DEKADE 90 hingga 2000an sudah ada segelintir masyarakat yang sudah memasang solar panel diatapnya. Bukan untuk menghasilkan air panas tapi untuk memproduksi listrik. Dulu, memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) boleh jadi perkara cukup sulit. Bahkan tidak sedikit yang katakan PLTS untuk kalangan elit karena akses informasinya yang terbatas dan sulit.
Yunus Saefulhak, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang kebetulan punya akses informasi tentang perusahaan PLTS menuturkan telah memiliki PLTS atap dengan daya 3.500 Watt peak (WP). Dari PLTS Atap yang dimilikinya itu dia bisa menghemat sekitar Rp 1 juta setiap bulan untuk biaya listrik. “Biasanya sekitar Rp 3 jutaan tapi berkurang sekitar Rp 1 juta sejak pasang PLTS,” ujar Yunus kepada Dunia Energi, Kamis (10/10).
Yunus mengakui tidak mudah dulu untuk menemukan pihak yang bisa memasang PLTS Atap. “Saya pasang tahun 2018 dulu biayanya sekitar Rp60 juta. Memang tidak mudah cari yang bisa pasang PLTS,” cerita Yunus.
Tapi kini kondisi itu berubah total. Kemajuan teknologi dan digitalisasi ikut andil dalam kemudahan memasang PLTS. Cukup bermodal smartphone, kini kita bisa langsung memasang PLTS. Bagaimana caranya?
Kemudahan pemasangan PLTS diinisasi oleh PT PLN (Persero) melalui aplikasi PLN Mobile. Di dalam super apps tersebut terdapat fitur pemasangan PLTS Atap (PV Rooftop). Beberapa fitur lanjutan yang disediakan antara lain perizinan pemasangan PLTS Atap on grid.
Jika ingin mengetahui terlebih dulu mengenai biaya pemasangan serta penghematan yang dihasilkan dari penggunaan PLTS ada fitur simulasi perhitungan. Lalu pengajuan pemasangan serta fitur monitoring PV yaitu kita bisa memantau secara langsung penggunaan PLTS Atap seperti daya yang dihasilkan.
PLN Mobile juga menyediakan paket pemasangan PLTS Atap yang bisa dipilih mulai dari paket paling hemat berdaya 1.150 watt peak (WP) seharga Rp 25 juta hingga paket dengan daya paling besar yakni 11.500 WP seharga Rp 175 juta.
Ada tiga jenis PLTS yang dikembangkan di Indonesia, pertama adalah PLTS Atap, lalu ada PLTS berskala besar dan terakhir ada PLTS Terapung. PLTS Atap jadi PLTS yang paling mudah dibangun oleh masyarakat secara individu, institusi dan lainnya. PLTS Atap ini juga yang jadi andalan untuk melibatkan masyarakat secara luas dalam rangka mengejar transisi energi.
Pemerintah sendiri baru saja menerbitkan aturan main dalam pemasangan PLTS Atap yang tertuang dalam Keputusan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM No 279.K/TL.03/DJL.2/2024 tentang Kuota Pengembangan Sistem PLTS Atap PT PLN (Persero) tahun 2024 sampai dengan tahun 2028.
Total potensi kapasitas terpasang berdasarkan kuota yang sudah disediakan pemerintah hingga tahun 2028 adalah sebesar 1.593 MW. Untuk tahun ini kuota sistem PLTS Atap ditetapkan sebesar 901 Megawatt (MW). Jumlah kuota terus meningkat setiap tahun dan tahun depan kuotanya ditetapkan 1.004 MW. Lalu tahun 2026 sebesar 1.065 MW. Meningkat menjadi 1.183 MW tahun 2027 serta menjadi 1.593 MW di tahun 2028. Untuk tahun ini, hingga September jumlah kuota yang sudah terpakai mencapai 825,5 MW dan sisa kuota tahun ini hanya 75,5 MW.
Minat tinggi masyarakat terhadap PLTS Atap menunjukkan kesadaran akan penggunaan energi bersih juga terus tumbuh. Selain itu kemudahan dalam pemasangan PLTS Atap tentu juga turut ambil bagian.
Andriah Feby Misna, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM menilai pemerintah sendiri terbuka untuk menambah kuota PLTS Atap di tahun depan jika dilihat dari animo tinggi masyarakat yang bisa diambil dari sisa kuota pada tahun ini. “Berdasarkan kuota PLTS Atap yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk tahun 2025 dan sisa kuota PLTS Atap tahun 2024 yang tidak terpakai, saat ini PLN sudah melakukan penyusunan komposisi PLTS Atap per clustering/per UP3, sebagai dasar bagi pelanggan dalam mengajukan usulan pembangunan dan pemasangan PLTS Atap tahun depan ,” jelas Feby saat dihubungi Dunia Energi pekan lalu.
PLN bakal jadi aktor utama dalam pengembangan PLTS Atap karena pemerintah sudah mengalokasikan kuota yang cukup besar bagi PLN. “Untuk PLN sendiri sudah ada kuota hingga tahun 2028. Total kuotanyakan kurang lebih di angka 1,5 GW untuk PLTS Atap. Jadi ada kurang lebih 60-an wilus (Wilayah Usaha) salah satunya PLN. Tapi untuk yang wilus-wilus lain ini juga kita dorong mereka untuk bisa menggunakan energi terbarukan. Salah satunya adalah yang paling gampang PLTS Atap,”ungkap Feby.
Menurut dia karakteristik seperti kapasitas tidak terlalu besar serta sudah ada kemudahan dari sisi ketersediaan lahan untuk memasang panel tentu wajar jika masyarakat menaruh minat tinggi terhadap PLTS Atap.
“Karena PLTS Atap itu waktu konstruksinya sangat singkat. Kalau kita bandingkan dengan proyek-proyek hidro, proyek geotermal itu kan butuh waktu mungkin diatas 5 tahun untuk konstruksi. Sehingga memang untuk short term-nya ini PLTS atap yang menjadi concern kita,” ungkap Feby.
Tidak dipungkiri seiring berjalannya waktu memang pemasangan PLTS terutama PLTS Atap semakin praktis. Apalagi dengan kehadiran aplikasi yang disediakan PLN.
Antariksa Puspanegara, Founder PT Green Energy Nusantara Mandiri, perusahaan penyedia jasa desain rancang bangun PLTS, menuturkan berbagai kemajuan, terutama dari sisi teknologi dan informasi yang ada sekarang ini membuat peluang pengembangan PLTS semakin besar.
“Untuk urusan pemasanagan jauh lebih mudah sudah ada aplikasi aplikator sudah banyak juga. Tinggal masyarakatnya karena saat ini banyak terkontaminasi informasi berseliweran. Karena sistem PLTS itu spesifikasinya harus kita paham betul mau dipasang dimana itu spesifikasi dan lainnya harus sesuai,” kata Antariksa saat dihubungi Dunia Energi (10/10).
Sementara itu, Mada Ayu Habsari, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai kebijakan yang diusung pemerintah terkait PLTS khususnya PLTS Atap dengan pemberlakukan sistem kuota cukup ideal diterapkan. “Karena smua pihak terlibat akan memiliki persiapan yg lebih baik, namun mungkin sizenya bisa diadjust sesuai minat market,” ujar Mada kepada Dunia Energi, Kamis (26/9).
Dia pun berharap Pemerintah baru nanti terus mendorong upaya pemanfaatan energi terbarukan khususnya tenaga matahari karena potensinya sudah jelas dan hanya tinggal dieksekusi.
Mada optimistis, jika pemerintah mau membuka diri membahas kebutuhan dan memfasilitasi para pelaku usaha maka Indonesia bukan tidak mungkin bakal jadi negara terdepan dalam pengembangan EBT khususnya PLTS minimal dikawasan regional Asia Tenggara.
“Kita mulai dengan banyaknya perbaikan padar egulasi dengan merevisi peraturan yang dianggap menjadi bottleneck. Semoga setelah semua ada perbaikan ini maka Indonesia bisa “gaspoll” juga seperti negara ASEAN lainnya,” kata Mada.
Makin Praktis
Gregorius Adi Trianto, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN, menyatakan bahwa PLN berkomitmen untuk mendukung pengembangan energi terbarukan di Tanah Air, termasuk penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sampai dengan Agustus 2024, PLN mencatat kapasitas PLTS di Indonesia telah mencapai 343,1 MWp dan PLTS Atap mencapai 245,2 MWp.
“PLN sangat mendukung penggunaan PLTS atap oleh masyarakat. Hingga Agustus 2024, total pelanggan PLTS atap on-grid telah mencapai 9.477 pelanggan dengan total kapasitas 245,2 MWp,” ujar Gregorius.
PLN kata Grogorius terus memberikan kemudahan bagi pelanggan yang ingin melakukan pemasangan PLTS on-grid, khususnya dari sisi perizinan. Pelanggan atau pemohon cukup menggunakan layanan satu pintu di PLN Mobile yang praktis. “Melalui aplikasi ini, pelanggan bisa memantau progres pengajuan PLTS Atap mulai dari permohonan awal sampai dengan mendapat surat persetujuan,” jelas dia.
Menurut Gregorius PLN tidak hanya fokus kembangkan satu jenis PLTS tapi ketiga PLTS bakal sama-sama mendapatkan perhatian. Untuk memaksimalkan potensi besar tenaga surya, perusahaan juga tidak segan menggandeng mitra. Terutama untuk pembangunan PLTS berskala besar dan PLTS Terapung.
Selain PLTS Atap, PLN juga PLTS Skala Besar yang biasa dibangun oleh para produsen listrik/badan usaha. PLN misalnya mencatatkan pembangunan PLTS skala besar ground-mounted terbesar di Indonesia berkapasitas 100 MWp di Purwakarta belum lama ini. PLTS skala besar ini juga bisa dikembangkan oleh perusahaan tambang di lahan bekas tambang. PT Amman Mineral Nusa Tenggara misalnya sudah memiliki PLTS dengan kapasitas 26,8 MW.
Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi EBTKE, pernah mengungkapkan salah satu tantangan dalam pengembangan PLTS adalah kebutuhan lahan. Untuk itu pemerintah ingin memanfaatkan lahan sebaik-baiknya, dengan mengkombinasikan penggunaannya seperti untuk pertanian.
Dia menyatakan pemanfaatan lahan bekas tambang bisa jadi solusi mengatasi tantangan kebutuhan lahan. Selain itu, perusahaan tambang juga akan mendapatkan bonus dengan adanya citra positif di mata masyarakat karena juga mulai concern dengan EBT.
“Jadi untuk yang land basis itu diupayakan ya seyogyanya lahan yang tidak produktif, termasuk yang lahan bekas tambang,” kata Hendra dalam Forum Tematis Bakohumas di Bandung belum lama ini.
Berbagai project PLTS yang telah berhasil diwujudkan melalui kolaborasi dengan para pemain utama EBT dunia. Sebut saja PLTS Terapung Cirata 192 MWp hasil kolaborasi dengan Masdar, PLTS ground-mounted 100 MWp kolaborasi dengan Aruna PV. “Lalu jangan lupa ada PLTS IKN yang berkolaborasi dengan Sembcorp yang ditargetkan mencapai kapasitas maksimal 50 Megawatt (MW) pada akhir 2024,” kata Grogorius.
Untuk project PLTS yang sedang dikembangkan PLN ke depannya seperti PLTS Terapung Singkarak kapasitas 77 MWp kolaborasi dengan ACWA, PLTS Terapung Saguling 92 MWp kolaborasi dengan ACWA yang target Commercial Operation Date (COD) pada tahun 2026, dan PLTS Terapung Karangkates 129 MWp kolaborasi dengan GD Power yang ditarget COD di 2025.
Hendra Iswahyudi, Direktur Konservasi Energi EBTKE, pernah mengungkapkan salah satu tantangan dalam pengembangan PLTS adalah kebutuhan lahan. Untuk itu pemerintah ingin memanfaatkan lahan sebaik-baiknya, dengan mengkombinasikan penggunaannya seperti untuk pertanian.
Dia menyatakan pemanfaatan lahan bekas tambang bisa jadi solusi mengatasi tantangan kebutuhan lahan. Selain itu, perusahaan tambang juga akan mendapatkan bonus dengan adanya citra positif di mata masyarakat karena juga mulai concern dengan EBT.
“Jadi untuk yang land basis itu diupayakan ya seyogyanya lahan yang tidak produktif, termasuk yang lahan bekas tambang,” kata Hendra dalam Forum Tematis Bakohumas di Bandung belum lama ini.
Berdasarkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) total kapasitas PLTS skala besar adalah sebesar 4,68 gigawatt (GW) pada tahun 2030 nanti.
PLTS memang jadi harapan terbesar untuk mendongkrak pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Dewan Energi Nasional (DEN) dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) menempatkan PLTS sebagai kontributor terbesar dalam bauran energi untuk NZE 2060.
Selain itu, dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060, pemerintah menargetkan kapasitas PLTS terpasang bisa mencapai sekitar 115 GW atau paling besar dari jenis pembangkit lainnya.
Djoko Siswanto, Sekretaris Jendral DEN, mengungkapkan dengan adanya perkembangan teknologi, maka biaya pengadaan PLTS yang selama ini kerap dijadikan kambing hitam tidak tumbuhnya peed3bisa terus ditekan. “DEN sangat mendukung industri solar panel di Indonesia ynag terus tumbuh dan berkembang. Investasi PLTS sudah 90% lebih murah dibanding 10 tahun terakhir,” kata Djoko kepada Dunia Energi belum lama ini di Jakarta.
Wajar memang menjadikan PLTS sebagai andalan dalam mengejar target bauran EBT. Meskipun harus diakui saat ini harganya masih belum bisa bersaing dengan batu bara, namun penurunan harga jual listrik yang terus terjadi dari PLTS bisa jadi acuan betapa PLTS bakal memainkan peranan vital di masa depan. Belum lagi dengan waktu pembangunan PLTS yang terbilang singkat. Untuk membangun PLTS Terapung Cirata misalnya, waktunya dibutuhkan sekitar kurang dari dua tahun dengan kapasitas pembangkit mencapai 192 MWp serta keluaran produksi listrik mencapai 145 MWp yang merupakan PLTS terbesar di Asia Tenggara dan ketiga terbesar se-dunia. Kehadiran PLTS Terapung Cirata pada November 2023 lalu merupakan momentum tepat mensejajarkan Indonesia dengan negara lain dunia yang sedang mengejar NZE.
Untuk PLTS Terapung ini merupakan “senjata” andalan yang bisa digunakan jika mau mengejar target NZE karena diproyeksikan memiliki kapasitas mencapai 89,37 GW di 293 lokasi terdiri dari potensi pembangunan di bendungan yang dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) adalah sebanyak 257 lokasi (bendungan) dengan kapasitas mencapai 14,7 GW serta pembangunan di 36 lokasi danau dengan total kapasitas bisa mencapai 74,67 GW. Besarnya potensi PLTS Terapung ini juga didukung oleh adanya perubahan Permen PUPR No. 7 Tahun 2023 tentang Bendungan. Beleid tersebut memberikan peluang pemanfaatan ruang pada daerah genangan waduk hingga 20% (atau lebih) yang semula hanya 5% dari luas genangan pada muka air normal.
Fabby Tumiwa, pakar transisi energi yang juga Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan PLTS dan Biomassa (PLTBm) bisa saling melengkapi. Menurutnya PLTBm bisa menjadi solusi dari kebutuhan energy storage untuk produksi listrik konstan dari PLTS yang intermitten. “Saya harap rancanangan tarifnya memenuhi keekonomian dan mencerminkan ekspektasi pengembalian investasi pengembang,” kata Fabby saat dihubungi Dunia Energi, Sabtu (28/9).
Secara keseluruhan pemerintah kata Fabby telah menyadari potensi PLTS yang besar dan kebijakan saat ini memberikan ruang untuk pemanfaatan PLTS skala besar (utility scale) lewat proyek-proyek RUPTL PLN, PLTS Atap dengan target 3,5 GW sampai dengan tahun 2025, dan PLTS off-grid. Dia berharap pemerintah tetap memiliki semangat untuk mempercepat pengembangan PLTS melalui pemberian insentif. “Beberapa opsi insentif yang bisa diberikan pemerintah kepada publik atau konsumen dan bisnis untuk memanfaatkan PLTS lebih besar lagi,” kata Fabby.
Dia berharap pemerintah baru nanti juga menyadari potensi energi surya di Indonesia sangat besar dan dapat menjadi solusi untuk peningkatan bauran energi terbarukan dalam waktu singkat serta sebagai strategi mempercepat transisi energi di Indonesia yang berbiaya rendah. PLTS Atap misalnya punya potensi ratusan gigawatt di Indonesia.
Fabby menilai rencana pemerintahan Prabowo untuk membangun pemukiman dan perumahan 2-3 juta per tahun, dapat memasukan pemanfaatan PLTS Atap.
“Apabila setiap rumah dipasang 1 kWp PLTS Atap pada 2 juta rumah, kita akan mendapatkan 2 GWp secara kumulatif, yang tersebar di banyak lokasi. Jika tersambung pada jaringna PLN, maka PLN bisa mendapatkan pasokan energi terbarukan gratis, yang menguntungkan perusahaan ini,” jelas Fabby.
Komentar Terbaru