ORANG bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Penggalan lirik dari lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu ini  itu bukanlah karangan semata. Yok Koeswoyo yang ciptakan lagu itu pada tahun 70an pasti juga merasakan dan melihat bagaimana kayanya alam Indonesia.

Lirik Kolam Susu langsung saya ingat ketika menjejakan kaki di lahan perbukitan Desa Gombang, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada alasan kuat kenapa lirik tersebut langsung teringat, lahan perbukitan di Gombang memiliki karakteristik bebatuan bukan tanah gembur yang terlihat subur, tapi entah bagaimana lahan itu disesaki tanaman-tanaman menjulang berwarna hijau. Hutannya rimbun bak hutan hujan tropis di pedalaman Kalimantan.

Menuju ke Desa Gombang tidak terlalu sulit, jalanan di wilayah Yogyakarta seperti biasa sudah terbangun rapih. Dari pintu masuk terbaru Yogyakarta Internasional Airport (YIA) berjarak 87,7 km atau dengan mobil memakan waktu 2 jam 12 menit.

Supriyatno , Lurah Desa Gombang menceritakan desanya menjadi lebih rimbun dalam setahun terakhir ketika bibit-bibit pohon indigofera mulai tumbuh. Keberadaan pohon itu ternyata berkah yang dinantikan masyarakat desa.

Warga desa Gombang kerap kesusahan sebelum ada indigofera untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Karena sulitnya menemukan bahan pakan untuk hijauan, warga biasanya dari desa lain dengan ongkos yang lumayan. “Cari ke Klaten, Sleman. Satu ikat pohon jagung 10 batang,  diatas Rp10 ribu. jadi satu sapi misalnya itu pakannya khusus hijauan Rp 50 ribu nggak cukup,” cerita Supriyatno kepada Dunia Energi saat berkunjung ke desa Gombang pada awal Agustus lalu.

Menurutnya per hari dibutuhkan paling sedikit dua ikat hijauan untuk dicampur dengan bahan pakan lain seperti jerami. Masyarakat di desanya memang menjadikan hewan – hewan ternak mereka yang terdiri dari Kambing dan Sapi sebagai “raja”. Hewan ternak mereka tidak boleh kelaparan dan harus tetap terjaga nutrisinya. Lucunya, warga desa Gombang bekerja banting tulang jadi buruh harian untuk giling batu, tukang batu, kenek apa saja dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tapi agar hewan-hewan ternak mereka kenyang. “Kami ini di sini kerja ya untuk beli pakan, beli hijauan ini agar kambing, sapi bisa makan,” cerita Supriyanto sambil tertawa.

Supriyatno , Lurah Desa Gombang. (Foto/Dok/Dunia Energi)

Indigofera memiliki nama lengkap Indigofera zollingeriana. Warga desa sudah sekitar hampir satu tahun terakhir memanfaatkan daun indigofera untuk pakan ternak. Berdasarkan penelitan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan IPB, indigofera adalah legume yang dapat digunakan sebagai pakan ternak dan relatif baru dikembangkan di Indonesia. Tanaman ini memiliki kandungan protein kasar yang tinggi setara dengan alfafa (25 -23), kandungan mineral yang tinggi ideal bagi ternak perah, struktur serat yang baik dan nilai kecernaan yang tinggi bagi ternak ruminansia.

Sebagai pakan ternak kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera zollingeriana sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22%, dan fosfor 0,18%. Legume Indigofera zollingeriana memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas dan kandungan protein yang tinggi (26% -31%) disertai kandungan serat yang relatif rendah dan tingkat kecernaan yang tinggi (77%) . Tanaman ini sangat baik sebagai sumber hijauan baik sebagai pakan dasar maupun sebagai pakan suplemen sumber protein dan energ i, terlebih untuk ternak dalam status produksi tinggi (laktasi).

Desa Gombang terdiri dari 1.040 kepala keluarga dan semuanya pasti memiliki hewan ternak, minimal kambing. Mereka menjadikan hewan ternak sebagai tabungan hidup. Literasi keuangan tradisional masih dianut di sana. Hewan ternak mereka adalah garansi mereka yang sewaktu-waktu bisa “dieksekusi” ketika membutuhkan dana segar. “Bukan ditabung di Bank, mau daftar sekolah atau urusan mendesak langsung jual ternak,” kata Supriyatno.

Tidak hanya dannya untuk pakan ternak, batang dari indigofera juga punya nilai ekonomi dan jadi sumber energi bersih. Tidak lama lagi desa Gombang bakal jadi salah satu penghasil bahan baku biomassa. Batang indigofera bisa diolah menjadi sawdust (serbuk kayu) untuk alternatif pengganti batu bara, bahan baku Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).  Perlu dua tahun sejak penanaman bibit untuk bisa hasilkan batang pohon indigofera yang ukurannya sudah memenuhi syarat untuk diolah menjadi sawdust, artinya awal tahun depan warga sudah bisa panen energi bersih.

Saat ini desa Gombang sedang melakukan finalisasi pembentukan BUMdes yang bakal jadi badan perantara untuk menampung batang-batang indigofera warga. PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) akan jadi konsumen utama biomassa indigofera warga desa Gombang. Skemanya, batang – batang indigofera akan dibeli BUMdes dari warga. Selanjutnya batang akan dibeli oleh PLN EPI untuk kemudian diolah menjadi biomassa. Ini berarti warga desa Gombang tidak hanya dapat keuntungan daunnya untuk pakan ternak, tapi juga mendapat pemasukan tambahan dari jualan batang indigofera. “Ini sedang disusun, hampir selesai untuk pembentukan BUMdes, setelah itu kita akan susun mekanisme berikut dengan harga batangnya,” ungkap Supriyatno.

 

Jadi Andalan kejar EBT

PLN sendiri membutuhkan kepastian pasokan biomassa yang tidak sedikit untuk wilayah Jawa Tengah. Desa Gombang nantinya diproyeksi jadi salah satu sumber pasokan biomassa untuk memenuhi kebutuhan biomassa PLTU Pacitan. PLTU berkapasitas 2×315 megawatt  (MW) ini jadi salah satu PLTU pertama gunakan biomassa sebagai alternatif bahan baku pengganti batu bara. Dalam sebulan PLTU Pacitan membutuhkan 8.000 ton biomassa yang diperoleh dari berbagai wilayah di sekitar PLTU.

Dengan dukungan PLN EPI, total ada 100 ribu bibit pohon yang sudah ditanam di desa Gombang dan rencananya akan ada penanaman 50 ribu bibit pohon lagi di akhir tahun ini. Dalam proyeksi yang ada, dari 50 ribu pohon indigofera yang ditanam bisa dihasilkan paling tidak 300 ton sawdust dalam setahun.

Sumber : PLN

Co-firing biomassa ini memang jadi andalan pemerintah untuk kejar target pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Berdasarkan data PLN, sampai dengan semester I 2024 sudah ada 46 PLTU yang mengimplementasikan penggunaan biomassa untuk gantikan batu bara dengan pemakaian biomassa mencapai 676.659 ton dengan kemampuan pasokan mencapai 704.384 ton. Penggunaan biomassa di 46 PLTU tersebut menghasilkan energi bersih setara 709.085 MWh dan penurunan emisi yang dicapai yakni setara 776.884 ton CO2.

Sementara untuk tahun ini ditargetkan sebanyak 47 PLTU bisa mengimplementasikan biomassa dengan penggunaan biomassa sebanyak 2.207.661 ton dan menghasilkan energi bersih sebesar 2.239.283 MWh. Dengan produksi listrik dari biomassa sebesar itu berkobtribusi untuk menurunkan emisi setara 2.400.017 ton CO2.

Hingga 2025 nanti total ada 52 PLTU dengan total kapasitas 18.895 Megawatt (MW) yang akan menggunakan biomassa dengan peningkatan persentase penggunaan di PLTU eksisting menjadi 12% sehingga jumlah biomassa yang dibutuhkan juga meningkat drastis jadi sebanyak 10,2 juta ton biomassa dengan energi bersih yang dihasilkan mencapai 12,7 Terawatt hour (TWh) per tahun. Penggunaan biomassa sebanyak itu di PLTU akan berkontribusi juga bagi bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional yakni sebesar 3,59% dari target yang dicanangkan sebesar 23%.

Pemerintah sudah mengatur pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 12 tahun 2023 dimana untuk pelaksanaan co-firing biomassa dilakukan secara bertahap sesuai target pemanfaatan B3m untuk co-firing biomassa nasional. Misalnya saja pada tahun 2023 realisasinya ditargetkan dapat mencapai 1,05 juta ton per tahun.

Lalu, pada 2024 menjadi 2,83 juta ton per tahun, 2025 menjadi 10,20 juta ton per tahun, 2026 menjadi 10,11 juta ton per tahun, 2027 turun menjadi 9,08 juta ton per tahun, 2028 menjadi 9,11 juta ton per tahun, 2029 menjadi 9,14 juta ton per tahun, dan di 2030 menjadi 8,91 juta ton per tahun. Target-target tersebut dipatok dengan asumsi penerapan EBT sudah mencapai 23% dari bauran energi nasional.

Sumber : Kementerian ESDM. DIolah : Dunia Energi

Di dalam pasal 18 diatur juga dalam penyedian Bahan Bakar Biomassa (B3m), pelaksana co-firing biomassa dapat melakukan pengadaan biomassa melalui pembelian B3m dari penyedia. Pembelian B3m dilaksanakan berdasarkan harga patokan tertinggi atau harga kesepakatan.

Harga patokan tertinggi ini berlaku untuk pembelian B3m oleh PT PLN selaku pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum terintegrasi dan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk pembangkit tenaga listrik yang bekerja sama dengan PLN (Persero) atau independent power producer (IPP).

Sementara itu, harga patokan tertinggi tersebut ditetapkan sebagai batas atas dalam negosiasi pembelian B3m. Selain itu, pembelian B3m berdasarkan harga patokan tertinggi merupakan bagian dari beban bahan bakar dalam komponen biaya pokok penyediaan tenaga listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat 1 pada pasal 19 berbunyi harga patokan tertinggi dihitung dengan formula harga batu bara dikali nilai koefisien harga B3m (k) dikali faktor koreksi kalor (Fc). Sedangkan pada ayat 2, berisi harga patokan tertinggi merupakan harga B3m free on board (FOB).

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jendral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan pemerintah menaruh harapan besar terhadap program co-firing biomassa. Rendahnya realisasi pemanfaatan EBT hingga kini yang baru sekitar 13% tidak akan mengendurkan semangat untuk mencapai target. Co-firing biomassa merupakan salah satu andalan untuk menunurunkan emisi serta meningkatkan penggunaan EBT secara signifikan. “Salah satu upaya supaya untuk mendekatkan ke 23% dengan co-firing,” kata Dadan ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (23/8).

Secara realistis Dadan optimistis untuk tahun depan pemanfaatan biomassa akan tetap tumbuh positif.  “Kalau tahun kemarin kan di angka 500 ya, kalau sekarang bisa double, mudah-mudahan tahun depan bisa double gitu. Sekitar 1,5 juta ton,” ungkap Dadan. (RI)