JAKARTA – Dari keseluruhan persidangan kasus bioremediasi yang memvonis terdakwa Bachtiar Abdul Fatah bersalah, terungkap banyak kejanggalan. Mulai dari banyaknya fakta persidangan yang hilang dan diabaikan oleh Majelis Hakim, hingga tidak sahnya penahanan kembali terdakwa yang tidak pernah diungkap oleh jaksa dan hakim selama persidangan berlangsung.
“Kami heran, selama persidangan para hakim dan jaksa tidak berani menyinggung penahanan Bachtiar yang tidak sah. Padahal penahanan yang tidak sah itu, selalu menjadi argumen pokok yang kami selaku penasehat hukum selama berlangsungnya persidangan hingga vonis kemarin,” ujar penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2013.
Seperti diketahui, Bachtiar dijempuk paksa oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejakgung) pada 17 Mei 2013 dan kembali ditahan serta dinyatakan sebagai terdakwa. Padahal pada November 2012 telah ada putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Bachtiar karena penetapannya sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi tidak sah.
Sekitar awal April 2013, Kejakgung mengaku memiliki surat dari Mahkamah Agung (MA) yang menyoal putusan praperadilan yang kemudian dijadikan dasar untuk menggulirkan kembali perkara Bachtiar. Menurut Kejagung surat tersebut membuktikan bahwa hakim telah bertindak diluar kewenangan.
Karena tidak pernah mendapat salinan surat MA itu, tim penasehat hukum terdakwa yang dipimpin Maqdir Ismail kemudian melakukan penelusuran, dengan mencek langsung ke kantor MA. Dari pejabat MA diketahui, ternyata MA tidak pernah menerbitkan surat putusan apapun terkait dengan Putusan praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel, tanggal 27 Nopember 2012.
“Bahkan salah satu pejabat di MA menyatakan bahwa sejak Pak Bagir Manan menjadi ketua MA, fatwa MA saja tidak dapat membatalkan putusan pengadilan apalagi yang sudah final dan mengikat seperti putusan praperadilan,” jelas Maqdir.
Tim penasehat hukum kemudian memperoleh informasi bahwa surat Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 316/BP/Eks/03/2013 tanggal 21 Maret 2013,tersebut adalah surat dari bagian pengawasan MA.
“Surat tersebut ternyata surat dinas biasa dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Dengan demikian, penahanan kembali dan didakwanya Bachtiar sebagai terdakwa oleh jaksa selaku Penyidik dan Penuntut Umum, jelas merupakan suatu ketidakpatuhan jaksa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” imbuh Maqdir.
Menurutnya, tindakan jaksa ini merupakan pengingkaran atas hak-hak asasi/konstitusional dan kebebasan Bachtiar sebagai warga Negara untuk memperoleh jaminan kepastian hukum serta hidup bebas dari rasa takut terhadap terganggunya hak-hak asasi/konstitusionalnya oleh aparatur negara.
Sayangnya, dalam persidangan Majelis Hakim pun tak berani menyinggung penahanan yang tidak sah itu, meski berkali-kali diungkap oleh penasehat hukum dan dijadikan salah satu materi pembelaan.
Banyak Kontradiksi
Maqdir pun mengungkapkan banyaknya kontradiksi dalam pertimbangan dan fakta selama persidangan bioremediasi untuk terdakwa Bachtiar Abdul Fatah digelar. Diantaranya, Kontrak 7861 OK dinyatakan tidak sah sehingga kontrak C905616 juga tidak sah. Padahal para penandatangan kontrak tidak pernah diundang untuk bersaksi. “Lantas darimana mereka (jaksa dan hakim) bisa menilai tidak sah?,” ujarnya.
Dalam dakwaan jaksa dan vonis majelis hakim, Bachtiar juga dianggap membiarkan korupsi terjadi dengan pembiaran. Padahal, kata Maqdir, hakim sendiri yang sudah membuat norma baru bahwa korupsi bisa terjadi dengan pembiaran.
“Para saksi juga menegaskan cost recovery biaya bioremediasi sudah di-offset sehingga tidak ada kerugian negara. Namun fakta yang menguntungkan terdakwa ini pun hilang, tidak dijadikan pertimbangan dalam putusan,” kata Maqdir.
Menyangkut cost recovery, penyebutan kerugian negara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan dan tuntutan pun tidak konsisten. “Dua minggu yang lalu, kerugian dikatakan USD 228.126, dalam dakwaan berubah menjadi USD 221.237,37. Lalu dalam putusan kerugian negara tidak disebut angkanya, hanya disebutkan bahwa (kerugian negara) yang disebut dalam surat dakwaan yang dianggap benar,” ulas Maqdir tak habis pikir.
Mengenai kedudukan pasal 18, lanjut Maqdir, seharusnya ketika pasal itu tidak terbukti maka seluruhnya tidak terbukti. “Ini praktek baru yang menyalahi aturan hanya demi mempertahankan putusan sebelumnya yang telah mereka keluarkan untuk kontraktor,” ujarnya masygul.
Sebelum sidang ditutup, putusan majelis hakim menyebutkan Bachtiar hanya menjalankan tugas. “Seharusnya terdakwa tidak dapat dihukum, tetapi tetap dipaksakan. Walaupun seandainya tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda Hakim Slamet Subagyo), kami akan tetap melakukan banding karena Bachtiar memang tidak bersalah,” tegas Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Berita terkait:
Dissenting Opinion: Hakim Slamet Subagyo Tegaskan Bachtiar Tidak Terbukti Bersalah : https://www.dunia-energi.com/dissenting-opinion-hakim-slamet-subagyo-tegaskan-bachtiar-tidak-terbukti-bersalah/
Kalau Pengadilan Negeri tidak bisa melihat unsur dari tindak pidana korupsinya, karena tidak/belum terbiasa dengan Undang-Undang TPK, maka Pengadilan TIPIKOR sepertinya melihatnya itu sudah cukup jelas, sehingga kasusnya dialihkan ke Pengadilan TIPIKOR. Wajar bahwa terdakwa dianggap membiarkan korupsi terjadi dengan melakukan pembiaran, karena terdakwa justru menandatangani kontrak bridging-nya guna melanggengkan/melestarikan pelanggaran terhadap Perpres Pengadaan Barang dan Jasa dan bukannya melaporkan perbuatan melawan hukum tersebut kepada pihak yang berwajib berdasarkan Pasal 108 KUHP dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan itu bukan norma baru. Akhirnya meng-offset cost recovery itulah salah satu dari unsur korupsinya yang sudah terjadi guna menyembunyikan tindak pidana korupsinya, karena tindak pidana korupsi adalah DELIK FORMIL, artinya AKIBAT TIDAK PERLU SUDAH TERJADI (misalnya janji-janji yang tidak kesampaian/tidak terwujud). Dari rumusan elemen diketaui, bahwa tindak pidana korupsi adalah DELIK FORMIL, artinya AKIBAT itu TIDAK PERLU SUDAH TERJADI. Akan tetapi, apabila PERBUATAN itu DAPAT/MUNGKIN merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara, PERBUATAN PIDANA SUDAH SELESAI dan SEMPURNA DILAKUKAN.
Untuk apa dibahas, karena tidak ada relevansinya.
Komennya mbulet kayak kenthut dan gak nyambung dg topik beritanya, mbokya sakit hati jg dibawa mati.