JAKARTA – Edison Effendi, seseorang berstatus ‘ahli bioremediasi’ yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan keterangan di depan persidangan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menyatakan, pelaksanaan bioremediasi pada industri hulu minyak dan gas bumi (migas) tidak wajib mengikuti Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003.
Keterangan Edison ini jelas menimbulkan tanda tanya bagi semua yang hadir di persidangan. Mengingat kasus bioremediasi ini muncul, karena penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) mempersoalkan pelaksanaan proyek bioremediasi PT CPI yang dianggap tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003. Apa yang dilakukan Kejagung, seluruhnya berdasarkan keterangan Edison Effendi.
Dalam dakwaan JPU juga disebutkan, bioremediasi CPI dianggap fiktif karena sesuai Kepmen LH 128/2003, Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) tanah yang boleh dibioremediasi adalah 7,5% sampai 15%. Namun CPI melakukan bioremediasi hingga TPH tanah dibawah 1%, sehingga biayanya lebih mahal dan termasuk korupsi karena merugikan keuangan negara. Angka 7,5% – 15% itu pun yang menyebut pertama kali adalah Edison kepada penyidik, dan menurutnya merujuk pada Kepmen LH 128/2003.
Saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 5 September 2013, penasehat hukum pun bertanya kepada Edison yang didatangkan sebagai ahli oleh JPU. “Saudara Ahli, pada pasal mana di Kepmen LH 128/2003 yang menyebutkan tanah yang boleh dibioremediasi adalah yang TPH-nya 7,5% sampai 15%? ,” tanya penasehat hukum.
Setelah membolak-balik dokumen yang ada di tangannya, dengan terbata-bata Edison menjawab “itu memang tidak tercantum dalam Kepmen 128/2003. Tapi berdasarkan pengalaman kami sebagai ahli, yang sudah berkali-kali melakukan bioremediasi di lapangan,” ujar Edison.
Edison menambahkan, Kepmen LH 128/2003 tentang tatacara pengolahan tanah terkontaminasi minyak dengan bioremediasi, hanyalah merupakan suatu kebijakan. Sehingga sebagai ahli, ia tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti peraturan itu. Menurut Edison, sebagai ahli dirinya tidak terikat untuk mengikuti Kepmen LH 128/2003, karena bisa berpegang pada teori dan keahlian.
“Keputusan Menteri adalah suatu kebijakan sehingga sebagai ahli tidak terikat untuk mengikuti. Teorinya kan sama. Yang penting itu dieksekusi dan berhasil,” ujar Edison dalam tanya jawab dengan penasehat hukum yang memakan waktu sekitar lima jam.
Tidak Ikuti Aturan Audit Lingkungan
Dalam tanya jawab di persidangan itu, Edison juga mengakui, laboratoirum yang digunakannya untuk menguji sampel tanah dari lapangan CPI dan menjadi alak bukti di persidangan, tidak mengikuti Peraturan Menteri (Permen) LH Nomor 06 Tahun 2009 tentang Laboratorium Lingkungan.
Menurut Permen LH 06/2009, laboratorium lingkungan haruslah terakreditasi, dan alat-alatnya terkalibrasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Namun menurut Edison, soal kalibrasi alat laboratorium, dapat dilakukan oleh semua orang. Selain itu, Edison Effendi yang mengaku sebagai auditor lingkungan, menerangkan bahwa tata cara pelaksanaan audit lingkungan tidak perlu diikuti.
Dalam sidang kali ini penasehat hukum terdakwa mengajukan berbagai pertanyaan seputar pengetahuan ahli seputar program bioremediasi yang dilakukan oleh CPI dan terungkap bahwa Edison tidak pernah membaca penelitian yang dipublikasikan oleh PT Chevron Pacific Indonesia yang menyatakan alasan ilmiah mengapa dilakukan proses bioremediasi.
Ketika penasehat hukum menanyakan apakah ahli pernah membaca, mengetahui hasil-hasil penelitian dan uji skala laboratorium dan skala lapangan yang dilakukan oleh CPI sejak tahun 1994, 1997, 2000, 2002 dan teknologi bioremediasi yang telah mendapatkan izin dari KLH untuk dipergunakan di operasi CPI di Sumatera, Edison menjawab tidak.
Ahli Tidak Layak
Dimintai tanggapannya soal keterangan ahli di persidangan, penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail menyatakan kembali bahwa Edison Effendi tidak layak dihadirkan di persidangan sebagai ahli.
“Keterangan-keterangan ahli Edison Effendi di persidangan yang secara terang-terangan mengaku bahwa sebagai ahli, dirinya tidak perlu mengikuti atau terikat dengan peraturan yang ada termasuk Kepmen LH 128/2003 dan Permen LH 06/2009 jelas mencederai persidangan ini, padahal klien kami dalam kasus ini didakwa melakukan pelanggaran terhadap Kepmen LH 128/2003,” ujar Maqdir.
“Keterangan Edison Effendi soal pengakuan atas bakteri yang dimilikinya dari BP Migas dan Direktorat Jenderal (Dirjen) Migas tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam Kepmen LH 128/2003,” ungkap Maqdir.
Menurut Maqdir, Kepmen LH 128/2003 menyatakan, proses bioremediasi harus menggunakan mikroorganisme lokal, dan jika diperoleh dari luar dipersyaratkan bukan merupakan organisme pathogen, bukan termasuk organisme hasil rekayasa genetik, dan apabila produk impor digunakan harus seizin Kementerian Pertanian.
“Berdasarkan keterangan ahli bahwa laboratorium yang dimilikinya tidak mengikuti persyaratan yang diatur di dalam Permen LH 06/2009 tentang Laboratorium Lingkungan, menunjukkan bahwa kredibilitas ahli dalam memahami peraturan lingkungan patut dipertanyakan,” pungkas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Duuh gemeeeesss…