JAKARTA – Debat Calon Presiden ke-2 akan berlangsung pada Minggu, 17 Februari 2019 mendatang dengan bertemakan energi, lingkungan hidup, infrastruktur, pangan, dan sumber daya alam. Tema tersebut sangat dinantikan untuk menegaskan sejauh mana komitmen dan program kerja para capres dalam transisi nyata ke energi bersih yang tidak menghasilkan emisi dan merusak lingkungan seperti batu bara.
Adhityani Putri, Juru Bicara Gerakan Bersihkan Indonesia, mengatakan ada empat poin pertanyaan dan pembahasan yang diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kedua pasangan calon Capres untuk dibahas lebih lanjut.
“Pertama, bagaimana strategi Capres untuk melepaskan Indonesia dari ketergantungan terhadap energi fosil. Sejauh ini belum ditemukan penjelasan lebih rinci dari program kedua Capres,” kata Adhityani usai melakukan aksi Gerakan Bersihkan Indonesia di KPU Pusat Jakarta dengan tajuk “Kami Ingin Masa Depan, Kami Ingin Energi Bersih”, Senin (11/2).
Gerakan Bersihkan Indonesia merupakan gerakan non partisan yang didorong oleh 35 organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang berfokus pada isu energi. Dalam waktu dekat Gerakan Bersihkan Indonesia juga akan menyambangi kantor pemenangan paslon Capres-Cawapres untuk mengajukan empat poin yang sama sebagai rekomendasi poin yang dapat diulas dalam paparan program kedua Capres.
Menurut Adhityani, masalah ketergantungan energi fosil telah membebani perekonomian, baik secara fiskal maupun lingkungan.
Pertanyaan kedua, bagaimana strategi Capres untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Kedua Capres telah mencantumkan visi soal pengembangan energi terbarukan, namun belum terlihat bagaimana mekanisme yang tepat dan terukur dalam mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan.
Persoalan ketiga yang diusulkan adalah bagaimana strategi capres untuk memperbaiki tata kelola energi dan ketenagalistrikan.
Menurut Margaretha Quina, Juru Bicara Gerakan Bersihkan Indonesia, masalah utama penopang energi listrik di Indonesia adalah batu bara. Energi fosil tersebut telah terbukti menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, sejumlah kajian juga telah menyoroti dampak aset terpinggirkan (stranded asset) yang justru merugikan Indonesia apabila tetap menyandarkan pasokan energi listriknya dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
“Selain itu, masalah eksploitasi sumber energi batu bara di Indonesia yang memiliki masalah tata kelola yang banyak sehingga tidak memperdulikan persoalan lingkungan,” ungkap Quina.
Persoalan keempat, soal strategi capres untuk penegakan hukum dan transisi berkeadilan yang berperspektif pemulihan. Selama ini proses penegakan hukum dalam kasus lingkungan seringkali tidak mempertimbangkan dampak kerugian negara dan eksternalitas dari dampak lingkungan yang dirusak, seperti misalnya dalam kasus dampak menurunnya kualitas hidup dan kesehatan warga di sekitar PLTU dan kerusakan lingkungan dari aktivitas penambangan batu bara.
“Korupsi batu bara, baik di hulu (pertambangan) maupun hilir (pembangkitan tenaga listrik), perlu menjadi agenda prioritas dalam penanganan korupsi. Pemulihan lingkungan harus dilakukan, dengan mengutamakan prinsip pencemar membayar melalui pertanggungjawaban hukum yang menyentuh dalang intelektual (mastermind),” tandas Quina.(RA)
Komentar Terbaru