JAKARTA – PT PLN (Persero) telah menyatakan memiliki sejumlah insiatif untuk mengejar target porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 % dalam bauran energi pada 2025, tanpa membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di tengah kelebihan pasokan listrik.
Penerapan program pencampuran biomassa dengan batu bara (Co-firing) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu inisiatif PLN, untuk mendukung transisi energi dari fosil ke EBT tanpa memberatkan APBN. Program co-firing merupakan salah satu program strategis PLN dalam meningkatkan bauran energi baru terbarukan 23 % pada 2025, melalui pemanfaatan biomassa hutan tanaman energi, pelet sampah, dan limbah perkebunan atau pertanian sebagai subtitusi sebagian bahan bakar batu bara di PLTU.
Implementasi co-firing, juga menjadi upaya PLN melakukan transformasi dengan mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan.
Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan metode co-firing biomassa PLTU menjadi salah satu upaya mempercepat Net Zero Emission (NZE).
“Metode co-firing biomassa tantangannya adalah sustainability feedstock supply,” katanya, kepada Dunia Energi, Selasa(28/12).
Surya menekankan, sesuai rekomendasi METI bahwa transisi energi dalam upaya untuk mencapai target NZE hendaknya dilakukan secara hati-hati sehingga tidak sampai menimbulkan terjadinya krisis energi. Oleh karena itu, rencana penghentian operasi PLTU batubara, baik karena masa kontrak dan umur pakai sudah habis, maupun karena penghentian operasi lebih awal, harus diimbangi dengan pengembangan energi terbarukan untuk menggantikan energi yang dihasilkan oleh PLTU batubara yang dihentikan tersebut.
“Membangun pembangkit energi terbarukan membutuhkan waktu tertentu dan bahkan kadang-kadang juga lama. Karena itu jika tidak disiapkan terlebih dahulu pembangkit energi terbarukan, maka dikhawatirkan bisa terjadi missing link. Sangat memungkinkan PLN bisa menggantikan 100% PLTU dengan pembangkit energi terbarukan jika bisa dipersiapkan lebih dini,” ujar Surya Darma.
Menurut dia, penggantian PLTU milik PLN akan dilakukan saat berakhir kontrak, sehingga tidak akan membebani APBN. Ketika kontrak berakhir, maka harus digantikan dengan pembangkit baru apakah itu dari batubara atau dari energi terbarukan.
“Karena targetnya adalah untuk net zero emision, maka harus digantikan dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Dengan demikian apapun pilihan tetap membutuhkan dana investasi. Tetapi komitmen kita adalah energi bersih sehingga harus dengan energi terbarukan,” ujar Surya Darma.
Ia menekankan bahwa METI mengusulkan agar pemerintah betul-betul menyiapkan dengan baik pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk kemudian menghentikan PLTU.
“Karena untuk mencapai NZE harus mengurangi penggunaan PLTU, maka kepastian pembangunan energi terbarukan juga perlu dilakukan PLN dan pemerintah,” ujar Surya Darma.
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan, transisi energi fosil ke EBT tanpa mengandalkan APBN bukan hal yang mudah, kondisi menjadi tambah berat dengan berlebihnya pasokan listrik saat ini.
“Kita harus mensiasati sedemikian rupa. Karena PLN bilang over supply. Lalu kita ada RUPTL yang sudah ditandatangani hingga 2030. Itu sudah menunjukan arah kalau kita lebih greener,” kata Satya.
Menurut Satya, situasi dilematis sektor kelistrikan ini harus disiasati seiring rencana pemerintah memacu pemanfaatan EBT tanpa membebani APBN. Namun, hingga saat ini harga listrik dari pembangkit berbasis EBT sebagian besar belum kompetitif dibanding batu bara.
Pembangkit listrik yang harganya saat ini mampu bersaing dengan PLTU hanyalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun, kapasitas pembangkit yang memanfaatkan energi sinar matahari tersebut kecil dibandingkan kemampuan PLTU.
“Begitu kita kurangi fosilnya diganti dengan renewable energy dengan harga hari ini, dimana yang paling murah adalah PLTS. Hidro masih bisa berkompetisi, tapi tidak semua bisa rendah, PLTP juga seperti itu,” ujar Satya.
Satya menjelaskan, co-firing merupakan salah satu siasat yang tepat untuk meningkatkan porsi EBT dan mengurangi emisi karbon, sehingga target NZE pada 2060 dapat tercapai.
“Karena dengan adanya co-firing itu berarti PLTU eksisting disuntik biomassa. Itu bisa kurangi emisi karbon sehingga cita-cita kita di 2060 tetap jalan,” ujarnya.
PLN tercatat telah memproduksi energi listrik sebesar 85.015 megawatt per hours (MWh) atau setara 291,1 MW dari mengimplementasikan co-firing di 18 lokasi PLTU hingga Juli 2021.
Agung Murdifi, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, menyampaikan keseriusan PLN dalam mendukung program pemerintah dalam percepatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menuju target 23% pada 2025.
“Sejak 2020 sudah dilakukan implementasi di 18 lokasi PLTU di mana 6 lokasi sudah diimplementasikan sejak 2020 dan tambahan 12 lokasi sudah dilakukan pada tahun ini. Produksi energi biomassa hingga Juli 2021 sebesar 85.015 MWh dan pemakaian biomassa sebanyak 95.589 ton,” ujarnya.
Implementasi co-firing, akan dilakukan di PLTU tidak hanya untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong efisiensi dari operasional pembangkit. Adapun, daya pembangkit Co-firing di 52 lokasi PLTU setara dengan 2.000 megawatt (MW).
Menurut Agung implementasi co-firing di beberapa pembangkit PLN sudah tampak mereduksi emisi karbon di pembangkit batu bara. Misalnya, PLTU Sanggau, mereduksi emisi karbon sebesar 9,5 persen dari yang sebelumnya 10,2 %. Selain itu, PLTU Belitung yang sebelumnya mereduksi emisi karbon sebesar 19,1 % menjadi 17,9 %.
Selain dua PLTU tersebut, PLN juga mengembangkan co-firing di beberapa PLTU, seperti PLTU Paiton berkapasitas 2×400 MW menggunakan olahan serbuk kayu, PLTU Ketapang berkapasitas 2×10 MW dan PLTU Tembilahan berkapasitas 2×7 MW menggunakan olahan cangkang sawit.
Untuk menyukseskan co-firing, PLN bersinergi dengan BUMN dan pemasok lainnya. Saat ini, perseroan telah bersinergi dengan Perum Perhutani,PT Perkebunan Nusantara, dan PT Sang Hyang Seri (Persero).
Kerja sama dengan perusahaan-perusahaan tersebut meliputi kolaborasi dalam rangka penyedia biomassa baik hutan tanaman energi maupun pelet sampah, guna menjamin kesiapan rantai pasok serta kesediaan biomassa jangka panjang.
Selain itu, PLN juga mendorong kemungkinan berdirinya industri biomassa melalui pengembangan hutan tanaman energi termasuk pemanfaatan lahan kering, serta pemanfaatan sampah.
“Untuk memenuhi pasokan biomassa, PLN telah berkoordinasi dengan BUMN, Pemda, dan swasta untuk memastikan kesiapan rantai pasokan biomassa dan kesiapan terkain volume dan harga,” ungkap Agung.
PLN, PTPN Group dan Perhutani bersinergi dalam pelaksanaan co-firing di 52 lokasi PLTU. Hal ini diresmikan lewat penandatanganan Head of Agreement (HoA) penyediaan biomassa dan pengembangan industri biomassa untuk co-firing PLTU. Dalam pokok-pokok HoA, Perhutani akan menyediakan woodchip dalam bentuk serbuk (sawdust), sementara PTPN memasok limbah perkebunan/tandan kosong segar. Dengan begitu, PLN sebagai pembeli, sementara Perhutani dan PTPN sebagai pemasok.
PLN optimistis produksi penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti batu bara (Co-firing) di 52 PLTU dapat mencapai 10.601 GWh pada 2025.
Edwin Nugraha Putra, EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, mengungkapkan sejumlah insiatif untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi pada 2025 tanpa membebani APBN di tengah kelebihan pasokan listrik, yaitu mempercepat pengoperasian pembangkit berbasis EBT yang masuk dalam program kelistrikan 35 ribu Mega Watt (MW).
“Seperti PLTP ada 1,4 GW kemudian hidro ada 4,9 GW itu kami percepat prosesnya. Sehingga kita harapkan di 2025 itu bisa beroperasi,” ungkap Edwin.
Inisiatif berikutnya adalah menerapkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pada PLTU dengan biomassa (co-firing), sehingga biomassa menempati 3 sampai 6% dalam porsi EBT pada 2025.
Inisiatif ketiga adalah menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PLN juga akan menggunakan PLTS dengan total kapasitas 3 sampai 4 GW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan total kapasitas 600 MW.
“Ini hal utama yang kami lakukan dengan kondisi over supply dengan memanfaatkan yang ada supaya bauran EBT tercapai,” ujarnya.
Menurut Edwin, dengan inisiatif tersebut PLN dapat berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal (capital expenditure/Capex) untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23% dalam bauran energi pada 2025.
“Dengan memanfaatkan aset yang ada, kami berharap Capex tidak tinggi dan Opex bisa dioptimalkan,” kata Edwin.(RA)
Komentar Terbaru