JAKARTA – Laporan terbaru EMBER salah satu lembaga think tank dunia berbasis di Inggirs menunjukkan potensi besar energi surya dan angin yang belum dimanfaatkan maksimal oleh lima negara mayoritas produsen listrik di wilayah Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Indonesia. – Pertumbuhan yang lebih cepat menuju listrik bersih sangat dibutuhkan di ASEAN. Untuk memenuhi peningkatan permintaan dan mencegah emisi CO2 sektor listrik meningkat lebih jauh, anggota ASEAN perlu memaksimalkan energi surya dan angin.
Dalam laporannya EMBER menyatakan, dokumen-dokumen rencana energi terbaru yang dikeluarkan oleh ASEAN 5 hanya akan meningkatkan pangsa tenaga surya dan angin hingga 11% dari total pasokan listrik kawasan. Pada tahun 2030 Viet Nam akan menghasilkan 18% listrik dari tenaga matahari dan angin secara total, Filipina 16,5%, dan Thailand 9,6%.
Malaysia dan Indonesia masing-masing akan mencapai 3,4% dan 2%. Dan ini tidak sejalan dengan jalur menuju emisi nol (net-zero) yang diusung IEA. Tren terbaru menunjukkan bahwa jika energi bersih tidak dapat memenuhi permintaan yang meningkat, maka bahan bakar fosil akan mengambil alih.
Achmed Edianto, Analis Kelistrikan Asia EMBER, menjelaskan pertumbuhan energi bersih tidak sejalan dengan permintaan listrik, yang kemudian mengarah pada penggunaan bahan bakar fosil yang lebih banyak. Energi bersih hanya memenuhi 39% kenaikan permintaan listrik di lima negara pembangkit listrik terbesar di ASEAN dari 2015 hingga 2021, dan 48% dipenuhi dengan bahan bakar fosil. Oleh karena itu, emisi CO2 sektor listrik di negara-negara ini meningkat sebesar 21% secara total.
Energi surya dan angin hanya menghasilkan 4% listrik ASEAN tahun lalu, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti China (11%) dan India (8%). Hanya Vietnam (11%) yang melebihi rata-rata dunia dalam hal penggunaan energi surya dan angin, di mana pada tahun 2021, untuk pertama kalinya, dunia menghasilkan 10% listriknya dari energi surya dan angin.
Menurut Achmed, pemerintah negara-negara di ASEAN harus memaksimalkan energi matahari dan angin, seperti yang dilakukan oleh China, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia. Karena harga bahan bakar fosil melambung tinggi, harga energi surya dan angin tetap rendah dan menyediakan energi lokal yang terjangkau.
“Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030,” kata Achmed, Kamis (7/7).
Indonesia sendiri berencana menambah 4,68 GW kapasitas tenaga surya dan 0,6 GW tenaga bayu (angin) pada 2030, sebagaimana tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, yang disebut-sebut sebagai RUPTL “terhijau”. Pangsa pembangkitan listrik tenaga surya dan angin pada tahun 2030 ini akan menjadi yang terendah di antara ASEAN 5. Di sisi lain, proyeksi laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia adalah salah satu yang tertinggi, sebesar 4,9% per tahun. Dengan laju seperti ini, hanya 5% dari peningkatan permintaan akan bisa dipenuhi oleh matahari dan angin.
Energi surya dan angin harus berkembang pesat di negara-negara ASEAN, terutama mengingat saat ini pembangkit listrik tenaga surya dan angin merupakan teknologi yang paling ekonomis dan tercepat untuk menggantikan batu bara. Indonesia memiliki kemampuan dan kesempatan untuk berkontribusi besar dalam pengurangan emisi di ASEAN dan memimpin ASEAN dalam transisi ke energi bersih dengan memaksimalkan potensi energi surya dan angin.
Sementara itu, Uni Lee, Analis Data Kelistrikan Asia EMBER, mengatakan di bawah kebijakan saat ini, energi surya dan angin diproyeksikan hanya memasok sepersepuluh dari total pembangkit listrik pada tahun 2030. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang bertambah pesat.
“Peningkatan penggunaan energi surya dan angin, serta modernisasi jaringan (grid) secara cepat akan menjadi bagian penting dari teka-teki untuk memecahkan krisis iklim di ASEAN,” kata Lee. (RI)
Komentar Terbaru