JAKARTA – Setelah berhasil ditertibkan di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel) aksi pencurian minyak kini bergeser ke wilayah Aceh Timur. Bahkan bukan lagi pipa yang dilubangi, kali ini pelaku langsung menjarah minyak dari sumur PT Pertamina EP.
Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengaku sangat prihatin dengan aksi pencurian minyak mentah, yang seolah tak kunjung bisa diatasi oleh aparat negara, khususnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Padahal berdasarkan pantauannya, tindak pidana pencurian minyak mentah bukanlah masalah baru di Indonesia. “Tindak pidana ini cukup kronis, karena pelakunya boleh dibilang se-kecamatan,” ujar Komaidi dalam diskusi “Menguak Masalah dan Solusi Industri Hulu Migas Indonesia” yang berlangsung di Jakarta, Rabu, 20 November 2013.
Sebelumnya, kata Komaidi, tindak pencurian minyak milik negara itu marak terjadi di wilayah Sumatera Selatan, terutama di jalur pipa penyaluran minyak Pertamina, Tempino – Plaju. Namun data terakhir yang diterimanya, setelah Tempino – Plaju ditertibkan, aksi pencurian belakangan bergeser ke wilayah Peurlak, Aceh Timur.
“Bahkan kini bukan lagi pipa yang dijarah (illegal taping) tapi sudah masuk modus illegal drilling (pencurian langsung di sumur minyak negara). Yang dijarah sumur-sumur minyak PT Pertamina EP,” ungkapnya.
Aksi pencurian minyak itu, belum lama ini telah menimbulkan kebakaran yang cukup hebat di sekitar lokasi illegal drilling, yang mengakibatkan belasan korban luka. Minyak milik negara yang hilang pun tak terperikan jumlahnya.
Aksi pencurian minyak ini, tambahnya, semakin menambah suram kinerja sektor hulu migas Indonesia, yang sebelumnya sudah terganjal oleh berbagai kendala seperti perizinan, pembebasan lahan, serta inkonsistensi regulasi dan kebijakan.
“Tindak pidana pencurian minyak mentah ini harus segera direspon oleh aparat negara. Karena pada dasarnya semua lembaga negara mulai pemerintah, pemerintah daerah, dan kepolisian, sudah ada tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang jelas dalam mengatasi persoalan seperti ini. Mereka harus bertindak lebih cepat dan proaktif mengatasi ini. Kalau lambat, akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara,” tandas Komaidi.
Memang, lanjutnya, problem pencurian minyak ini sangat komplek. Mulai dari lemahnya pengamanan yang pasca reformasi diserahkan pada Polri dan Pertamina, hingga masalah sosial ekonomi dan politik. Para pelaku kerap beralasan memanfaatkan sumur tua, namun nyatanya sumur tua itu hanya jadi tempat penampungan minyak hasil curian. Eskalasi pencurian pun semakin meningkat tatkala menjelang momen pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Dalam aksi pencurian minyak ini, saya melihat ada degradasi moral di kalangan masyarakat. Untuk mengatasinya, pendekatan keamanan – sosial – ekonomi harus dilakukan secara pararel. Saya juga yakin, aksi pencurian minyak dan berbagai kendala di sektor hulu migas ini tidak akan terjadi, kalau tidak ada inkonsistensi di tataran penyelenggara negara,” tandasnya.
Tak Bisa Berharap Pada Polisi
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, Prof. Dr. Ir. IGN Wiratmaja Puja, MSc menegaskan bahwa sebenarnya sudah ada SOP (Standart Operating Procedure) dalam penanganan pencurian di pipa dan sumur minyak, yang merupakan objek vital nasional.
Dimana SOP pengamanannya adalah oleh pemerintah daerah (pemda) dan kepolisian. “Namun sayangnya, pengamanan oleh pemda dan polisi ini tidak terlalu jalan,” ujarnya.
Maka dari itu, kata Wiratmaja, Kementerian ESDM kemudian menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) guna mengatasi maraknya pencurian minyak mentah. Berkali-kali sudah Panglima TNI, Jenderal Moeldoko hadir di Kementerian ESDM untuk berkoordinasi tentang penanganan pencurian minyak mentah. “Kita terpaksa minta bantuan TNI, karena kinerja polisi belum sesuai harapan,” tukasnya.
Dihubungi secara terpisah, PR Manager Pertamina EP, Agus Amperianto membenarkan, telah terjadi tindak illegal drilling di Rantau Panjang, Peureulak – Aceh Timur. Wilayah itu termasuk areal Pertamina. Akibat aksi kriminal itu, telah terjadi kebakaran hebat Kecamatan Rantau Panjang pada 14 November 2013 lalu, sekitar pukul 20.40 WIB.
Agus menerangkan, malam itu sekitar enam orang pelaku sejak pukul 18.00 WIB melakukan pengeboran, dan berhasil mengeluarkan semburan minyak mentah. Minyak mentah yang keluar itu lantas dikumpulkan dalam ratusan drum, dan sebagian menyembur ke sekitar areal illegal drilling. “Minyak mentah yang keluar bercampur dengan gas,” tutur Agus.
Diduga karena ada pelaku yang merokok, maka terjadilah kebakaran di lokasi itu. Akibatnya belasan orang tersambar api. Mereka bergelimpangan dengan luka bakar amat serius, dan dilarikan ke Rumah Sakit di Kabupaten Aceh Timur. Rata-rata para korban yang berusia 12 tahun hingga 35 tahun, mengalami luka bakar hingga 50%. “Pukul 23.00 WIB api sudah berhasil dipadamkan,” terangnya.
Meski tediri dari warga sekitar Peurlak, namun Agus yakin mereka melakukan illegal drilling bukan atas inisiatif sendiri. Melainkan didanai oleh pihak-pihak tertentu yang menjadi penadah, untuk menggali keuntungan sebanyak-banyaknya dari aksi pejarahan itu. “Sungguh kami dibuat sibuk dan sangat repot oleh ulah mereka. Terlebih yang dijarah ini aset negara,” tukas Agus.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru