PT Pertamina Hulu Energi Offshort North West Java (PHE ONWJ), kontraktor kontrak kerja sama di bawah pengawasan SKK Migas yang juga anak usaha PT Pertamina Hulu Energi, memproyeksikan penutupan sumur YY1-A di perairan Karawang, Jawa Barat yang mengeluarkan minyak sejak 12 Juli 2019 diproyeksikan bisa tuntas dalam waktu tidak terlalu lama. Selain fokus menutup sumur dan meminimalkan tumpahan minyak di laut dan pantai, PHE ONWJ juga fokus terhadap persoalan sosial atas kasus tersebut. Salah satunya adalah pemberian kompensasi terhadap warga terdampak tumpahan minyak khususnya para nelayan dan petambak.
Sejak Kamis dua pekan lalu, PHE ONWJ memberikan kompensasi tahap awal sebesar total Rp18 miliar untuk sekitar 10.000 lebih warga terdampak (nelayan, petambak, dan pedagang di pesisir pantai Karawang. Kompensasi tersebut diberikan untuk periode Agustus-September 2019 saat warga tidak mendapatkan penghasilan karena tak bisa melaut atau berdagang karena tempat berusahanya terkena dampak tumpahan minyak.
Risna Resnawaty, pakar pengembangan masyarakat yang juga Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung menilai, langkah PHE ONWJ untuk secara paralel mengatasi persoalan teknis penutupan sumur, penyelamatan lingkungan, dan mengatasi persoalan sosial patut diapresiasi. Ini adalah salah satu bentuk tanggungjawab perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat yang bisa dijadikan pelajaran oleh perusahaan khususnya di sektor ekstraktif.
Untuk mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan PHE ONWJ dalam kaitan penanganan masalah sosial serta kompensasi atas ganti rugi warga terdampak tumpahan sumur minyak YY1-A, berikut wawancara Dudi Rahman dari Dunia-Energi dengan Doktor Kesejahteraan Sosial jebolan FISIP Universitas Indonesia pada 2014 tersebut. Petikannya.
Warga Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang menanti proses verifikasi sebelum mendapatkan kompensasi tahap atas tumpahan sumur minyak PHE ONWJ di laut Karawang. (foto: dudi rahman/dunia-energi)
Bagaimana Anda melihat pemberian kompensasi tahap awal selama dua bulan (Agustus-September 2019) untuk proses ganti rugi yang dilakukan PHE ONWJ bagi warga terdampak tumpahan minyak sumur YY1-A?
Pemberian kompensasi terhadap warga yang terdampak dari tumpahan minyak tentu tidak boleh ditunda. Tumpahan minyak ini memiliki dampak langsung, yaitu hilangnya mata penghidupan bagi nelayan. Pemberian kompensasi ini dapat disebut sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dengan tingkat urgensi tinggi sebab permasalahan muncul akibat kelalaian perusahaan. Inisiatif dari perusahaan untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi menunjukan perusahaan memiliki itikad baik, kendati besaran jumlah kompensasi tentu harus betul-betul dihitung dan diperkirakan sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan dari nelayan dan keluarganya. Dan yang terpenting adalah proses rehabilitasi laut pascatumpahan minyak harus segera dilakukan.
Kompensasi tahap awal itu sebenarnya semacam bantuan agar warga terdampak yang tidak bisa berakivitas selama dua bulan mendapatkan penghasilan. Apakah kompensasi tahap awal sebesar Rp 900 ribu per bulan dan total Rp1,8 juta selama dua bulan kepada warga terdampak sudah layak?
Sebenarnya besaran bantuan yang diberikan oleh perusahaan terhadap nelayan tidak pernah sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan. Kerugian yang dialami bukan hanya hilangnya mata pencaharian, aktivitas sosial nelayan secara keseluruhan dapat terganggu, terlebih kita tidak tahu seberapa lama ekosistem laut tersebut akan pulih dan kembali normal. Namun itikad dari perusahaan untuk memberikan kompensasi perlu diacungi jempol. Untuk menemukan jumlah yang sesuai untuk diberikan pada nelayan dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata penghasilan nelayan selama ini. Dan yang perlu dipastikan adalah apakah setelah dua bulan kegiatan menangkap ikan akan kembali normal?
Selepas pemberian kompensasi tahap awal, PHE ONWJ juga memproses/verifikasi untuk ganti rugi warga terdampak. Apa saran Anda kepada manajemen PHE ONWJ dan Tim Independen dalam proses verifikasi warga terdampak yang berhak menerima ganti rugi?
Verifikasi dapat dilakukan dari mulai pemerintahan formal yang ada, untuk mengetahui data mengenai jumlah nelayan yang terdapat di wilayah tersebut. Setelah itu secara langsung perlu dilakukan identifikasi terhadap kelompok nelayan terdampak karena kelompok ini yang mengetahui secara detail kerugian yang dialami oleh mereka. Selanjutnya, PHE ONWJ perlu menyusun greavence mechanisme (alur penyampaian dan penyelesaian keluhan). Penanganan mengenai keluhan ini juga dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan masyarakat setempat sehingga proses verifikasi dapat dinilai dengan adil oleh masyarakat.
Limbah minyak dari sumur YY1-A di laut Karawang ( foto: Dudi Rahman/Dunia-Energi)
Bagaimana mengantisipasi ganti rugi agar tidak salah sasaran. Misalnya, dalam satu keluarga dapat lebih ganti rugi?
Secara ideal ganti rugi ini harus dilakukan pada seluruh warga terdampak. Jika pemberian kompensasi diberikan hanya kepada kepala keluarga tentu hal ini merugikan masyarakat. Namun pada dasarnya tumpahan minyak ini bukan kejadian yang disengaja, dan perusahaan tentu memiliki kapasitas dalam menangani kasus ini. Saya rasa komunikasi dengan warga terdampak langsung dapat dilakukan. Oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam greavence mechanism juga sangat penting sehingga proses identifikasi dan verifikasi yang dilakukan juga dapat diminimalkan dari potensi salah sasaran.
Berapa lama biasanya proses verifikasi dilakukan sehingga serah terima ganti rugi terhadap warga terdampak bisa 100%?
Verifikasi dapat dilakukan dalam waktu satu atau dua bulan, bergantung pada luasnya wilayah dan besarnya permasalahan. Perusahaan juga perlu membatasi waktu penyampaian keluhan sehingga tidak ada permasalahan yang berlarut-larut dan terus-menerus muncul.
Terkait dengan kasus tumpahan minyak, selain kompensasi dalam bentuk ganti rugi, PHE ONWJ juga komitmen dalam perbaikan lingkungan dan bahkan pengembangan CSR di wilayah terdampak. Apa yang harus dilakukan kali pertama PHE ONWJ dalam perbaikan lingkungan dan juga pengembangan CSR di wilayah terdampak?
Perbaikan lingkungan (Amdal) dapat dilakukan dengan merehabilitasi wilayah terdampak, meningkatkan safety dalam pelaksanaan operasi misalnya dengan teknologi atau pendekatan terbaru. Sementara itu CSR perlu dilakukan untuk meminimalkan dan bahkan menghilangkan kerugian bagi masyarakat yang terkena dampak langsung.
Bukankah karakteristik masyarakat di wilayah terdampak berbeda?
Mengenai karakteristik masyarakat, tentu perusahaan sudah memiliki dokumen pemetaan sosial sebagai pedoman awal, selain melakukan pembaruan data pascabencana tumpahan minyak ini. Program CSR dapat difokuskan atau diprioritaskan pada nelayan terdampak.
Berapa lama proses pemetaan sosial untuk perbaikan lingkungan dan juga pelaksanaan CSR (comdev) bagi masyarakat terdampak bisa dilakukan? Bukankah ini perlu dana yang tidak sedikit?
Data awal bisa digunakan data pemetaan sosial yang telah ada, jika sudah jatuh tempo lima tahun perlu dilakukan pemetaan sosial ulang. Lamanya pemetaan sosial secara keseluruhan dapat memakan waktu tiga hingga empat bulan, namun jika hanya updating data pada wilayah yang terdampak tentu tidak memakan waktu lama. (DR)
Komentar Terbaru