JAKARTA – Industri besi dan baja di Indonesia mengalami pertumbuhan konsumsi. Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan secara nasional pada 2022, konsumsi baja rata-rata sebesar 15,62 juta ton per tahun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi baja rata-rata sekitar 12,46 juta ton per tahun. Sementara, dari sisi ekspor, industri besi dan baja mengalami tren peningkatan dari US$ 7,9 miliar pada tahun 2019, menjadi US$ 28,5 miliar pada tahun 2022.
Meningkatnya konsumsi besi dan baja nasional berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun. Untuk itu, IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk melakukan upaya pengurangan emisi demi mencapai usaha yang lebih hijau dan yang berkelanjutan.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace, bahan bakarnya masih didominasi dengan penggunaan batubara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur). Artinya, semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi blast furnace dalam produksi besi dan baja nasional maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit di tahun berikutnya.
“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon melalui peningkatan efisiensi energi yang dapat dilakukan dengan beralih terhadap teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby Tumiwa dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh IESR dan Agora Industry, Rabu(20/3).
Urgensi dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga dipengaruhi secara global dengan adanya aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor, serta perdagangan karbon.
Di tataran nasional, senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan, dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.
“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon. Diperlukan pula adanya peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” ujar Farid.
Studi IESR memberikan rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat. Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku serta limbah yang dihasilkan. Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.
Kajol, Manajer Program Industri Netral-Iklim Asia Tenggara, Agora Industri, menuturkan transformasi industri besi dan baja memerlukan tiga strategi yaitu penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan penerapan ekonomi sirkular, serta pengakhiran siklus karbon dengan penggunaan Carbon Capture Use and Storage (CCU/S) dan biomassa dan bioenergi yang dilengkapi dengan CCS (BECCS).
Fausan Arif Darmadi, Analis Pengembangan Infrastruktur, Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.
“Komitmen dari sektor industri menjadi hal yang paling penting dalam proses dekarbonisasi. Untuk itu, Kemenperin telah memberikan pelatihan perhitungan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi sektor baja, termasuk perhitungan nilai ekonomi karbonnya. Sementara untuk panduan lengkap terkait perhitungan nilai ekonomi karbon sedang dalam proses pengembangan,” ujar Fausan.
Komentar Terbaru