MATAHARI pagi itu muncul malu-malu dari balik awan di ufuk timur. Siluet perbukitan khas tanah Sulawesi terlihat samar-samar karena masih tertutup kabut tipis, sisa dinginnya malam. Perlahan tapi pasti kilau air danau juga mulai memanjakan mata. Dari bibir danau, di dermaga Taman Antar Bangsa (TAB), Sorowako bisa kita saksikan sendiri kejernihan air danau. Tanpa harus bersusah payah mata kita bisa menembus hingga ke dasar danau, melihat berbagai biota air danau berseliweran.
Kesunyian memang biasa menyelimuti danau Matano. Namun justru itulah nilai tambahnya. Kesyahduhan pagi di pinggir danau sulit untuk ditandingi ataupun dilupakan. Tidak berapa lama deru mesin motor kapal mulai memecah kesunyian. Perjalanan menyusuri danau pun dimulai.
Sepanjang perjalanan kita bisa melihat banyak burung terbang rendah. Kepalanya lurus menghadap ke bawah, mereka sedang memantau pergerakan di dalam air. Berburu makanan. Tentu itu pertanda positif karena keberadaan biota danau menandakan bahwa kualitas air danau sangat baik karena masih menjadi habitat makhluk hidup. Di bibir danau masyarakat sekitar danau juga tidak ragu memanfaatkan air danau untuk memasak, mencuci dan untuk memenuhi berbagai kebutuhan lain.
Tidak tanggung-tanggung ada lima desa penyangga danau dimana kehidupan masyarakat bergantung juga kepada air danau yakni Desa Matano, Nuha, Nikkel, Sorowako dan Kelurahan Magani.
Danau Matano memang tidak seterkenal Danau Toba di tanah Sumatera ataupun Danau Kelimutu di Nusa Tenggara, tapi Danau Matano ternyata menyimpan cerita serta sejarah peradaban purba serta keunikan alami tersendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan danau lainnya. Danau Matano merupakan danau tektonik purba, terbentuk akhir masa Pliosin 2-4 juta tahun yang lalu. Dalam jurnal Archaeological Research in Asia yang disusun oleh Shinatria Adhityatama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang kini peneliti di Griffith Centre for Social and Cultural Research, menyebutkan bahwa ditemukan situs besi kuno yang yang hilang sejak abad kedepalan di sekitar Danau Matano.
Dalam jurnal tersebut disebutkan bahwa telah dilakukan penelitian pada 2016 dan 2018 oleh Pusat Penelitian Penelitian Arkeologi Nasional Indonesia. Penelitian tersebut mengkonfirmasi bukti yang dilaporkan sebelumnya bahwa sumber utama Pamor Luwu adalah bijih peleburan dari lingkungan Danau Matano.
Di jurnal juga menyatakan bahwa zaman besi di Indonesia—khususnya Sulawesi—mirip dengan zaman perunggu dan emas, yang oleh kalangan para ilmuwan menyebutnya sebagai Zaman Perunggu-Besi, Periode Paleometalik, atau Zaman Logam Awal. Kondisi seperti ini membuatnya berbeda dengan di Eurasia yang mana Zaman Perunggu ada berabad-abad sebelum Zaman Besi. Diperkirakan Zaman Logam Awal di Nusantara ada sejak 600-500 SM, atau lebih lambat dari yang ada di Eurasia.
Tidak hanya sekedar danau “Purba”, sistem hidrologi bersumber dari ribuan mata air juga jadi keunikan tersendiri. Sistem yang terbentuk secara alami tersebut membuat danau tidak akan pernah mengalami kekeringan. Danau terdalam di wilayah Asia Tenggara (ASEAN) yang mencapai 590 meter ini secara limnologis memiliki banyak keunikan, antara lain dasar danau yang cryptodepression, air yang sangat jernih, keragaman hayati, geologi dan panorama serta menunjukkan fenomena yang tidak lazim dari sisi biogeokimiawi. Tidak banyak yang berubah. Si Danau “Purba” Matano masih tetap menununjukkan wajah aslinya selama ratusan bahkan jutaan tahun.
Tentu siapapun tidak akan menyangka kondisi danau dan airnya yang baik ternyata lokasinya bertetangga atau tidak jauh dari wilayah tambang nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) di blok tambang Sorowako.
Vale jadi salah satu pihak yang paling berkepentingan terhadap kondisi air Danau Matano. untuk itu menajemen menjadikan pengelolaan air bekas tambang sebagai salah satu fokus utama kegiatan operasional tambang. Manajemen menggandeng langsung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menemukan cara paling jitu untuk menjaga kualitas air bekas tambang agar tidak mencemari danau.
Dalam rangka melakukan pengendalian dan pengelolaan limbah hasil tambang, Vale telah membangun lebih dari 100 unit fasilitas pengendalian sedimen secara berjenjang. Fasilitas tersebut berkapasitas total lebih dari 15 juta m3 . Pemantauan, pemeliharaan dan pengerukan fasilitas pengendap pun dilakukan secara berkala. Fasilitas pengelolaan limbah cair berteknologi inovatif, Lamella Gravity Settler (LGS), pun dibangun untuk menekan beban pencemaran TSS.
Kondisi air memang jadi salah satu fokus manajemen untuk dijaga kualitasnya, untuk itu penerapan teknologi modern menjadi sangat krusial. Teknologi LGS biasanya digunakan untuk pengolahan air minum dan Vale Indonesia menjadi yang pertama memanfaatkannya dalam industri pertambangan di Indonesia. LGS ini yang merupakan teknologi pertama di Indonesia untuk pertambangan yang merupakan hasil riset dengan BPPT selama dua tahun.
Pengolahan limbah cair juga diiringi pengecekan kualitas air danau secara reguler bersama lembaga independen. Hasil pengukuran kadar TSS dan Cr6+ di Danau Matano dan Danau Mahalona selalu berada jauh di bawah baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah.
Selain itu manajemen menggunakan air dengan cermat dan hati-hati agar tidak mengganggu kepentingan masyarakat setempat. Berbagai upaya terus dilakukan bersama pemangku kepentingan lain, misalnya sepanjang tahun 2021 lalu melalui aksi bersih danau mengangkut sampah dari Danau Matano sebanyak 27 ton. Kegiatan ini dilakukan bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Luwu Timur, serta Pusat Pembangunan Ekoregion Sulawesi Selatan dan Maluku.
Febriany Eddy, CEO dan Presiden Direktur Vale Indonesia, menjelaskan bahwa dalam penggunaan air, manajemen mengatur dengan teliti volume air dan debit air yang digunakan untuk memastikan Danau Matano bersama dengan dua danau lainnya yakni Mahalona, dan Towuti tetap terjaga. Terlebih, ketiga danau tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam. Vale berupaya mengoptimalkan pemakaian air untuk setiap ton produksi nikel dalam matte.
Hal itu sesuai dengan kebijakan efisiensi air dan penurunan beban pencemaran air limbah vale dengan beberapa upaya yang dilakukan yakni mengurangi dan mengontrol kejadian kebocoran pada jalur pipa suplai air di area operasional. Kemudian mengontrol dan mengurangi luapan air/overflow pada kolam Matte pond. “Lalu peningkatan kesadaran karyawan akan penghematan konsumsi air dan pelaporan harian konsumsi air melalui pertemuan harian FMDS dan menjadikan intensitas penggunaan air sebagai KPI,” ungkap Febriany, Jumat (23/12).
Berdasarkan data yang dihimpun, Vale Indonesia mengambil air dari danau lalu dikirimkan ke resevoar dengan total pemakaian air pada tahun 2021 mencapai 8.681.643 m3 , turun sebesar 928.769 m3 atau 9,7 % dari tahun 2020 sebesar 9.611.107 m3 . Nilai Intensitas Konsumsi Air tahun 2021 adalah 130,98 m3 per ton Ni, sementara tahun 2020 mencapai 131,20 per ton Ni, sehingga ada penurunan. Jumlah intensitas konsumsi air rutin dilaporkan oleh PT Vale melalui laporan RKL-RPL dan dilaporkan kepada publik.
Vale juga mengklaim kualitas olahan air limbah yang dialirkan ke anak sungai yang menuju Danau Matano, telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan Pemerintah. Secara berkala, Vale melakukan analisis hasil olahan efluen dengan parameter kadar logam berat. Analisis dilakukan laboratorium independen terakreditasi, menggunakan metode SNI 6989.59:2008 Air dan Air Limbah dan metode standar American Public Health Association (APHA).
“Tujuannya memastikan hasil olahan efluen memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.9 tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Nikel. Dari hasil pemeriksaan pada tahun 2021, diketahui kualitas hasil olahan efluen telah memenuhi baku mutu,” jelas Febriany.
Pengolahan air adalah salah satu dari beberapa upaya prioritas perusahaan dalam menjalankan kegiatan tambang yang berkelanjutan misalnya melakukan rehabilitasi lahan bekas tambang, menekan emisi dalam operasional kegiatan tambang melalui pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Vale Indonesia menggunakan energi bersih untuk memproduksi nikel. sejak awal berdiri, perusahaan telah memulai dengan membangun dan mengoperasikan PLTA Larona (1979), PLTA Balambano (1999) dan PLTA Karebbe (2011) dengan total kapasitas terpasang sebesar 365 megawatt untuk pasokan energi ke pabrik pengolahan.
Dengan ketiga PLTA tersebut pengurangan emisi GRK bisa mencapai lebih dari 1 juta ton CO2eq per tahun jika dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar batu bara. Selain menunjang kebutuhan operasional, energi listrik yang dihasilkan PLTA tersebut juga didistribusikan sebesar 10,7 megawatt untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Luwu Timur melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Selanjutnya, salah satu kebijakan yang menjadi milestone penting dalam upaya mencapai kegiatan tambang rendah emisi adalah saat manajemen Vale membatalkan proyek konversi batu bara atau Coal Conversion Project (CCP). Proyek tersebut sebenarnya mampu menekan biaya operasional perusahaan mencapai US$40 juta setiap tahun. “Namun demikian di sisi lain, dengan pembatalan ini, perusahaan terhindar dari kenaikan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 200.000 ton CO2 per tahun,” ungkap Febriany.
Pada 2019, PT Vale mulai memanfaatkan boiler listrik yang energinya bersumber dari PLTA untuk operasional pabrik pengolahan. Dengan inovasi ini, penggunaan bahan bakar high sulfur fuel oil (HSFO) berkurang sebanyak 67.047 barel per tahun. Boiler listrik Vale juga menjadi yang pertama digunakan di industri pengolahan di Asia Tenggara.
Tidak hanya itu, sejak 2015, perusahaan juga menerapkan program penggunaan bahan bakar nabati fatty acid methyl ester (FAME) sebagai biodiesel untuk kendaraan operasional. Secara keseluruhan pada 2021 kami berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 147.705 ton CO2eq, atau sebesar 7% terhadap emisi GRK tahun 2020 sebesar, atau hingga 7,7% terhadap baseline emisi GRK 2017 yaitu sebesar 155.948 ton CO2eq. Seiring dengan upaya menurunkan emisi, tahun ini bahkan Vale menjadi inisiator dalam penggunaan truk listrik di area tambang di Indonesia.
Dari sisi pemulihan lahan (reklamasi), Vale mengintegrasikan aktivitas pembukaan lahan tambang dengan reklamasi dan rehabilitasi (penanaman kembali). Untuk menyuplai tanaman dan mendukung rehabilitasi lahan pascatambang, perusahaan mendirikan kebun bibit modern (nursery) yang beroperasi sejak April 2006. Nursery seluas 2,5 Ha ini mampu memproduksi hingga 700.000 bibit setiap tahun, termasuk tanaman asli setempat dan tanaman endemik. Sampai dengan akhir 2021 akumulasi lahan yang sudah direhabilitasi seluas 3.249 Ha dan lahan yang telah direhabilitasi di 2021 seluas 283,73 Ha. Terbaru manajemen juga saat ini tengah membangun fasilitas nursery baru dengan kapasitas mencapai 10 juta bibit per tahun.
Jaga Keberlanjutan Investasi
Pemerintah jadi salah satu pihak yang paling menyadari praktik kegiatan tambang berkelanjutan di Vale telah berjalan baik. Ini tentu bisa jadi syarat utama dalam mendapatkan perpanjangan kontrak Vale Indonesia yang bakal berakhir pada tahun 2025.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa kali menegaskan bahwa apa yang sudah dilakukan Vale selama ini cukup baik terutama dengan prinsip berkelanjutan yang diusung. Menurut dia jika memang kondisinya sudah positif maka keberlanjutan operasi bakal dipertahankan. Bahkan sepak terjang Vale di area tambang menurut Arifin bisa jadi benchmark bagi kegiatan tambang perusahaan lain.
“Vale? Bagus. Bisa dijadiin benchmark untuk yang lain. Danaunya bersih, pengelolaanya juga efisien, dan juga reklamasinya bagus karena habitat lama dikembalikan lagi dalam reklamasi ini,” kata Arifin dengan tegas saat ditemui disela EV Fun Day di Bandung belum lama ini.
Ini bukan kali pertama sebenarnya Arifin mengomentari sepak terjang Vale dalam industri tambang nikel. Dia sendiri sempat kunjungi area tambang Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan pada agustus silam. Kala itu Arifin menyatakan optimismenya bahwa Vale bakal menjadi salah satu perusahaan pelopor pengelolaan tambang nikel berkelanjutan sekaligus beperan vital bagi upaya Indonesia yang menargetkan untuk menjadi pemain utama bisnis masa depan yang melibatkan sumber daya nikel.
“Kami berikan penghargaan kepada manajemen PT Vale Indonesia yang telah terus berupaya mengoptimalkan pengolahan sumber daya kita, khususnya nikel, sehingga bisa menjadi salah satu leading (dalam pertambangan nikel),” kata Arifin kala itu.
Saat ini Vale juga tengah mempersiapkan pengembangan dua blok tambang baru di Pomalaa serta Bahadopi. Nantinya juga akan langsung dibangun smelter di dua blok tersebut. Tidak hanya itu, manajemen juga bakal melakukan ekspansi smelter Sorowako.
Untuk pengembangan blok Pomalaa, Vale menggandeng Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd (Huayou) untuk memproses bijih nikel Vale. Nantinya akan dibangun smelter High-Pressure Acid Leach (HPAL). Pada akhir November lalu Vale dan mitranya baru saja melakukan groundbreaking sebagai tanda telah dimulainya pengembangan blok Pomalaa, di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tengah. Proyek Blok Pomalaa ditargetkan bisa menghasilkan hingga 120.000 ton nikel per tahun.
Kemudian untuk blok Bahadopi, Vale menggandeng Taiyuan Iron & Steel (Group) Co Ltd (Taigang) melalui anak usahanya Baowu dan Shandong Xinhai Technology Co Ltd. Vale sendiri baru saja menyepakati Final Investment Decision (FID) untuk proyek tambang dan smelter nikel di Blok Bahadopi, Sulawesi Tengah. Nantinya akan dibangun smelter yang akan memproduksi Feronikel dengan nilai investasi mencapai US$2,1 miliar.
Pemerintah sendiri telah menetapkan kedua proyek tersebut yakni Pomalaa dan Bahadopi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Tidak sampai di situ, Vale juga baru saja menyepakati kerjasama ekspansi smelter Sorowako bersama dengan mitranya di Pomalaa yakni Huayou. Pabrik HPAL baru di Sorowako nanti akan mengolah bijih nikel limonit menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 60.000 ton produk nikel dalam MHP. MHP kemudian dapat diolah menjadi bahan untuk komponen baterai, misalnya untuk kendaraan listrik.
Ridwan Djamaluddin, Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba), kepada Dunia Energi menyatakan bahwa pemerintah menyambut baik berbagai inisiatif hilirisasi yang dilakukan oleh Vale. Menurut dia pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan investasi. Untuk itu opsi perpanjangan kontrak Vale juga harus memperhatikan tanggung jawab tersebut.
“Keputusan resmi (perpanjangan kontrak) belum ada, tapi kalau kita lihat semangatnya Vale untuk hilirisasi kan kemaren kita lihat mereka juga sudah groundbreaking yang di Pomalaa kita cenderung lihat sebagai keberlanjutan investasi. Tentunya nanti ada hal-hal lain yang kita usulkan juga untuk meningkatkan kebermanfaatan bagi indonesia,” jelas Ridwan.
Pengembangan nikel beserta produk turunannya yang didorong Vale ini sebenarnya sejalan dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik dunia. Seperti diketahui komponen utama pembuatan kendaraan listrik, terlebih baterainya adalah nikel.
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), menegaskan pegembangan mineral nikel merupakan salah satu prioritas utama pemerintah saat ini dan dimasa akan datang. Namun demikian dia mengingatkan upaya menggenjot pengembangan nikel tidak boleh mengorbankan lingkungan. Menurutnya apa yang dilakukan Vale dengan inisiatif kegiatan tambang berkelanjutan dan ramah lingkungan harus tetap dijaga.
“Saya terkesan dengan pengelolaan lingkungan operasinya yang berkelas dunia. Proyek PT Vale Pomalaa harus dilanjutkan karena proyek ini membantu membangun ekosistem elektrifikasi Indonesia yang berkelanjutan,” ungkap Luhut.
Vale Indonesia sendiri telah memperoleh izin pertambangan di Indonesia sejak 1968 silam dan kini telah mengembangkan 3 kawasan industri nikel, antara lain di Sorowako Sulawesi Selatan, Morowali Sulawesi Tengah, dan di Pomalaa Sulawesi Tenggara. Kalau ditotal-total, konsesi lahan Vale Indonesia mencapai lebih dari 100 ribu hektar.
Disela peresmian groundbreaking blok Pomalaa November lalu, Luhut sempat menegaskan agar 100 ribu hektar lahan konsesi dengan Vale bisa menjadi bukti nyata kepada dunia internasional bagaimana pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dilakukan dengan prinsip keberlanjutan. “100 ribuan hektar biarkan di situ. Ini menjadi showcase kita kepada dunia, bagaimana Indonesia mampu menjaga keseimbangan alam sambil berproduksi dengan baik,” ujar Luhut.
Komentar Terbaru