JAKARTA – Dalam sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, Senin, 9 September 2013, Juliver Sinaga, auditor BPKP yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli mengakui, kesimpulan kerugian keuangan negara dalam laporannya hanya didasarkan kepada keterangan Edison Effendi, tanpa konfirmasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak yang berwenang sesuai Undang-Undang (UU).
Juliver Sinaga mengakui, sebagai auditor dalam kasus ini dia hanya merujuk kepada keterangan penyidik atau dokumen BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diberikan oleh penyidik. Auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini menyatakan, tidak melakukan konfirmasi dan membahas laporan hasil auditnya itu dengan CPI selaku “auditee” seperti yang disyaratkan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) karena laporan itu hanya untuk penyidikan.
Faktanya, laporan hasil audit Juliver itu digunakan dalam seluruh persidangan, dan telah menjadi bahan rujukan untuk menghukum lima terdakwa kasus bioremediasi. Dalam laporan hasil auditnya, Juliver juga menyebutkan bioremediasi CPI tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003 sehingga merugikan keuangan negara, namun ia sama sekali tidak berkonsultasi dengan pihak KLH dalam membuat laporan itu.
Saat ditanya oleh penasehat hukum tentang alasan ia tidak berkonsultasi dengan KLH, Juliver menjawab karena sudah membaca BAP pihak KLH. “Kita memperoleh BAP terhadap pegawai dan pejabat KLH dari penyidik, sehingga kita tidak merasa membutuhkan konfirmasi langsung,” ujar Juliver di persidangan.
Ketika penasehat hukum menanyakan tentang ada tidaknya keterangan dari pihak KLH di dalam BAP yang menyatakan bahwa pelaksanaan bioremediasi tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003, Juliver terkesan agak berkelit walaupun akhirnya menjawab tidak ada.
“Itu kesimpulan dari ahli yang ditunjuk oleh penyidik dan kami melakukan verifikasi,” jawab Juliver saat ditanya oleh penasehat hukum tentang siapa yang menyatakan adanya pelanggaran Kepmen 128/2003. Ahli yang dimaksud Juliver adalah Edison Effendi, seseorang yang perusahaannya pernah dua kali kalah tender bioremediasi CPI.
Juliver pun lebih lanjut menyatakan bahwa penilaian atas proyek lingkungan yang dianggap gagal total oleh Edison Effendi, diakuinya tidak dikonfirmasi dengan pendapat ahli hukum lingkungan dan tidak melibatkan ahli hukum dari departemen lingkungan hidup maupun ahli hukum dari BPKP.
Uang Masih Dikuasai Negara
Menyoal terjadinya kerugian negara, meskipun ahli berdalih bahwa pada saat dia melakukan perhitungan kerugian negara di bulan Oktober 2012 belum ada bukti bahwa pemerintah telah melakukan off setting (menahan pembayaran, red) atas biaya proyek bioremediasi, namun ia mengakui telah membaca surat menyurat antara CPI dan pemerintah soal hal tersebut.
Ketika penasehat hukum menanyakan apakah off setting tersebut secara akuntansi menyebabkan kepemilikan uang kembali dikuasai negara? Meski terkesan tidak ingin menjawab langsung, namun dari jawabannya tersirat Juliver mengiyakan bahwa uang masih dikuasai negara.
Seusai sidang, penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail menegaskan bahwa substansi kasus ini adalah proyek lingkungan dan sesuai dakwaan JPU dan kliennya pun didakwa melanggar Kepmen 128/2003 yaitu peraturan seputar pengolahan limbah tanah terkontaminasi minyak secara biologis.
“Sesuai dengan undang-undang lingkungan, maka KLH adalah pihak yang berwenang menentukan adanya pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan dan KLH pun telah bersaksi di depan persidangan bahwa proyek bioremediasi CPI telat taat hukum,” ujar Maqdir.
Maqdir menilai, keterangan dari ahli seperti Edison Effendi diluar pejabat KLH tanpa konfirmasi ke KLH, jelas-jelas telah melangkahi wewenang KLH berdasarkan undang-undang, sehingga keterangan tersebut harus diabaikan.
“Apalagi terbukti di persidangan bahwa Edison adalah ahli yang sarat konflik kepentingan, karena pernah beberapa kali terlibat tender proyek bioremediasi CPI dan gagal,” ungkap Maqdir.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru