KEBUTUHAN energi Indonesia hampir dipastikan tidak akan berkurang seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus terjadi. Hingga kini Indonesia merupakan negara yang sangat mengandalkan pasokan energi fosil seperti minyak, gas bumi maupun batu bara. Ke depan, pemerintah sudah berkomitmen untuk mengurangi konsumsi energi fosil tersebut. Lalu apakah kita akan benar-benar berhenti mengkonsumsi energi fosil tersebut? Jawabannya tentu saja tidak.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) saja sudah mengindikasikan pemanfaatan energi fosil seperti migas masih sangat besar. Meskipun secara persentase jumlahnya berkurang. Tapi secara volume jumlahnya terus tumbuh. Secara persentase porsi migas dalam bauran energi Indonesia yang diproyeksi dalam RUEN menurun dari sebesar 25% pada tahun 2025 menjadi paling banyak 20% di 2050, tapi secara volume konsumsi migas Indonesia meningkat sekitar 111% dari 2,19 juta Barel Per Hari (BPH) pada 2025 menjadi 4,62 juta BPH di 2050. Ini menunjukkan betapa Indonesia punya kepentingan sangat besar untuk bisa memproduksi lebih banyak lagi sumber daya migas agar tidak bergantung pada impor.

Tapi sayangnya dalam beberapa tahun terakhir realisasi produksi migas tanah air justru tidak sejalan dengan target yang ingin dicapai. Produksi migas tanah air terutama minyak terus menunjukkan penurunan.

Sumber : Dewan Energi Nasional (DEN)

Dalam beberapa tahun terakhir industri hulu migas seakan masuk ke dalam masa kelam. Masa sunset kata orang-orang. Maklum memang karena Indonesia pernah berjaya untuk urusan migas. Selain sebagai pengekspor gas alam cair (LNG) pertama, Indonesia dulu juga merupakan negara pengekspor minyak dengan produksi dulu bisa tembus 1 juta barel per hari. Bayang-bayang runtuhnya kejayaan industri migas terus menggrogoti sampai akhirnya ada harapan baru muncul. Pengembangan potensi lapangan Migas Non Konvensional (MNK).

Pada pertengahan tahun ini revolusi dalam upaya perburuan cadangan migas terjadi. PT Pertamina (Persero) melalui afiliasinya PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang menjadi aktor dibalik harapan baru bagi industri migas tanah air.

PHR mulai melakukan pemboran sumur Gulamo pada 27 Juli 2023 satu dari dua sumur di lapangan MNK yang direncanakan akan dibor oleh PHR. Selain sumur Gulamo ada sumur Kelok. Berdasarkan data yang dihimpun Pertamina, sumber daya MNK di WK Rokan berada di formasi pematang brown shale yakni batuan induk utama hidrokarbon yang ada di kawasan Sumatera Bagian Tengah, dan lower red, bed yakni formasi bebatuan yang berada di bawah brown shale.

Potensi ini berada pada kedalaman lebih dari 6.000 kaki. PHR sendiri rencananya akan melakukan pemboran dengan kedalaman mencapai 8.559 kaki atau mendekati 2,5 kilometer (km) dengan menggunakan rig PDSI #42.3/N1500-E berukuran besar dengan tenaga 1,500 horsepower (HP) di sumur Gulamo. Sebagai pembanding, operasi eksplorasi dan eksploitasi migas konvensional di wilayah kerja Rokan umumnya menggunakan Rig 350 HP, 550 HP, 750 HP. Selain itu kedalaman pengeboran MNK Gulamo akan mendekati ketinggian gunung Merapi.

Sumur Gulamo menargetkan MNK “shale oil” dari Brown Shale Formasi Pematang Bagian Tengah dan selanjutnya ke sumur Kelok yang selain menargetkan MNK “oil shale” juga menargetkan MNK “tight reservoir” dari Lower Red Bed Formasi Pematang Bagian Bawah.

Perlu diperhatikan bahwa oil shale mengacu pada batuan shale yang menghasilkan minyak, sedangkan shale oil mengacu pada minyak yang dihasilkan dari batuan serpih halus secara tidak konvensional. Yang membedakan oil shale dengan minyak yang dihasilkan dari formasi shale pembawa minyak adalah oil shale membutuhkan proses lanjutan untuk dapat menghasilkan minyak (proses retorting) sedangkan minyak yang berasal dari formasi shale pembawa minyak dapat dihasilkan secara konvensional seperti dengan proses pemompaan minyak.

Sumur Gulamo adalah sumur eksplorasi vertikal MNK sebagai tahapan awal upaya percepatan pengusahaan sumberdaya MNK Rokan menuju tahapan berjenjang selanjutnya yaitu tahapan appraisal, demonstration, dan development.

Jika dari dua sumur eksplorasi MNK Rokan dan studi potensi tersebut menunjukan hasil positif, tahapan lanjut appraisal, demonstration, dan development pengusaahaan MNK Rokan akan memerlukan payung hukum suatu kontrak bagi hasil yang menaungi blok MNK.

Pengeboran sumur MNK merupakan hal baru di industri migas tanah air. Untuk itu pemerintah tidak tinggal diam dan menyiapkan berbagai fasilitas atau insentif agar upaya yang dilakukan PHR bisa maksimal.

Chalid Said Salim, Direktur Utama PHR, menjelaskan hingga awal November ini pemboran sumur Gulamu berjalan dengan lancar. Pemboran di brown shale (oil) dan Lower Red Bed (gas) sudah mencapai kedalaman akhir  di Kedalaman 9452 ft MD. Sedang dilakukan evaluasi hasil coring dan logging,” kata Chalid kepada Dunia Energi, Senin (13/11).

Jika memang dari hasil evaluasi cadangan migas benar-benar terbukti maka lima tahun dari sekarang lapangan MNK di Rokan bisa masuk dalam tahap pengembangan. “Kalau positif, development mulai tahun 2028,” ungkap Chalid.

Karena judulnya juga Non Konvensional maka cara-cara tidak biasa kata Chalid juga wajib dilakukan dalam pengembangan MNK. Saat peresmian pemboran Gulamo Juli lalu, Chalid sempat membeberkan, bahwa selain menggunakan rig dengan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan rig untuk mengebor sumur konvensional, kebutuhan lahan untuk satu sumur pengeboran juga jauh berbeda. Ini karena metode dalam pengeboran yang juga berbeda.

“Diperlukan area wellpad (lokasi eksplorasi) yang cukup luas, lebih kurang 2,5 hektare (ha) atau 2,5 kali lebih luas dari wellpad pada umumnya. Pada tahap pengembangan nantinya wellpad ini dapat mengakomodasi sekitar delapan kepala sumur,” jelas Chalid.

Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi, Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan saat ini sedang disusun insentif yang akan dimasukkan dalam revisi skema kontrak Gross Split. Menurut dia skema gross split nanti akan sangat ramah terhadap kontraktor yang menggarap lapangan MNK.

Menurut Benny dalam aturan baru diyakini akan lebih menarik dan lebih sederhana. Selain itu berbagai insentif yang disiapkan juga akan memastikan proyek MNK akan sesuai dengan keekonomian.

Dia menuturkan untuk skema gross split yang berlaku sekarang sebenarnya sudah ada tambahan split untuk pengembangan blok MNK, tapi harus diakui belum menarik minat investor, karena untuk MNK  kata Benny perlu fiskal khusus, untuk itu akan dikeluarkan Gross Split yang simpel untuk MNK.

“Intinya untuk MNK perlu PSC Gross Split yang sederhana bukan yang ribet seperti sekarang ada base split, variable split, progresif split, diskresi. Untuk yang Gross Split untuk MNK simpel mirip royalti tax di USA, split-nya cuma satu dan menarik,” kata Benny saat dihubungi Dunia Energi, Sabtu (11/11).

Sementara itu, Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ditemui di Kementerian ESDM belum lama ini menjelaskan secara sederhana apa yang dilakukan oleh PHR saat ini adalah mencari “dapur” tempat khusus area “memasak” yang memproduksi hidrokarbon dalam jumlah besar di dalam perut bumi. Jika selama ini dalam pencarian cadangan migas konvensional mengandalkan cadangan yang ada didalam reservoir maka MNK mencari tempat asal cadangan yang ada direservoir berasal.

Shale oil mengacu pada migas yang bersifat tidak konvensional, diproduksi dari fragment batuan shale melalui proses pirolisis, hidrogenasi, dan disolusi termal. Proses ini menkonversikan material organik di dalam batuan, yang disebut sebagai kerogen, sehingga menjadi migas dan gas sintetik.

Berbeda dengan migas konvensional, MNK adalah hidrokarbon yang terperangkap pada batuan induk (shale oil/gas) tempat terbentuknya hidrokarbon atau batuan reservoir klastik berbutir halus dengan permeabilitas (kemampuan bebatuan untuk meloloskan partikel) rendah yang hanya bernilai ekonomi apabila diproduksikan melalui pengeboran horizontal dengan teknik stimulasi multi-stage hydraulic fracturing.

“Suatu reservoir pasti ada dapur, kitchen namanya, itu yang memasak sampai jutaan tahun terus jadi hidrokarbon, mengalir atau migrasi ke reservoir, baru itu dibor dan diproduksikan. Nah kita sekarang mencari dapurnya itu, dapur lebih dalam namanya brown shale,” jelas Tutuka kepada Dunia Energi beberapa waktu lalu.

Dia mengaku sangat optimis dengan pengeboran MNK di Rokan. Bahkan dari hasil sampel yang ada yang menunjukkan indikasi hidrokarbon berarti kemungkinan tidak hanya minyak tapi gas bisa juga ditemukan. “Yang jelas ini hidrokarbon ada, bisa migas bisa gas,” ungkap dia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada 11 blok MNK yang dikembalikan ke pemerintah lantaran dinilai oleh para pelaku usaha tidak prospektif. Pemerintah tidak tinggal diam dan akan melakukan kajian lanjutan untuk mendapatkan data-data terbaru dan lebih lengkap sehingga blok MNK tersebut jadi lebih menarik untuk ditawarkan kembali ke pelaku usaha.

Tutuka berharap setelah dilakukan lagi kajian data oleh ahli yang memilki sisi pandang berbeda, dilelang lagi mampu menambah produksi migas nasional di kemudian hari. “Terminasi ini harapannya dikerjakan kembali dengan tenaga yang baru, expert yang dari sisi pandang yang berbeda dengan tambahan data. Nah, kami sangat berharap ini bisa menambah produksi di kemudian hari,” kata Tutuka.

Baru-baru ini terungkap bahwa pemerintah menerima pengembalian 50 blok migas baik yang telah memasuki masa terminasi atau dikembalikan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Dari 50 blok migas tersebut ada 11 blok MNK.

“Dari 50 blok terminasi, sebetulnya ada 11 unconvensional atau minyak non konvensional yang kita kenal dengan shale gas oil atau yang sekarang lebih banyak itu sebenarnya yang Coal bed Methane (CBM) yang sudah lama dikembangkan,” ujar Tutuka belum lama ini di Jakarta.

SKK Migas sendiri pernah merilis informasi bahwa berdasarkan hasil assesment Energy Information Administration (EIA, 2013) Amerika Serikat, potensi MNK ada di lima cekungan di Indonesia. Laporan tersebut menyebutkan terdapat sumber daya gas dan migas in-place sebesar 303 triliun kaki kubik (trillion cubic feet/TCF) dan 234 miliar barel minyak (billion barrel oil/BBO) dari lima cekungan tersebut. Salah satu potensi sumber daya MNK itu berada pada cekungan Central Sumatera Basin. Adapun potensi sub basin North Aman di cekungan Central Sumatera Basin memiliki potensi sumberdaya inplace 1.86 miliar barel minyak dan 2.4 TCF gas.

Dengan adanya informasi tentang potensi besar MNK di Rokan itu tentu membuat Pertamina juga tidak mau main-main dalam mengembangkannya. Tidak tanggung-tanggung EOG Resources salah satu “dedengkot” untuk urusan MNK yaitu EOG dari Amerika Serikat digandeng.

Keterlibatan mitra ini cukup krusial, maklum saja ini memang baru kali pertama dilakukan di Indonesia, sehingga pengalaman EOG sangat berharga. Selain untuk meminimalisir risiko, kehadiran EOG juga diharapkan jadi jalan untuk transfer ilmu pengembangan MNK ke Pertamina.

Tumbur Parlindungan, Praktisi Migas yang juga mantan President Indonesia Petroleum Association (IPA), asosiasi industri hulu migas terbesar di tanah air menilai apa yang dilakukan oleh Pertamina dalam pengembangan MNK di Rokan patut didukung, dia optimistis Pertamina bisa memproduksi dan mengelola lapangan MNK nantinya dengan baik, tentu dibantu dengan regulasi yang juga mendukung pengembangan.

Menurut Tumbur, pemerintah juga harus menciptakan ekossistem penunjang MNK, mulai dari service company, dukungan industri bagi sektor migas serta berbagai jasa penunjang terutama untuk jasa fracking, perizinan, infrastruktur seperti jalan serta ketersediaan lahan juga bisa menentukan kesuksesan pengembangan MNK. “Key nya compliance, bukan persetujuan. Dengan MNK Kita bisa 1 juta barel per hari 12 billion cubic feet di 2030 mungkin bisa melebihi targetnya. Kalau yang diatas kita perbaiki, investor-investor akan datang dan ekosistem terbentuk dengan baik,” ujar Tumbur saat dihubungi Dunia Energi, belum lama ini.

 

Kontribusi Besar Migas

Upaya pencarian migas memang jadi salah satu jalan terbaik menutup gap antara suplai dan permintaan energi yang makin menganga. Kaerna jika terus mengandalkan impor, Indonesia sendiri yang akan terkenah getahnya.

Selain bisa untuk memenuhi kebutuhan, peningkatan produksi migas juga berdampak langsung terhadap penerimaan negara.

Dalam data EITI ((Extractive Industries Transparency Initiatives)  Pusat data teknologi dan informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM terlihat bahwa perjuangan untuk mengejar target produksi migas 1 juta barel per hari (BPH) dan gas sebesar 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd) bukan perkara mudah.

Tahun 2018 saja produksi minyak tercatat sebesar 692,8 ribu barel per hari (BPH), lalu tahun 2019 turun jadi 667,9 ribu BPH. Kemudian tahun 2020 kembali turun jadi 643,4 ribu BPH. produksi minyak sempat naik jadi 677,7 ribu BPH di tahun 2021 tapi kembali merosot menjadi 562,4 ribu BPH di tahun 2022.

Kemudian untuk produksi gas sebenarnya alami penurunan hanya saja mampu dikelola sehingga tetap stabil. Seperti kita tahu untuk gas ini punya keunikan tersendiri yaitu konsumen gas harus tersedia dulu baru gas bisa diproduksikan.

Masih berdasarkan data EITI, produksi gas tahun 2018 tercatat sebesar 7.763 MMscfd. Kemudian turun menjadi 7.233 MMscfd pada tahun 2019. Produksinya kembali merosot di tahun 2020 yakni menjadi 6.714 MMscfd lalu tahun 2021 dipertahankan di level 6.714 MMscfd. Lalu tahun 2022 turun tipis menjadi 6.644 MMscfd.

Produksi minyak nasional (Sumber : EITI)

Produksi gas nasional (Sumber : EITI)

Meskipun alami penurunan produksi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa dipungkiri bahwa sektor migas masih sangat penting tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan tapi juga kontribusinya terhadap penerimaan negara.

Terlihat kontribusi penerimaan migas baik dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun pajak terus tumbuh hal ini dipicu oleh pergerakan harga komoditas minyak dunia serta gas serta tentu saja kinerja produksi.

Sejak tahun 2018 penerimaan negara di sektor migas mengalami tren peningkatan meskipun tetap alami masa terpuruk saat harga minyak jatuh.  Berdasarkan data EITI, tahun 2018 realisasi penerimaan migas dari PNBP dan pajak mencapai Rp243,06 triliun, kemudian berturut – turut alami penurunan sejak 2019 hingga tahun 2021 akibat anjloknya harga minyak dunia dan produksi yakni Rp170,73 triliun di tahun 2019, Rp117,79 triliun tahun 2020 dan tahun 2021 rebound menjadi Rp162,2 triliun. Lalu penerimaan kembali meroket tahun 2022 menjadi Rp283,18 triliun.

Penerimaan negara sektor migas dari PNBP dan Pajak (Sumber : EITI)

Sementara itu, Inge Sondaryani, Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengungkapkan bahwa sesuai namanya adalah Migas Non Konvensional (MNK) tentu memiliki tantangan dan tingkat kesulitan yang lebih dibanding yang konvensional.

“Kita patut apresiasi usaha Pertamina di dalam pencarian cadangan baru migas. Tentu untuk ini dibutuhkan dukungan dari pemerintah terutama di dalam kemudahan perizinan, pemberian insentif agar bisa mengundang lebih banyak perusahaan berinvestasi di pengembangan MNK ini selain Pertamina,” jelas Inge saat dihubungi Dunia Energi belum lama ini.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan langkah Pertamina mencari cadangan migas dengan cara baru ini sudah tepat. Pemerintah kata dia juga harusnya “All Out” mendukung Pertamina.

“Menurut saya sudah tepat, agar kita optimalkan lifting kita.  Soalnya memang pada hitung-hitungan biaya dan keuntungan. Ini teknologi baru di kita, perhitungan tersebut kita belum berpengalaman.  Untuk skala pilot tentunya penting untuk didukung oleh pemerintah, baik insentif fiskal maupun non fiscal,” jelas Mulyanto kepada Dunia Energi beberapa waktu lalu.

Dengan semakin besarnya kebutuhan migas di masa yang akan datang maka sudah sewajarnya berbagai upaya dilakukan. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus bisa diselesaikan baik itu oleh pemerintah maupun pelaku usaha. Perburuan cadangan di lapangan MNK memang tidak ada yang mengatahui seperti apa ujungnya nanti. Namun percayalah bahwa hasil yang diperoleh tidak mengkhianati usaha. (RI)