JAKARTA – Sektor mineral dan batu bara dianggap sebagai salah satu kunci utama yang harus didorong untuk meningkatkan pendapatan negara alih – alih menaikkan PPN menjadi 12% secara luas. Di tengah kebutuhan mendesak Pemerintah untuk membiayai beberapa program prioritas, pemerintah perlu segera menaikkan pungutan terhadap sejumlah komoditas ekstraktif seperti batu bara dan nikel untuk menambah pemasukan negara. Pasalnya, pungutan terhadap sektor ekstraktif ini masih tergolong rendah, bila melihat besarnya keuntungan yang didapatkan para pelaku usaha.
Kajian Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) memperlihatkan potensi penerimaan dengan kisaran Rp 84,55 triliun hingga Rp 353,7 triliun per tahun dari peningkatan pungutan produksi batu bara. Sementara itu, target penerimaan dari kenaikan PPN menjadi 12% hanya sebesar Rp 75,29 triliun, dan kenaikan PPN untuk barang mewah hanya Rp 3,2 triliun. Diberlakukannya kenaikan PPN menjadi khusus untuk barang mewah, artinya dari sisi dampak, kenaikan PPN 1% secara menyeluruh sangat membebani masyarakat secara langsung dan dapat berdampak negatif terhadap perekonomian, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh sektor industri manufaktur karena kenaikan biaya produksi.
“Potensi penerimaan dari peningkatan pungutan produksi batu bara jauh lebih besar, dan ini bisa dipakai untuk membiayai berbagai macam proyek strategis nasional dalam transisi energi, terutama untuk pembangunan jaringan distribusi listrik (smart grid) bahkan untuk program sosial seperti makan bergizi gratis,” ujar Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya dalam keterangannya, Kamis (2/1).
Sementara itu, di sektor hilirisasi nikel, pemerintah punya peluang untuk memungut pajak/tarif ekspor produk nikel. “Berdasarkan perhitungan Transisi Bersih, tarif ekspor 10% – 20% produk nikel dapat memberikan masukan Rp 50 – 100 triliun untuk negara per tahun. Ini lebih dari cukup untuk menggantikan kenaikan PPN menjadi 12%,” ujar Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersih.
Perlu diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, harga nikel dunia mengalami koreksi yang disebabkan oleh suplai dari Indonesia yang sangat besar. Tarif ekspor dapat mengerem laju produksi dan dengan demikian dapat menyelamatkan harga nikel dunia dari kejatuhan yang lebih dalam. Dengan pemberlakuan tarif ekspor pada nikel, pemerintah Indonesia dapat mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu mempertahankan harga nikel dunia dan sekaligus mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Sementara menurut Harryadin Mahardika, Direktur Program Financial Research Center for Clean Energy (FRCCE), pemerintah juga masih punya opsi tambahan penerimaan jika bisa mengatur kembali bauran kebijakan pada program hilirisasi mineral. Sejauh ini kontribusi langsung program hilirisasi terhadap penerimaan negara masih jauh dari potensi yang diharapkan. “Masih belum terlambat bagi pemerintah untuk memperbaiki hal tersebut, termasuk meninjau kembali berbagi insentif fiskal yang terlalu jor-joran bagi para pelaku hilirisasi mineral,” ujarnya.
Ruang fiskal pemerintah saat ini juga dinilai sangat terbatas untuk mewujudkan berbagai kebijakan strategis. Di saat pemerintah membebaskan perusahaan batu bara dari kewajiban membayar royalti dengan Perppu Cipta Kerja sejak 2023, yang menyebabkan kehilangan potensi pendapatan negara sebesar Rp 33,8 triliun tiap tahunnya, pertumbuhan energi terbarukan malah terhambat menjadi hanya 1% hingga 2% per tahun akibat keterbatasan dukungan dari pemerintah. Sementara bauran energi bersih dan terbarukan perlu diperbesar.
Target energi terbarukan dalam revisi terbaru hanya 19% untuk tahun 2025. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, capaian EBT berada di angka 13,93% pada pertengahan Desember 2024. Artinya, di tahun 2025, diperlukan kenaikan bauran sekitar 5%, yang memerlukan pembiayaan cukup besar dan tersedia dengan cepat untuk mencapainya. Kebijakan peningkatan pungutan produksi batu bara juga akan mempercepat perpindahan pembiayaan dan investasi dari batu bara sebagai energi kotor ke energi bersih dan terbarukan.
Di tengah ancaman krisis iklim dan ekonomi serta interaksi di antara keduanya yang semakin nyata, pilihan kebijakan serta pendanaan transisi energi yang rasional serta berkeadilan harusnya tampak begitu jelas di masa Pemerintahan Prabowo. Tidak sekadar menambah penerimaan negara, peningkatan pungutan serta pajak terhadap industri batu bara juga dapat berfungsi sebagai alat untuk mendorong redistribusi pendapatan demi memperkecil ketimpangan. Selain itu, juga dapat digunakan untuk mendorong transisi ke energi terbarukan, mendukung program mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim, serta lebih jauh lagi untuk menyeimbangkan pengaruh kepentingan industri batu bara yang sangat kuat terhadap kebijakan publik di Indonesia selama ini. (RI)
Komentar Terbaru