JAKARTA – Hingga saat ini rasio elektrifikasi PLN mencapai 99,8 persen, hampir mendekati 100 persen. PLN tercatat memiliki pembangkit listrik dengan total kapasitas 73 Gigawatt (GW), di mana sebagian besar merupakan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti batu bara, gas, dan BBM.
“60-70 persen merupakan pembangkit listrik batu bara kemudian ditambahkan gas dan BBM, kira-kira 80%,” ungkap Warsono, Executive VP Perencanaan Ketenagalistrikan PT PLN (Persero), dalam webinar DE Talk bertema “Pengembangan Sektor Ketenagalistrikan Untuk Mencapai Swasembada Energi di Era Pemerintahan Baru” yang digelar Dunia Energi, Selasa(26/11/2024).
Turut hadir dalam webinar DE Talk tersebut Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Yurizki Rio, dan Subkoordinator Perencanaan Wilayah Usaha Ketenagalistrikan Ditjen Gatrik Kementerian ESDM, Fadolly Ardin.
PLN menekankan komitmen mendukung Net Zero Emission (NZE) dengan mengembangkan Accelerating Renewable Development Scenario. Renewable energy akan ditingkatkan secara bertahap, dan mengurangi penggunaan energi fosil juga secara bertahap. Sesuai roadmap, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) akan berkurang, kemudian juga pembangkit listrik berbahan bakar gas. Pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan) akan semakin meningkat.
Warsono menjelaskan, untuk mencapai NZE ada beberapa pondasi, pertama terkait terknologi ada 4 pilar. Kedua environmental technology untuk mendukung green energy. PLN menyediakan Renewable Energy Certificate (REC) untuk pelanggan yang produksinya adalah green product.
“Beberapa negara tidak menerima atau menerapkan tax jika tidak diproduksi dari renewable energy. Kemudian juga emission reduction atau penggunaan karbon, tentu didukung oleh kemampuan dari personal PLN, capability teknologi, dan biaya yang digunakan juga cukup besar,” ujar Warsono.
Lebih lanjut Warsono memaparkan empat pilar terkait teknologi. Pertama, adalah penambahan secara masif renewable energy termasuk juga new energy 75% sampai dengan tahun 2040, kemudian gas 25%. Karena akan membangun pembangkit listrik tenaga angin (wind) dan surya (solar), maka diperlukan smart grid.
Ke depannya, PLN akan menggunakan techologi emerging, termasuk nuklir.
Terkait swasembada energi, Accelerating Renewable Development Scenario yang diterapkan PLN tentunya selaras dengan target low emission, di mana renewable energy emisinya rendah. Terpenting adalah energi security tinggi, karena sumber energi terbarukan ada di Indonesia.
“Namun memiliki kelemahan, yaitu capexnya tinggi. Geothermal capexnya mahal. Sesuai dengan draft RUPTL masih dalam proses. Ke depan dengan pertumbuhan cukup tinggi perlu bangun 68 GW. Pembagiannya cukup Seimbang 20GW thermal baseload, RE baseload 22 GW, VRE – solar, wind ada 21 GW.
Kita sudah mulai rencanakan nuklir sesuai RJPP,” jelas Warsono.
Ke depannya, lanjut Warsono, dengan pertumbuhan yang cukup tinggi maka perlu membangun pembangkit listrik berkapasitas 68 GW. Pembangkit listrik meliputi, pembangkit thermal 20 GW, pembangkit geothermal, yang sifatnya baseload, ini total ada 24 GW. Kemudian VRI adalah solar dan wind 21 GW.
“Jadi kita rencanakan relatif seimbang
antara kebutuhan thermal yang sifatnya baseload , atau bisa juga dispatchable,” kata Warsono.(RA)
Komentar Terbaru