JAKARTA – Empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang ditahan Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi akhirnya bebas. Ini setelah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 27 November 2012, mengabulkan permohonan praperadilan mereka.
Putusan praperadilan itu otomatis menggugurkan perpanjangan penahanan yang diajukan Kejaksaan Agung pekan lalu. Presiden Direktur Chevron, A Hamid Batubara mengaku gembira menyambut putusan praperadilan, yang membebaskan keempat karyawannya itu.
“Sebagaimana kita sampaikan, program bioremediasi CPI telah disetujui dan diawasi oleh instansi pemerintah yang berwenang. Proyek ini telah berhasil membersihkan tanah yang cukup untuk digunakan dalam menghijaukan lebih dari 60 hektar tanah yang setara dengan sekitar 75 lapangan bola,” ujar Hamid di Jakarta, sesaat setelah keluarnya putusan pembebasan itu.
Jeff Shellebarger, Chevron IndoAsia Business Unit Managing Director juga mengungkapkan, akan terus sepenuhnya membela para karyawan dalam kasus ini. Ia pun mengaku yakin, tidak ada bukti yang mendukung dugaan korupsi, seperti yang dituduhkan Kejaksaan Agung terhadap empat karyawan Chevron itu terkait program bioremediasi.
“Kami akan meminta pihak yang berwenang untuk menyelesaikan persoalan proyek bioremediasi ini, dengan lembaga pemerintah yang berwenang dalam menyetujui dan mengaudit proyek-proyek di bawah kontrak bagi hasil, yang menjadi landasan operasi CPI,” tandasnya.
Ia menegaskan, Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi Chevron dan Pemerintah Indonesia, berada di ranah hukum perdata. Dalam kontrak itu pun secara jelas memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang harus dijalankan, jika ada pertanyaan terkait proyek yang harus dijawab perusahaan atau pemegang kontrak bagi hasil yang bersangkutan.
Seperti diberitakan Dunia Energi sebelumnya, pada Jumat, 23 November 2012, Kejaksaan Agung mengajukan perpanjangan penahanan atas empat karyawan Chevron tersebut. Kejaksaan Agung seolah berusaha mendahului putusan praperadilan yang akan dibacakan Selasa, 27 November 2012.
Praktisi hukum Darmanto mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejakgung) memang mempunyai hak mengajukan perpanjangan penahanan. Namun penetapan apakah penahanan akan diperpanjang atau tidak, adalah kewenangan pengadilan yang menangani perkara.
“Kalau pengadilan menyatakan tidak perlu ada perpanjangan penahanan, maka pengajuan Kejaksaan Agung untuk memperpanjang penahanan sampai 30 hari kedepan bisa tidak dipenuhi,” ungkap advokat dari Farrianto & Darmanto Law Firm ini. Demikian pula jika putusan Praperadilan menyatakan penahanan tidak sah, maka pengajuan perpanjangan oleh Kejakgung gugur dengan sendirinya.
Yang menarik dalam kasus ini, tutur Darmanto, adalah sejak awal Kejakgung sebenarnya tidak memiliki bukti awal yang kuat, untuk melakukan penahanan. Karena tuduhannya adalah korupsi, maka harus ada potensi kerugian negara yang dibuktikan, melalui audit lembaga yang berwenang. “Hasil audit kerugian negara dari lembaga berwenang itu sampai sekarang belum ada,” ujarnya Jumat, 23 November 2012.
Memang ada hasil audit Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) yang munculnya setelah penahanan dilakukan. Namun menurut hukum positif di Indonesia, BPKP bukanlah lembaga yang berwenang untuk mengaudit ada tidaknya kerugian negara. “Yang berwenang adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” terangnya.
Sampai saat ini, hasil audit BPK juga belum diperoleh Kejakgung. Justru hasil audit BPKP yang menetapkan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 100 miliar, dianggap oleh banyak pihak seperti hasil audit ’pesanan’.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru