INDONESIA jadi salah satu negara yang jadi sorotan dunia lantaran mematok target penurunan emisi yang sangat ambisius ditengah penggunaan energi fosil secara besar-besaran sekarang ini. Perlu ada upaya tidak biasa jika memang target Net Zero Emissions tahun 2060 bisa terwujud, apalagi seperti diketahui hampir 60% pasokan energi listrik saat ini ditopang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara. PT PLN (Persero) kemudian menjadi sorotan, karena dipastikan tidak akan mudah untuk merealisasikan penghentian PLTU tersebut.
Co-firing biomassa kemudian muncul sebagai oase ditengah kegalauan akan rencana pensiun dini PLTU atau menunggu kesiapan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Tapi lagi-lagi tidak semudah itu bisa merealisasikan secara maksimal penggunaan biomassa untuk PLTU. Ketersediaan pasokan biomassa kali ini jadi sorotan.
Bukan PLN namanya kalau tanpa jalan keluar. Untuk mengatasi persoalan pasokan biomassa, diusung strategi khusus yang melibatkan masyarakat melalui program “Pengembangan Ekosistem Biomassa Berbasis Ekonomi Kerakyatan dan Pertanian Terpadu”. Ini jadi program besutan PLN bersama dengan Kementerian Pertanian yang memanfaatkan lahan kritis di berbagai wilayah.
Dengan melibatkan langsung masyarakat di suatu wilayah yang mayoritas adalah para petani, program ini tidak hanya diyakini mampu menjawab kebutuhan biomassa untuk PLTU yang sekaligus meningkatkan pemanfaatan EBT tapi juga akan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Sejauh ini sudah ada tiga wilayah yang menjalankan program ini yaitu di Desa Bojongkapol, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya yang baru saja bergulir pada September lalu. Di Tasikmalaya lahan yang dimanfaatkan untuk program ini mencapai 100 hektar (ha). Kemudian juga diimplementasikan di Cilacap dengan cakupan lahan 106 ha serta di Gunung Kidul dengan lahan yang dimanfaatkan mencapai 30 ha.
Dunia Energi pernah berkesempatan meninjau langsung pelaksanaan program di Gunung Kidul, tepatnya di desa Desa Gombang, Kecamatan Ponjong. Masyarakat desa di sana merasakan betul manfaat dari program ini.
Desa Gombang bukanlah desa dengan landscape lahan datar yang siap ditanami tumbuhan apapun. Desa berjarak 87,7 km dari pintu masuk Yogyakarta saat ini yaitu Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA). Jika mengendarai mobil bisa memakan waktu 2 jam 12 menit. Desa Gombang memiliki karakteristik bebatuan bukan tanah gembur yang terlihat subur, tapi entah bagaimana lahan itu disesaki tanaman-tanaman menjulang berwarna hijau. Hutannya rimbun bak hutan hujan tropis di pedalaman Kalimantan. Rimbunan pepohonan hijau itu adalah pohon indigofera.
Pada awal ditanam di akhir tahun 2023, indigofera memang dimaksudkan untuk jadi bahan baku biomassa nantinya tapi itu butuh waktu. Masyarakat sempat khawatir bagaimana bisa dapatkan manfaat dari program besutan PLN ini. Tidak berapa lama sejak mulai ditanam barulah masyarakat desa Gombang sadar akan keberadaan indigofera, yaitu kehadiran daunnya untuk pakan ternak.
Warga desa Gombang kerap kesusahan sebelum ada indigofera untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Karena sulitnya menemukan bahan pakan untuk hijauan, warga biasanya dari desa lain dengan ongkos yang lumayan besar.
Supriyatno , Lurah Desa Gombang menceritakan kepada Dunia Energi, bahwa sebelum indigofera ditanam di wilahnya, warga harus rela berjalan jauh dan merogoh dana tidak sedikit demi mendapatkan bahan pakan ternak. Kini selain desanya lebih rimbun, warga juga merasakan langsung manfaat kehadiran indigofera.
“Dulu harus cari ke Klaten, Sleman. Satu ikat pohon jagung 10 batang, diatas Rp10 ribu. jadi satu sapi misalnya itu pakannya khusus hijauan Rp 50 ribu nggak cukup,” cerita Supriyatno kepada Dunia Energi saat berkunjung ke desa Gombang pada awal Agustus lalu.
Desa Gombang terdiri dari 1.040 kepala keluarga dan semuanya pasti memiliki hewan ternak, minimal kambing. Mereka menjadikan hewan ternak sebagai tabungan hidup. Literasi keuangan tradisional masih dianut di sana. Hewan ternak mereka adalah garansi mereka yang sewaktu-waktu bisa “dieksekusi” ketika membutuhkan dana segar. “Bukan ditabung di Bank, mau daftar sekolah atau urusan mendesak langsung jual ternak,” kata Supriyatno.
Berdasarkan penelitan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan IPB, indigofera adalah legume yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dan relatif baru dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini memiliki kandungan protein kasar yang tinggi setara dengan alfafa (25 -23), kandungan mineral yang tinggi ideal bagi ternak perah, struktur serat yang baik dan nilai kecernaan yang tinggi bagi ternak ruminansia.
Sebagai pakan ternak kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera zollingeriana sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22%, dan fosfor 0,18%. Legume Indigofera zollingeriana memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas dan kandungan protein yang tinggi (26% -31%) disertai kandungan serat yang relatif rendah dan tingkat kecernaan yang tinggi (77%) . Tanaman ini sangat baik sebagai sumber hijauan baik sebagai pakan dasar maupun sebagai pakan suplemen sumber protein dan energ i, terlebih untuk ternak dalam status produksi tinggi (laktasi).
Kehadiran indigofera menghadirkan roda ekonomi sirkuler. Pucuk daun bisa untuk pakan ternak maka batangnya bisa dijadikan sebagai bahan baku penghasil energi listrik yang rendah emisi (biomassa). Batang pohon indigofera tersebut bisa dijual PLN untuk dijadikan biomassa bahan bakar alternatif untuk PLTU pengganti batu bara.
Tidak lama lagi desa Gombang bakal jadi salah satu penghasil dan pemasok bahan baku biomassa. Jadi konsem ekonomi sirkuler dalam program ini kan secara maksimal bergerak ketika batang pohon indigofera sudah siap panen sebagai biomassa. Ketika sudah masuk masa panen atau batangnya dinilai cukup untuk diolah menjadi sawdust (serbuk kayu). Perlu dua tahun sejak penanaman bibit untuk bisa hasilkan batang pohon indigofera yang ukurannya sudah memenuhi syarat untuk diolah menjadi sawdust.
Transaksi jual beli sawdust dari indigofera ini akan dikoordinasikan dengan BUMDes yang menjadi perantara. PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) akan jadi konsumen utama biomassa indigofera warga desa Gombang. Skemanya, batang – batang indigofera akan dibeli BUMdes dari warga. Selanjutnya batang akan dibeli oleh PLN EPI untuk kemudian diolah menjadi biomassa. Ini berarti warga desa Gombang tidak hanya dapat keuntungan daunnya untuk pakan ternak, tapi juga mendapat pemasukan tambahan dari jualan batang indigofera.
Apa yang diinisasi oleh PLN ini mengusung tujuan besar untuk meningkatkan ekonomi desa melalui konsep agroforestry biomassa yang terintegrasi dengan BUMDes.
PLN sendiri membutuhkan kepastian pasokan biomassa yang tidak sedikit untuk wilayah Jawa Tengah. Desa Gombang nantinya diproyeksi jadi salah satu sumber pasokan biomassa untuk memenuhi kebutuhan biomassa PLTU Pacitan. PLTU berkapasitas 2×315 megawatt (MW) ini jadi salah satu PLTU pertama gunakan biomassa sebagai alternatif bahan baku pengganti batu bara. Dalam sebulan PLTU Pacitan membutuhkan 8.000 ton biomassa yang diperoleh dari berbagai wilayah di sekitar PLTU.
Dengan dukungan PLN EPI, total ada 100 ribu bibit pohon yang sudah ditanam di desa Gombang dan rencananya akan ada penanaman 50 ribu bibit pohon lagi di akhir tahun ini. Dalam proyeksi yang ada, dari 50 ribu pohon indigofera yang ditanam bisa dihasilkan paling tidak 300 ton sawdust dalam setahun.
Membangun Ekosistem
Soni Trison, tim Tenaga Ahli Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) sekaligus Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB University saat pemaparan tentang pemanfaatan biomassa di desa Cilibang, Tasikmalaya pernah menjelaskan penguatan kelembagaan dalam membangun ekosistem biomassa menjadi langkah awal agar hubungan para pihak semakin handal dalam menjalankan berbagai perannya.
“Kelembagaan menjadi salah satu faktor penting dalam membangun ekosistem biomassa sehingga perlu dikuatkan bahkan ditingkatkan kelas dan kapasitasnya pada masing-masing pihak, baik itu Kelompok Tani maupun Bumdes,” ujar Soni beberapa waktu lalu.
Dalam perjalannya dia menyarankan agar dibentuk Pokja yang dan ditetapkan peran-peran pokja tersebut guna mendukung berjalannya program dengan baik. Menurutnya penyusunan Pokja ekosistem co-firing biomassa bertujuan membentuk skema kolaboratif antar instansi yang dinilai dapat memberikan peran positif bagi keberlanjutan program co-firing biomassa.
“Dengan adanya program ini, diharapkan desa-desa yang mengikuti program ini dapat menjadi contoh sukses kolaborasi antara PLN dan masyarakat dalam mengelola potensi desa berbasis usaha agroforestry berupa ekosistem biomassa sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonom bagi masyarakat setempat,” jelas Soni.
Para warga di Desa Bojongkapol, Kecamatan Bojonggambir, Tasikmalaya juga mengalami kondisi hampir serupa dengan warga desa Gombang. Tanah yang kering dan tidak subur di sana membuat banyak petani “lempar handuk” dan membiarkan lahan yang ada terbengkalai. Indigofera lagi-lagi mengubah segalanya. Sebagai basis pembentukan ekosistem biomassa, indigofera juga dikenal dengan kemampuannya untuk tumbuh di berbagai kondisi lingkungan. Warga desa Bojongkapol menerima bantuan 100 bibit tanaman indofera. Kini sudah ada 30 ha lahan yang ditanami indigofera serta ada 70 ha lahan yang sudah siap untuk ditanam.
Manfaat co-firing yang memanfaatkan biomassa memang tidak bisa dibilang sedikit. Langkah PLN untuk menjadikan co-firing sebagai jurus andalan dalam mengejar penurunan emisi dinilai sudah tepat.
Ferdy Hasiman, peneliti Alpha Research Database, menilai melalui penanaman kembali pohon-pohon di lahan kritis, maka PLN tidak hanya memproduksi sumber energi terbarukan, tetapi juga mengembalikan fungsi ekosistem yang hilang.
Reforestasi dalam menyediakan bahan baku untuk co-firing dinilai merupakan langkah signifikan dalam menjaga lingkungan sekaligus mendukung transisi energi menuju net zero emission. Melalui reforestasi, lahan yang sebelumnya kritis dapat ditanami pohon indigofera, jenis tanaman yang mampu menyimpan air, sehingga tanah menjadi subur.
“Dengan cara tersebut (co-firing), penggunaan batu bara di PLTU berkurang, sehingga emisi karbon juga menurun. Selain itu, lahan kritis yang diolah menjadi hijau kembali, serta ekonomi masyarakat terdorong karena mereka terlibat dalam seluruh proses pengembangan biomassa tersebut,” kata Ferdy dalam keterangannya belum lama ini.
Penggunaan biomassa juga bisa dianggap karbon netral. Meskipun pembakaran biomassa menghasilkan emisi karbon, proses pertumbuhan kembali tanaman di area reforestasi akan menyerap karbon dari atmosfer, sehingga tidak menambah emisi baru.
“Pohon yang ditanam dalam program reforestasi bisa menghasilkan kayu, sisa tanaman, atau bahan organik lain yang kemudian diolah menjadi pelet biomassa,” ujar Ferdy.
Sementara itu, Datin Fatia Umar, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa menurut penelitian, termasuk dari hutan tanaman energi (HTE) yang memiliki luasan 991 ribu ton, potensi bahan baku biomassa di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data 2022 serta 2,4 juta ton serbuk gergaji, serpihan kayu 789 ribu ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tanggah 68,5 juta ton.
Teknologi biomassa kata dia juga terus berkembang untuk meminimalisir berbagai kendala dalam implementasi biomassa. BRIN sendiri sudah melakukan penelitian untuk mengatasi kendala utama dalam co-firing dengan biomassa, yaitu terjadinya slagging/fouling, yakni menempelnya partikel abu di permukaan boiler untuk pembakaran.
Salah satu penelitian yang dilakukan adalah mengatasi slagging/fouling dengan proses pencucian biomassa dan penambahan mineral.
“Sehingga, penerapan teknologi co-firing ini bisa diterapkan secara masif, karena sekarang ini masih sedikit sekali, kalaupun menggunakan baru 5% untuk PLTU yang eksisting. Mudah-mudahan ke depan kalau kendala ini sudah bisa kita atasi bisa lebih banyak lagi PLTU yang bisa menggantikan sebagian batu bara dengan biomassa,” jelas Datin.
Penggunaan biomassa untuk mengurangi batu bara, dapat menjadi jembatan energi sebelum dilakukan penutupan PLTU sebagai bagian dari menekan emisi dari sektor energi, mengingat emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi ditargetkan dikurangi 358 juta ton pada 2030.
“Co-firing PLTU batu bara biomassa merupakan upaya alternatif mengurangi penggunaan batu bara dengan mengganti sebagian batu bara dengan biomassa untuk mencapai net zero emission,” kata Datin.
Indonesia memiliki potensi besar bioenergi dari biomassa yang apabila dikonversi menjadi listrik setara dengan 56,97 Gigawatt (GW). Dalam RUPTL 2021-2030 ditetapkan target implementasi co-firing biomassa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20% PLTU untuk di luar Jawa-Bali, dengan Capacity Factor (CF) 70%. Apabila seluruh unit PLTU telah beroperasi co-firing secara komersial dengan persentase biomassa untuk PLTU boiler tipe PC sebesar 6%, CFB 40% dan stoker 70% maka total kapasitas PLTU co-firing ekuivalen 2,7 GW (hingga 13,7 juta ton per tahun biomassa) dan persetase bauran energi mencapai 6%. RUPTL juga mencanangkan agar program co-firing biomassa bisa optimal maka PLTU yang dimiliki PLN harus dirancang untuk dapat co-firing minimal 30% biomassa.
Meskipun punya potensi besar, co-firing juga punya tantangan dalam pelaksanaannya, antara lain keberlangsungan pasokan biomassa dalam jangka panjang. Selanjutnya harga biomassa yang masih terbilang tinggi, sehingga sulit bersaing dengan harga batu bara. Lalu biaya investasi yang lebih tinggi untuk porsi co-firing biomassa yang lebih tinggi. Dengan adanya tambahan biaya serta harga yang masih tinggi tentu bakal memberikan dampak terhadap efisiensi Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
Wiluyo Kusdwiharto, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI), mengungkapkan pemerintah punya peran kunci dalam percepatan co-firing biomassa pada PLTU. Salah satu dukungan krusial yang bisa diberikan adalah adanya sinkroniasi dari sisi regulasi.
Program Hutan Tanaman Energi (HTE) yang punya tujuan untuk memastikan keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa juga dinilai belum optimal. Banyak lahan kosong yang masih tidak digarap dan tidak produktif.
“Program HTE ini rasanya jalan di tempat, padahal HTE ini sebenarnya memiliki potensi keberlanjutan yang lebih terukur dalam memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami tanaman energi,” ujar Wiluyo.
Sementara itu, Iwan Agung Firstantara, Direktur Utama PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), menyatakan inisiasi PLN yang menggandeng petani untuk membentuk ekosistem rantai suplai biomassa dimulai pada tahun 2023 yang berfokus pada tanaman Indigofera yang berfungsi sebagai bahan baku biomassa sekaligus pakan ternak.
”PLN berharap dapat membangun ekosistem biomassa yang berkelanjutan serta berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,”tutup Iwan.
Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, mengakui keputusan manajemen untuk menggandeng para petani adalah untuk menjawab tantangan akan ketersediaan pasokan biomassa. “Dengan kekuatan kolaborasi ini, Kementerian Pertanian dan PLN membawa kesejahteraan dan berkah. Kesuksesan ini akan diduplikasikan di lokasi lainnya, sehingga akan membawa manfaat yang lebih masif lagi,” kata Darmawan belum lama ini.
Pemerintah sudah mengatur pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 tahun 2023 dimana untuk pelaksanaan co-firing biomassa dilakukan secara bertahap sesuai target pemanfaatan B3m untuk co-firing biomassa nasional.
Dalam aturan tersebut pada tahun 2026 penggunaan biomassa menjadi 10,11 juta ton per tahun, 2027 turun menjadi 9,08 juta ton per tahun, 2028 menjadi 9,11 juta ton per tahun, 2029 menjadi 9,14 juta ton per tahun, dan di 2030 menjadi 8,91 juta ton per tahun. Target-target tersebut dipatok dengan asumsi penerapan EBT sudah mencapai 23% dari bauran energi nasional.
Di dalam pasal 18 diatur juga dalam penyedian Bahan Bakar Biomassa (B3m), pelaksana co-firing biomassa dapat melakukan pengadaan biomassa melalui pembelian B3m dari penyedia. Pembelian B3m dilaksanakan berdasarkan harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan.
Harga patokan tertinggi ini berlaku untuk pembelian B3m oleh PT PLN selaku pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum terintegrasi dan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk pembangkit tenaga listrik yang bekerja sama dengan PLN (Persero) atau independent power producer (IPP).
Sementara itu, harga patokan tertinggi tersebut ditetapkan sebagai batas atas dalam negosiasi pembelian B3m. Selain itu, pembelian B3m berdasarkan harga patokan tertinggi merupakan bagian dari beban bahan bakar dalam komponen biaya pokok penyediaan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat 1 pada pasal 19 berbunyi harga patokan tertinggi dihitung dengan formula harga batu bara dikali nilai koefisien harga B3m (k) dikali faktor koreksi kalor (Fc). Sedangkan pada ayat 2, berisi harga patokan tertinggi merupakan harga B3m free on board (FOB).
Untuk tahun ini ditargetkan sebanyak 47 PLTU bisa mengimplementasikan biomassa dengan penggunaan biomassa sebanyak 2.207.661 ton dan menghasilkan energi bersih sebesar 2.239.283 MWh. Dengan produksi listrik dari biomassa sebesar itu berkobtribusi untuk menurunkan emisi setara 2.400.017 ton CO2.
Pada tahun 2025 nanti total ada 52 PLTU dengan total kapasitas 18.895 Megawatt (MW) ditargetkan menggunakan biomassa dengan peningkatan persentase penggunaan di PLTU eksisting menjadi 12% sehingga jumlah biomassa yang dibutuhkan juga meningkat drastis jadi sebanyak 10,2 juta ton biomassa dengan energi bersih yang dihasilkan mencapai 12,7 Terawatt hour (TWh) per tahun. Penggunaan biomassa sebanyak itu di PLTU akan berkontribusi juga bagi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional yakni sebesar 3,59% dari target yang dicanangkan sebesar 23%. (RI)
Komentar Terbaru