Budidaya lele mengubah wajah Kampung Tanah Berongga. Dari tak ternama menjadi populer. Berpotensi menjadi kampung lele. Potret pemberdayaan masyarakat membangun kemandirian.
Kreativitas bisa datang dari siapa saja dan dimana saja, tak mengenal tempat dan pendidikan. Nun jauh di sana, di Kampung Kebun Tanjung, Seumantoh , Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, Hadiyanto yang tak tamat SMP berhasil menemukan formula jamu yang ampuh meningkatkan produktivitas lele. Jika di tempat lain, dari 1.000 ekor benih maksimal hanya dihasilkan 100 kilogram (kg), berkat ramuan ajaib tersebut, di tempat ini bisa mencapai Rp 120 kg sampai 140 kg.
Kampung yang lebih populer dikenal dengan sebutan Tanah Berongga pun kini sumringah. Hampir tiap rumah memanfaatkan pekarangannya untuk budidaya lele. “Biaya jamu untuk seribu ekor lele sekitar Rp 50 ribu,” ujar Hadiyanto yang lebih senang menyebut dirinya sebagai buruh serabutan dari pada petani. Alasannya karena tak punya lahan. Bagi Hadiyanto, kini 44 tahun, petani adalah sebutan terhormat. Kepemilikan lahan melekat otomatis pada frasa tersebut.
Tambahan biaya untuk jamu ini terkompensasi hasil panen yang lebih berat. Dengan kelebihan 20 kg – 40 kg, setelah dikurangi Rp 50 ribu untuk pangan , pembudidaya masih bisa mengantongi kelebihan Rp 200 ribu sampai Rp 400 ribu dibandingkan pembudidaya konvensional. Dengan kenaikan harga pakan, praktis kalau hanya menghasilkan 100 kg, margin yang didapat sangat tipis, tak sampai seratus ribu. “Tapi lele kami lebih berat, bukan hanya karena jamu,“ ujar Hadiyono merendah .
Jamu lele lahir, sebetulnya dari keputusasaan. Tiga tahun lalu semua anggota kelompok tani “Sido Urip” lemas saat mendapati lele yang dipeliharanya banyak yang mati. Padahal, mereka mulai menggantungkan harapan, bahwa lele bisa mengatrol periuk mereka. Penyuluh dari Badan Penyuluh Pertanian Kabupaten Tamiang menyarankan untuk memakai bibit lokal yang dibenihkan di Tamiang . Sebelumnya, mereka mendatangkan bibit dari Kota Binjai Sumatera Utara dan Banda Aceh. Dengan jarak pengiriman yang jauh, banyak lele stres
Saat bersamaan , Hadiyono teringat pada kebiasaannya memberikan jamu pada ayam peliharaannya. Dengan jamu itu, ayamnya lebih sehat, jauh dari penyakit.Dengan berbagai modifikasi, akhirnya tercipta jamu lele. Usul Pak Penyuluh plus jamu lele racikan Hadiyono kembali menghidupkan asa. Lele yang ditebar bisa berumur panjang dan bertahan sampai panen. “ Jumlahnya malah nambah,“ ujar Hadiyono ngakak.
Biasanya dari pembelian seribu bibit, penjual memberi bonus , seratusan ekor. Karena tak ada yang mati, saat dihitung otomatis jumlahnya lebih dari seribu. “Pokoknya kalau lele sudah mau makan, tenang kita,“ ujar Hadiyono. Jamu lele itu memang dicampurkan ke dalam pakan, tidak ditebar langsung ke kolam lele.
Selain lebih berat , daging lele pelahap jamu lebih renyah, tak terlalu berlemak. Si lele juga akan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Seperti juga khasiat jamu terhadap manusia, jamu racikan Hadiyanto ini akan menambah nafsu makan lele. Tak mengherankan, lele dari Tanah Berongga kini lebih diburu konsumen, meskipun harganya sedikit lebih tinggi dibandingkan di pasaran.
Selain jamu, Hadiyono juga berhasil menciptakan formula organik, biasa disebut EM (Effective Microorganism) untuk menjaga PH air tetap ideal. PH air ini untuk lele harus dijaga berkisar antara 6 sampai 8. “Bisa memakai bekas sayur-sayuran di pasar,” ujar Hadiyono . Ia mengaku keterampilannya meracik jamu maupun membuat formula didapat dari kursus-kursus yang diikutinya.
Hadiyono lebih rajin dibandingkan yang lain mengikuti pelatihan-pelatihan untuk petani yang diadakan berbagai lembaga. Tentu saja gratis. Oleh teman-temannya, sesama anggota Kelompok Tani Sido Urip, ia kerap dijuluki “tukang sekolah”. Sido Urip sudah berdiri sejak 1995. Jangan kaget, meski di Aceh, nama kelompoknya berbau Jawa.
Di wilayah Tamiang, termasuk Tanah Berongga kebanyakan memang pendatang dan etnis Jawa yang paling dominan, 60 % penduduk di Kabupaten Aceh Tamiang suku Jawa. Setiap ada tawaran mengikuti pelatihan gratis, yang paling rajin mengacungkan tangan minta dikirim, ya Hadiyono.
Meski terbukti paten menggemukkan lele, Hadiyono tak berniat mengkomersialkan temuannya. Resep dia bagi gratis kepada semua pembudidaya lele yang membutuhkan, baik dari Kampung Berongga maupun dari luar. “ Cita-cita kita sejak awal sejahtera bareng,“ ujar Hadiyono.
***
Kelompok Tani Sido Urip sudah berdiri sejak 1995. Meski sudah puluhan tahun, “urip” (hidup) yang dicita-citakan kelompok Sido Urip tak kunjung datang. Kehidupan anggota kelompok kembang kempis. Mereka nyaris tak merasakan manfaat keberadaan kelompok tani tersebut, antara ada dan tiada.
“Mungkin salah setting,” ujar Bambang Sutrisno, Ketua Kelompok Tani Sido Urip. Tanah di sana tak cocok untuk komoditi pertanian, lebih cocok untuk perikanan. Meski anggota kelompok tani sudah mengikuti berbagai pelatihan, hasilnya tak ada. Kelompok Tani pun seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau.
Kondisi ini berlangsung puluhan tahun. Cahaya harapan mulai berpendar saat Field Rantau PT Pertamina EP menawarkan bantuan untuk mengembangkan lele pada akhir 2010. Kehidupan kelompok kembali berdenyut. Mereka pun menyodorkan nama baru “Kelompok Pembudidaya ikan (POKDAKAN) TanahBerongga. Tak berarti menghapus Kelompok Tani Sido Urip.“ Ibarat perusahaan Sido Urip itu holdingnya. POKDAKAN anak perusahaan, “ ujar Bambang ngakak. Pada perkembangannya, Sido Urip tetap menjadi label yang lebih sering disematkan orang pada kelompok ini.
Sebetulnya , lele bukan hal asing bagi penduduk di sana. Beberapa orang sudah membudidayakannya. Cuma berlangsung sporadis dan apa adanya, tanpa dibekali pengetahuan yang memadai. Akibatnya, lebih banyak rugi daripada untung.
“Saya pernah coba pelihara lele, hampir semuanya mati,” ujar Bambang. Rugi sekali, langsung bikin kapok .Ia akhirnya kembali ke rutinitasnya menjual tahu yang diproduksi orang tuanya. Ia menghapus lele dari daftar mimpinya.
Dedi Zikrian S, Staff CSR Field Rantau Pertamina EP menyebutkan, pengembangan lele yang ditawarkan Pertamina EP tak sekedar comot, tapi didasarkan pada studi terlebih dahulu . Karakter tanah di Tanah Berongga cocok untuk pengembangan lele, yakni tanah liat. Dengan karakter seperti itu , kolam tak pernah menyusut meski musim kemarau karena air tak merembes ke tanah.
Sebaliknya, saat selesai panen dan dikeringkan untuk musim berikutnya, kolam akan kering kerontang. Cahaya matahari akan melibas habis semua bakteri sehingga ketika lele mulai ditebar konsdisnya sudah betul-betul steril. Di tempat lain, pengeringan tak pernah sepenunya berhasil karena selalu ada rembesan air dari dalam tanah.
Di tempat lain, biasanya budidaya dikembangkan dengan menggunakan kolam dari semen. Tentunya, butuh biaya lebih besar. Padahal, program pemberdayaan didesain menjadi budidaya massal di desa tersebut, yang bisa dikembangkan penduduk dengan memanfaatkan tanah pekarangan.
Dalam perjalanannya, program ini sempat tersendat pada tahap awal. Bibit yang ditebar banyak yang mati. Anggota kelompok mulai berguguran. Dari 17 anggota kelompok, hanya sebelas orang yang bertahan . Mereka terus saling menyemangati, sampai akhirnya mereka berhasil mengatasi rintangan. Bambang ingat persis saat panen perdana, beberapa anggota kelompok sampai menitikkan air mata.
Kepercayaan diri yang hampir roboh perlahan tegak kembali. Kolam budidaya yang tadinya hanya delapan kolam, kini sudah berkembang menjadi 16 kolam. Tak hanya kolam pembesaran, tapi juga pembibitan. Selain dijual keluar, bibit itu juga untuk melayani kebutuhan internal. “Dulu bibit susah. Harus pesan dulu, “ ujar Bambang.
Keperc ayaan terhadap kelompok kembali pulih. Anggota yang tak aktif , kembali beredar. Bahkan sekarang sudah berkembang menjadi 19 orang. “Tiap anggota minimal dapat tambahan uang dapur dari lele Rp 1,2 juta per bulan,” kata Bambang. Bahkan dirinya mengaku mendapat tambahan dari lele sekitar Rp 3,5 juta perbulan .
Tak hanya bersandar pada kolam milik kelompok, tiap anggota diberi keleluasaan untuk membudidayakan di tempat masing-masing. Bambang sendiri mempunyai delapan kolam pembesaran dan satu kolam pembibitan.
Tanah Berongga pun, dari awalnya tak pernah dilirik orang, kini mulai ramai dikunjungi, mulai dari rakyat biasa yang ingin belajar sampai anggota dewan. Badan Pelayanan Penyuluh Pertanian Aceh Tamiang sudah mengirim dua angkatan untuk belajar budidaya lele di Tanah Berongga.
Suhardiansyah, tenaga penyuluh dari lembaga tersebut mengakui kelompok budidaya lele Tanah Berongga terbaik di seluruh Tamiang. “ Mereka punya keinginan untuk maju dan tak gampang menyerah,“ ujar pria yang akrab dipanggil Yayan tersebut.
Alhasil, Tanah Berongga pun menjadi sekolah bagi siapa saja yang ingin beternak lele. Dengan keberhasilannya, Bambang dipercaya pemerintah menjadi penyuluh perikanan swadaya. Berikutnya, dua anggota lain diajukan mendapatkan brevet yang sama
Dengan lele, Tanah Berongga mendaki ketenaran. Bambang menyebutkan ia dan kelompoknya masih punya mimpi. “ Kami ingin Tanah Berongga jadi kampung lele, untuk seluruh Aceh,” ujarnya, Ingat lele, ingat Kampung Berongga.
(Hidayat Tantan / tsuma25@yahoo.com)
Komentar Terbaru