadi rendah.

 

“Untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pemanfaatan energi panas bumi, diperlukan terobosan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah konsep Geothermal Exploration & Energy Conversion Agreement (GEECA), yang mencakup perizinan, pengadaan tanah, dan penyiapan situs untuk eksplorasi,” ungkap Dina.

 

Sementara itu, Yudha Permana Jayadikarta, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), menyatakn Sinkronisasi kebijakan energi perlu dipercepat untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan, dengan fokus khusus pada regulasi panas bumi. Lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) sebaiknya dilakukan secara selektif, khususnya untuk lapangan-lapangan yang telah terbukti potensial, guna mengurangi biaya eksplorasi dan risiko yang dihadapi, mengingat banyak proyek yang gagal akibat ketidakpastian offtaker dan tingginya biaya eksplorasi yang mempengaruhi keekonomian proyek.

 

Oleh karena itu, dia menilai perlu ada dorongan kuat dari pemerintah untuk mendanai eksplorasi melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, salah satunya dengan melibatkan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

 

“Perluasan pemanfaatan dana PT SMI untuk eksplorasi panas bumi dapat dilakukan melalui skema GREM maupun PISP, guna memastikan keberlanjutan pengembangan energi panas bumi di Indonesia,” kata Yudha.

 

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyatakan pengembangan panas bumi di berbagai negara mengalami kemajuan yang relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya. Meskipun harga listrik panas bumi memiliki potensi untuk lebih murah, analisis dari Credit Suisse menunjukkan bahwa daya tarik bisnis sektor ini masih terbatas.

 

“Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk tingginya biaya investasi awal yang diperlukan untuk membangun pembangkit listrik panas bumi, yang sering kali lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik lainnya,” ungkap Komaidi.

 

Selain itu, investor lanjut dia masih cenderung lebih tertarik pada pembangkit listrik berbasis fosil yang meskipun memiliki biaya operasional yang tinggi, namun dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan investasi awal yang besar pada pembangkit listrik panas bumi. “Lokasi pengembangan yang kurang fleksibel, karena hanya bisa dibangun di area tertentu, juga menjadi tantangan, sementara pembangkit listrik lainnya dapat dibangun di lokasi yang lebih bervariasi,” kata Komaidi.