JAKARTA- Kualitas elite birokrasi khususnya pemimpin tertinggi negara yang mencerminkan sikap tegas, fokus, berwibawa, dan konsisten tanpa konflik kepentingan dan unsur korupsi menjadi penentu dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI). Perusahaan tambang tembaga dan emas di Papua yang sebelumnya anak usaha Freeport McMoran itu akhirnya menyetujui perubahan kontrak dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesui amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Agustus 2017.

“Momentum ini merupakan perubahan mendasar bagi penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia,” ujar Atep A Rofiq dalam sidang ujian promosi doktor bidang Hubungan Internasional Universitas Padjajaran pada, Jumat (28/8). Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini mengangkat disertasi bertitel “Kekuatan Tawar Negara dan Perusahaan Multinasional (2009-2017) Studi Kasus Renegosiasi Kontrak Tambang Antara Indonesia dan PT Freeport Indonesia”.

Atep memotret strategi Pemerintah Indonesia yang berhasil menekan PTFI agar beralih dari KK menjadi IUPK. Berbekal kekuatan tawar dan kapasitas negara yang menjadi modal, Pemerintah sanggup membuat PTFI bersedia meneken kesepakatan dengan sejumlah klausul yang menguntungkan Indonesia.

“Setidaknya, kekuatan tawar Pemerintah Indonesia dilihat dari model tradisional (obsolescing) maupun model politik, di antaranya regulasi terhadap akses sumber daya alam, dan posisi PTFI yang tidak mudah memindahkan investasinya ke negara lain terkait ketersediaan SDA, baik secara jumlah cadangan atau karakteristik mineral,” ujarnya.

Hal ini, menurut Atep, memunculkan kondisi asymmetric recontracting dalam perubahan KK menjadi IUPK sehingga berimplikasi pada meningkatnya kekuatan tawar negara.

Secara teoretis dan konseptual, disertasi yang ditulis kelahiran Sumedang 43 tahun silam itu menguatkan kembali pendapat bahwa negara memiliki kedaulatan. Meskipun penerapan kedaulatan dalam konteks tertentu di era globalisasi, perlu dibuat lebih lunak.

“Praktisnya, penelitian ini memberikan sumbangsih, bahwa kekuatan tawar yang demikian perlu dipelihara dan ditingkatkan melalui pembuatan regulasi yang konsisten dengan amanat konstitusi, akselerasi transfer teknologi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan oleh anak bangsa supaya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar,” katanya.

Atep juga mengatakan, negara juga tidak boleh menggantungkan penerimaannya hanya pada sektor sumber daya alam. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus duduk bersama mencari dana alternatif untuk dapat menutup defisit fiskal. Salah satu caranya dengan melakukan politik anggaran, misalnya seperti sovereign wealth fund.

Atep berharap, keberhasilan dalam renegosiasi kontrak PTFI ini dapat menjadi acuan bagi masa-masa mendatang. Tak hanya untuk diterapkan di bidang pertambangan saja, tapi juga diaplikasikan di sektor industri lain, seperti migas, smelter, otomotif, teknologi, dan sebagainya yang kini masih dominan dipegang asing. (RA)