JAKARTA– Pemerintah Indonesia akan menjadikan energi nuklir untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi. Hal ini akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Rancangan PP ini merupakan pembaruan atas Peraturan Pemerintah (PP) no.79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang mana dalam aturan tersebut disebut bahwa nuklir merupakan opsi terakhir sumber energi di Indonesia.

Menanggapi hal tersebut Bob S Effendi, Direktur Operasi PT Thorcon Power Indonesia, menyampaikan bahwa setelah pemerintah memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), ada beberapa isu yang harus diputuskan. Isu-isu tersebut bukanlah tentang keselamatan, limbah, radiasi, atau kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) karena semua hal tersebut merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dan telah diatur oleh regulasi dengan pengawasan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

“Ada dua isu strategis yang bukan merupakan kewenangan Bapeten dan sampai saat ini belum ada regulasi yang mengaturnya, yang seharusnya diputuskan di tingkat menteri, Menko, atau Presiden, yaitu pertama pembiayaan PLTN apakah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau investasi swasta? Isu kedua, harga jual listrik PLTN yang layak. Tanpa menjawab kedua hal tersebut, maka PLTN hanya akan menjadi wacana saja,” kata Bob kepada Dunia Energi, Rabu(10/7).

Bob mengatakan untuk menjawab isu pertama, dengan melihat postur APBN yang sudah ketat, tidak mungkin Pemerintah mengeluarkan APBN untuk PLTN sebagaimana biasanya PLTN dibangun di dunia
dengan APBN. Artinya, pembangunan PLTN harus mengandalkan investasi swasta dengan menjual listrik ke PT PLN (Persero) atau industri melalui skema IPP.
“Menjawab isu kedua lebih sulit. PLTN akan diposisikan seperti apa? Bila hanya sekedar ada PLTN atau untuk menyeimbangkan emisi, maka harga jual listrik tidak menjadi masalah,” ujar Bob.

Bob menyebutkan program transisi energi akan meningkatkan subsidi yang luar biasa besar. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, jika mengandalkan energi terbarukan (ET) dalam skala besar, maka subsidi bisa mencapai Rp 180 triliun pada tahun 2030, yang disebut skenario low-carbon. Namun, jika tetap mengandalkan tetap PLTU dengan emisi rendah, maka subsidi tetap naik tetapi di level Rp113 triliun, dari saat ini Rp 73 triliun yang disebut skenario optimal.

Bob mengungkapkan masalah utama transisi energi adalah biayanya yang mahal. Karena menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) bukanlah opsi yang menarik, maka peran strategis PLTN diperlukan untuk menurunkan emisi serendah mungkin tetapi dengan biaya yang murah.

Lebih lanjut Bob menjelaskan Skenario yang disebut sebagai low carbon – low cost (LCLC) sangat mungkin membuat subsidi bisa di bawah Rp 100 triliun pada tahun 2030. Untuk mencapai skenario LCLC, harga jual listrik PLTN harus di bawah 7 sen per kWh atau setara PLTU sehingga dapat gantikan PLTU sebagai pemikul beban utama.

“Kedua hal ini harus diputuskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Memilih PLTN murah untuk dapat menekan subsidi memiliki konsekuensi. Saat ini, belum ada PLTN murah yang beroperasi, tetapi karena PLTN ditargetkan beroperasi pada tahun 2032, beberapa teknologi baru, seperti Thorcon, bisa muncul dan berkontribusi menghasilkan listrik murah,” ujar Bob.

Thorcon Power Indonesia berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berbasis teknologi Molten Salt Reactor 2×250 MW (TMSR500 atau Kelasa-1) sebagai calon PLTN pertama di Indonesia. PLTN TMSR500 yang dikembangkan tanpa menggunakan APBN ini akan dibangun di wilayah Kelasa Kabupaten Bangka Tengah.

Bob menuturkan karena tidak ada APBN dan harus menjual listrik, timbul masalah bahwa PLN secara aturan tidak dapat membeli listrik dari pembangkit yang masih purwarupa. Bob menekankan di sinilah diperlukan terobosan kebijakan dari Pemerintah. Jika mengandalkan PLTN yang sudah teruji, biaya mahal di atas 12 sen per kWh akan meningkatkan subsidi.

“Secara regulasi, sebenarnya sudah dimungkinkan bagi swasta membangun PLTN purwarupa untuk kemudian dikomersialisasi dengan menjual listrik ke PLN melalui PP No. 5 tahun 2021 dengan KBLI 43294 yang sudah dikonfirmasi oleh BAPETEN sebagai pengampu. Jika regulasinya sudah memperbolehkan, seharusnya PLN juga tidak ada masalah. Inilah dua isu strategis yang sampai saat ini tidak pernah dijawab dan harus dijawab karena tanpanya PLTN akan jalan di tempat,” kata Bob.

Sebelumnya Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan dengan dimasukkannya nuklir sebagai sumber energi baru di Indonesia, maka ini menunjukkan bahwa Indonesia siap untuk memanfaatkan sumber energi tersebut.

Arifin Tasrif juga menyampaikan, perubahan KEN ini karena dalam perkembangan pelaksanaan KEN, terdapat perubahan lingkungan strategis yang signifikan, baik nasional maupun global, seperti target pertumbuhan ekonomi untuk menjadi negara maju pada 2045, kemajuan pengembangan teknologi energi baru terbarukan (EBT) sehingga dapat meningkatkan pangsa EBT dalam bauran energi primer nasional, dan kontribusi terbesar sektor energi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

“(Nuklir) masuk di dalam rencana bauran energi, melihat ketersediaan energi dan kemudian juga percepatan untuk target capaian NDC (Nationally Determined Contribution) kita. Tujuan KEN memberikan arah dalam upaya mewujudkan kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, keterpaduan, efisiensi, produktivitas, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi nasional, ketahanan energi nasional, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam dekarbonisasi sektor energi mewujudkan ketahanan iklim nasional dan mendukung pembangunan ekonomi hijau,” ujar Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VII DPR RI,Selasa (9/7/2024).

Menteri ESDM menyebutkan salah satu poin perubahan dalam KEN yaitu terkait energi nuklir. Pada PP No.79/2014, nuklir hanya dijadikan sebagai opsi terakhir dalam meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi. Sementara pada RPP KEN kali ini, pemerintah akan menggunakan energi baru, salah satunya nuklir, untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi.

“Dalam RPP KEN, grand strategi untuk tetap menjaga ketahanan energi dalam transisi energi, salah satunya yaitu penggunaan energi baru yakni nuklir untuk menyeimbangkan dan mencapai target dekarbonisasi,” ujar Arifin Tasrif.

Diketahui ada PP No.79/2014, target dekarbonisasi adalah untuk mencapai pangsa EBT dałam bauran energi primer sebesar 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Namun pada RPP KEN kali ini, transisi energi diperkirakan akan mencapai puncak emisi pada 2035 dan Net Zero Emissions pada 2060. Pada 2060 bauran EBT ditargetkan sebesar 70%-72%.(RA)