BATU bara selama ini identik sebagai sumber daya energi sekali pakai alias langsung habis digunakan karena melalui satu kali proses pembakaran untuk menjadi uap panas yang menghasilkan energi listrik. Padahal hilirisasi atau pengelolaan batu bara tidak hanya terbatas untuk dibakar habis. Ada manfaat lain yang bisa memberikan dampak signifikan, termasuk bagi perekonomian nasional, yaitu gasifikasi batu bara.
Kini secercah harapan untuk memulai era baru dalam hilirisasi batu bara mulai muncul melalui inisiatif PT Bukit Asam Tbk yang menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya, yakni PT Pertamina (Persero). Kedua BUMN tersebut tidak berjalan sendiri. Untuk masalah teknologi yang kerap menjadi tantangan, Bukit Asam dan Pertamina menjalin kerja sama dengan Air Products, perusahaan asal Amerika Serikat yang telah memiliki paten atau teknologi gasifikasi batu bara yang sebelumnya dimiliki Shell.
Pengembangan gasifikasi batu bara menjadi semakin nyata dengan rencana pembangunan pabrik gasifikasi di Peranap, Provinsi Riau dengan kapasitas 400 ribu ton DME per tahun dan 50 mmscfd SNG. Pembangunan pabrik pertama ini ditargetkan rampung pada 2022.
Salah satu produk dari gasifikasi batu bara adalah dimethyl ether (DME) dan synthetic natural gas (SNG) yang bisa juga dimanfaatkan menjadi bahan bakar untuk pengganti atau sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Potensi substitusi LPG ini tentu menjadi kabar gembira lantaran sebagian besar kebutuhan LPG di Indonesia atau lebih dari 60% dipenuhi dari luar negeri atau impor. Sisanya baru berasal dalam negeri.
Keuangan negara sudah lama terbebani dengan adanya impor LPG, belum lagi dengan subsidi yang tiap tahun juga terus membengkak. Data Pertamina menunjukkan pertumbuhan konsumsi LPG diperkirakan rata-rata sebesar 5% setiap tahun.
Akhir 2017, konsumsi LPG PSO atau penugasan yang didistribusikan Pertamina sudah mencapai 6,3 juta metrik ton (MT). Padahal kuota yang diterapkan pemerintah hanya 6,199 juta MT. Pada 2018, konsumsi diperkirakan meningkat menjadi 6,7 juta MT.
Tidak hanya itu, Bukit Asam juga sudah mengalokasikan dana US$ 1 miliar-US$ 1,5 miliar untuk membangun pabrik gasifikasi batu bara di Bukit Asam Coal Based Industrial Estate (BACBIE) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Untuk pabrik satu ini Bukit Assm telah menggandeng Pertamina, PT Pupuk Indonesia (Persero) serta PT Chandra Asri Petrochemical Tbk.
Produksi pabrik gasifikasi diproyeksikan memenuhi kebutuhan pasar domestik sebesar 500 ribu ton urea per tahun, 400 ribu ton DME per tahun, dan 450 ribu ton polyproylene per tahun.
Suherman, Sekretaris Perusahaan Bukit Asam, mengungkapkan potensi gasifikasi cukup besar. Pengembangan gasifikasi ini sebagai salah satu amanat dalam pendirian holding BUMN tambang.
“Ini salah satu amanat pendirian holding untuk melakukan hilirisasi untuk mendapatkan nilai tambah yang sebesarnya dari sumber daya Indonesia,” ungkap Suherman kepada Dunia Energi, Senin (26/11).
Nilai Tambah
Gasifikasi batu bara merupakan metode pembuatan gas hidrogen tertua. Biaya produksinya hampir dua kali lipat dibandingkan dengan metode steam reforming gas alam pada umumnya. Selain itu, cara ini pula menghasilkan emisi gas buang yang lebih signifikan. Karena selain CO2 juga dihasilkan senyawa sulfur dan karbon monoksida.
Melalui cara ini, batu bara pertama-tama dipanaskan pada suhu tinggi dalam sebuah reaktor untuk mengubahnya menjadi fasa gas. Selanjutnya, batu bara direaksikan dengan steam dan oksigen, yang kemudian menghasilkan gas hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida
Irwandi Arif, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), menyatakan inisiatif sinergi untuk mengembangkan gasifikasi batu bara adalah langkah maju. Ini juga sebenarnya dorongan pemerintah untuk memulai nilai tambah batu bara.
“Ke depan yang kita tunggu apakah proyek gasifikasi batu bara ini sudah economic proven,” ujar dia.
Lebih lanjut dia berharap besar ada babak baru dalam pengembangan gasifikasi kali ini. Tentunya tantangan teknologi dan skala kapasitas juga masih menjadi tantangan yang pasti akan dihadapi para pelaku usaha. “Diharapkan ada yang akan berhasil dalam skala ekonomi untuk memulai era baru batu bara,” kata Irwandy.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap sinergi pemgembangan gasifikasi batu bara kali ini sebagai pelecut untuk menambahkan added value pengelolaan batu bara. Keekonomian gasifikasi memang masih diragukan, tapi dengan modal sumber daya pada sinergi kali ini, keekonomian tersebut bisa dibuktikan.
Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba), mengatakan pengembangan gasifikasi wajar dilakukan melalui kerja sama beberapa perusahaan. Ini juga bisa jadi jalan untuk membagi risiko yang dianggap masih tinggi.
“Bagus (sinergi). Jadi memperingan, risiko terbagi, sudah ada off taker-nya bagus. Nanti kalau satu sudah masuk kemudian ekonomis pasarnya ada terus langsung berbondong-bondong, bisnis kan begitu,” kata Bambang.(RI)
Komentar Terbaru