JAKARTA – Pro kontra proyek hilirisasi batu bara yang diolah menjadi Dimethyl Ether (DME) terus bergulir. Proyek tersebut dinilai terlalu dipaksakan dan ujungnya tidak akan memberikan hasil yang ditargetkan.
Faisal Basir, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia bahkan menyebut proyek DME yang digadang-gadang bisa memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negara hanya rekayasa para pelaku usaha yang ingin menghindari kewajiban pembayaran royalti dari batu bara yang telah diproduksi.
“Ini kan akal-akalan pengusaha batu bara. Seolah-olah mereka pahlawan proyek DME. Sekarang menjadi Proyek Strategis Nasional, sehinggga enggak bayar royalti, enggak bayar PPh, dan enggak bayar apa-apa. Padahal yang buat DME, batu baranya enggak sampai 10% dari produksi mereka,” kata Faisal, Kamis (17/12).
Menurut Faisal, proyek hilirisasi batu bara adalah proyek mahal dan selama ini hanya digunakan sebagai umpan agar para pelaku usaha mendapatkan perpanjangan kontrak tambang dari pemerintah.
“Supaya mereka bisa diperpanjang konsensinya dengan pemanis ini (hilirisasi). Kita sudah tahu Bakrie seperti apa, sudah dari dulu kan begitu. Kemudian ditiru sama yang lain-lain, menuntut PSN. Kalau PSN tax holiday 25 tahun. jadi kita enggak dapat apa apa,” ungkap Faisal.
Selain itu, Faisal juga khawatir jika terus dijalankan seperti sekarang, beban negara yang selama mensubsidi LPG hanya akan beralih mensubsidi proyek DME. “Kita dulu minyak tanah dibunuh karena subsidi besar, munculah subsidi LPG. Nanti subsidi DME karena ongkos mahal,” kata dia.
IEEFA melalui peneliti sekaligus analis keuangannya, Ghee Peh sebelumnya mengatakan menggantikan LPG dengan DME tidak bisa masuk secara ekonomi. Berdasarkan perhitungan IEEFA, biaya produksi DME dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksi DME adalah Rp6,5 juta per ton atau US$470 per ton. Itu hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji atau LPG.
IEEFA memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor LPG hingga Rp266,7 miliar atau US$ 19 juta. Selain itu, kontraksi ekonomi akibat krisis Covid-19 masih terasa.
Bukan langkah tepat bagi pemerintah memberikan dukungan kepada proyek energi yang secara ekonomi tidak masuk akal. Permintaan keringanan dan insentif yang diajukan pelaku industri batu bara rasanya akan sulit terealisasi. Hal tersebut justru akan mendatangkan kerugian finansial cukup signifikan.
“Rasanya tidak bijak apabila beban tersebut ditambah dengan keharusan untuk mendukung proyek yang hanya akan menyebabkan kerugian,” kata Peh.
Pemerintah sendiri telah membantah proyek DME adalah proyek rugi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kunci sehingga proyek tersebut masuk secara ekonomi adalah adanya pengenaan royalti 0%.
Dadan Kusdiana, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM, mengungkapkan berdasarkan hasil kanian dari Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM dari analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dengan Feasibility Study (FS) Bukit Asam, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek.
Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar US$365 per ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat demand energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada FS Bukit Asam sekitar US$600 per ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir.
“Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME,” tukas Dadan.
Perbedaan lainnya lanjut dia terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank sebesar US$37 per ton. Sedangkan FS Bukit Asam sekitar US$21 per ton yang merupakan harga batu bara Bukit Asam kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batu bara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, dimana FS Bukit Asam lebih efisien.
Metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar US$300 per ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.
Sedangkan Bukit Asam telah melakukan Feasibility Study komprehensif dengan asumsi data (sebagaimana tabel) yang menghasilkan keekonomian proyek dengan Net Present Value (NPV) USD350 juta dan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 11% sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi.
“Selain itu FS Bukit Asam juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya,” ujar Dadan.
Selain keekonomian proyek, setidaknya terdapat enam poin dampak ekonomi dari hilirisasi batu bara untuk DME. Pertama, DME meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan menekan impor LPG hingga 1 juta ton LPG per tahun (kapasitas produksi DME 1,4 juta ton per tahun).
Kedua, menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menghemat Neraca Perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.
Ketiga, akan menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar US$2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun). Keempat, pemanfaatan sumberdaya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik. Kelima, adanya multiplier effect berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp800 miliar per tahun. Keenam, pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.
Selain itu, dalam mendukung implementasi substitusi LPG ke DME, Lemigas Balitbang ESDM telah melakukan uji coba terkait kompor DME. “Hasil uji coba kami, menunjukkan bahwa efisiensi kompor meningkat dari rata-rata 61,9% dengan penggunaan LPG, menjadi 73,4% apabila menggunakan DME. Sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya,” kata Dadan.(RI)
Komentar Terbaru