KALAU sudah kepepet, semua cara akan ditempuh. Apalagi kalau sudah urusan perut. Sampai mimpipun harus rela dikubur. Lulus dari bangku SMK jurusan ilmu komputer pada tahun 2018, Rizal Muhamad punya cita-cita menjadi seorang programmer. Zaman sekarang memang seorang programmer menjadi primadona. Pesatnya perkembangan teknologi membutuhkan tangan-tangan trampil diatas keyboard. Programmer jadi pilihan utama dalam berbagai sektor bisnis atau usaha.
Tapi mimpi jadi seorang programmer harus diurungkan dulu. Bukan lincah bergerak diatas keyboard, jemari Rizal sudah empat bulan ini digunakan untuk mengolah Tahu Bakso untuk dijajakan dari sore hingga malam hari tidak jauh dari kediamannya di wilayah Kelurahan Harapan Jaya, Bekasi Utara, Kota Bekasi.
Setiap hari, rata-rata bisa seratus Tahu Bakso ludes terjual. Sebagai pendamping, Rizal juga menjual Tempe Mendoan. Malam itu sudah bungkus Mendoan ke 15 yang dibuka. Setiap bungkusnya berisi lima lempeng tempe, yang juga diproduksi rumahan.
“Mau kering atau basah mas tempenya?” tanya Rizal kepada si pembeli sambil mencemplungkan mendoan ke dalam kuali mendidih.
Selesai menyajikan mendoan ke pembeli, Rizal mengisahkan bahwa utamanya yang dijual adalah Tahu Bakso yang ia buat, tapi lantaran sering habis lebih cepat dia inisiatif menjual tempe mendoan serta tempe goreng.
Dia hanya bisa berjualan jelang magrib hingga pukul 10 malam. Bukannya tidak mau jualan lebih lama, tapi Rizal harus membuat tahu bakso sedari pagi hingga siang. Jadilah malam yang tersisa untuk dia berjualan.
Rizal jadi salah satu korban ganasnya pagebluk COVID-19. Dua tahun mengabdi di salah satu pabrikan otomotif ternama di Karawang, dia sempat dijanjikan untuk menjadi pegawai tetap di sana. Tapi apa daya, wabah virus Sars-Cov2 yang berasal dari Wuhan, China memporak-porandakan semua rencananya. Bukannya diangkat jadi pegawai tetap, kontrak Rizal justru tidak diperpanjang dengan alasan yang dijadikan tameng semua perusahaan di tengah pandemi ini yakni efisiensi.
Semua rencana yang telah Rizal susun seketika buyar. Jangankan untuk mengejar mimpinya menjadi seorang programmer dengan melanjutkan pendidikan di bangku perguruan tinggi khusus komputer. Untuk sekedar makan sehari-hari saja sudah sulit. Rizal merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Sang Ayah sudah tidak lagi seproduktif beberapa tahun lalu. Dia adalah pensiunan pabrikan kendaraan ternama dari Jepang. Orang tua hanya punya modal warung kelontong kecil-kecilan untuk menyambung hidup.
Kini tulang punggung keluarga terbagi tidak hanya di Ayah. Rizal merasakan juga tanggung jawab besar tersebut. Beruntung inisiatifnya kali ini bisa memberikan kontribusi cukup signifikan bagi keluarga. Maklum sudah dua kali usaha Rizal jatuh. Pertama sosis bakar di pasar, lalu di rumah. Dari dua kesempatan awal itu tidak ada yang membuahkan hasil. Sekitar Rp7 juta sudah dihabiskan untuk modal. Tapi sayang bukannya untung malah buntung.
Tahu bakso Rizal dijual dengan harga Rp2.000 per buah sementara Tempe Mendoan Rp2.500 per lempeng. Untuk tempe goreng dipatok Rp1.000 per buah. Setiap harinya rata-rata seratus tahu bakso ludes. Sementara tempe mendoan dan tempe goreng rata-rata lebih dari 50 lempeng mendoan dan 50 tempe goreng yang terjual. “Alhamdulilah listrik di rumah bisa saya bayar, rata-rata bisa Rp600 ribuan per bulan,” cerita Rizal kepada Dunia Energi belum lama ini.
Dia menuturkan setelah tidak berhasil di dua kesempatan berusaha, keinginan berusahanya tidak pernah pudar. Ada beberapa hal yang mendorong untuk merintis usaha Tahu Bakso. Pertama tentu “The Power of Kepepet”. Rizal sadar betul susahnya mencari pekerjaan baru ditengah kondisi seperti sekarang. Di sisi lain dia juga tahu diri bahwa harus ada bala bantuan untuk mendukung ekonomi keluarga. Faktor lainnya menurut Rizal adalah tidak terlalu sulit menjual Tahu Bakso dan Tempe Mendoan dengan modal yang tidak terlalu besar.
Rizal mengaku sangat terbantu dengan adanya subsidi dari pemerintah berupa LPG 3Kg. keberadaan LPG melon itu sangat vital, karena membuat modal maupun biaya produksi Tahu Bakso menjadi bisa ditekan. Dalam sepekan dia menghabiskan rata-rata tiga tabung LPG melon. “Satu tabung 20 ribu jadi seminggu biaya buat gasnya aja Rp60 ribu. Itu membantu banged sih dari pada beli yang gede itu jadi mahal ongkosnya,” kata Rizal.
Subsidi LPG 3Kg selama ini diibaratkan seperti bom waktu lantaran nilainya setiap tahun terus mengalami kenaikan. Tapi untuk orang-orang seperti Rizal, LPG melon yang dianggap bom waktu itu berubah menjadi berkah tersendiri.
Pemerintah sendiri sudah berulangkali menegaskan tidak akan memangkas subsidi LPG 3kg, meskipun menyadari mekanisme yang ada saat ini memang perlu perbaikan.
Hingga kini terus dilakukan kajian untuk menemukan mekanisme paling pas agar penyaluran subsidi yang memang harus diakui tujuannya baik itu bisa tepat sasaran ke masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Pemerintah sadar pertumbuhan ekonomi harus terus digenjot dan fondasi dengan menyalurkan bantuan berbagai kebutuhan dasar itu tidak boleh terputus apalagi di masa seperti sekarang.
LPG 3 Kg bersubsidi disalurkan ke masyarakat lantaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berniat mengurangi subsidi BBM, dengan menjalankan program konversi minyak tanah ke LPG 3 Kg yang dimulai sejak tahun 2007. Saat ini, sebanyak 70% bahan baku LPG yang beredar masih menggunakan bahan impor. Oleh sebab itu, penyaluran subsidi LPG 3 Kg tepat sasaran dinilai akan sangat membantu efektivitas alokasi subsidi energi dari APBN untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Pemerintah telah menetapkan empat rencana dalam penyaluran LPG tabung 3 kg pada tahun 2021. Untuk tahun ini, kuota LPG 3 kg ditetapkan sebesar 7,5 juta metrik ton (MT).
Empat rencana tersebut adalah pertama, meningkatkan jumlah Sub Penyalur/Pangkalan (satu desa satu sub penyalur), agar penyaluran LPG 3 kg dapat mencapai desa-desa yang telah dikonversi dan dapat mengurangi penjualan LPG 3 kg ke pengecer.
Kedua, melakukan pengembangan jaringan pendistribusian LPG tabung 3 kg untuk daerah yang baru di konversi dan daerah yang akan dikonversi.
Rencana ketiga, bekerja sama dengan semua stakeholder yaitu Ditjen Migas, Pemda, PT Pertamina, Hiswana Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian penyaluran LPG 3 kg sehingga tidak terjadi over kuota.
“Sebanyak 12 Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi dan 154 Pemerintah Daerah di tingkat Kabupaten/Kota telah membuat kebijakan penggunaan LPG Non Subsidi bagi ASN dan non usaha mikro,” kata Tutuka Ariadji Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta belum lama ini.
Keempat, meningkatkan penjualan LPG Non Public Service Obligation (PSO) dengan melakukan trade in, diskon refill kepada restoran besar, hotel dan lain-lain.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga Mei 2021, realisasi penyaluran LPG 3 kg sebesar 2,96 Juta Metrik Ton (MT). Untuk outlook atau proyeksi hingga akhir tahun ini konsumsi LPG 3 kg diperkirakan sebesar 7,4 juta MT.
Untuk tahun depan wacana untuk memperbaiki mekanisme penyaluran LPG 3 kg bersubsidi kembali mengemuka.
Arifin Tasrif, Menteri ESDM, menuturkan pemerintah memang mengusulkan perubahan skema penyaluran subsidi, terutama subsidi LPG menjadi skema non tunai terintegrasi dengan bantuan sosial ke masyarakat, sehingga tidak lagi subsidi kepada komoditas atau tabung LPG.
“Perubahan subsidi dari barang ke keluarga yang berhak dengan non tunai terintegrasi dengan bantuan sosial, ini usulan yang ada,” kata Arifin disela rapat dengan Komisi VII DPR RI beberapa waktu lalu.
Pengawasan penyaluran subsidi ini juga rencana akan diperketat. Saat ini tengah dikaji agar Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dapat sekaligus melaksanakan pengawasan untuk penyaluran LPG, tak hanya BBM dan gas pipa.
Pemerintah kata Arifin masih tetap ingin memberikan subsidi kepada masyarkat tapi yang benar-benar membutuhkan seperti rumah tangga, usaha mikro, petani, dan nelayan.
Untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, pihaknya mengusulkan volume LPG 3 kg pada tahun depan mencapai 7,4-7,5 juta metrik ton (MT), relatif hampir sama dari target di APBN 2021 yang ditetapkan sebesar 7,5 juta MT.
Pastikan Kemudahan Akses
Menurut Rizal, terlepas dari memang adanya penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran tapi sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan bantuan pemerintah mekanisme pemberian subsidi diharapkan bisa melihat kemampuan akses para penerima subsidi.
Menurut dia banyak rekan-rekan seperjuangan UMKM yang ia kenal sudah berusia tidak lagi muda dan pasti bisa kesulitan jika harus berurusan birokrasi maupun dengan teknologi yang belum dikenal. “Ya intinya kalau bisa jangan sampai susah gitu kalau mau cari LPG. Semoga caranya nanti kalau memang mau diubah mekanismenya tidak menyulitkan kita-kita (IMKM),” kata Rizal.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengungkapkan subsidi memang masih harus diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan misalnya UMKM,. Telebih ditengah kondisi seperti sekarang. “pemerintah memang memiliki kewajiban untuk salurkan subsidi itu ada di Undang-undang. Tinggal dilihat aja siapa-siapa yang berhak menerimanya,” kata Tulus kepada Dunia Energi, Senin (23/8).
Namun demikian, ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran subsidi menurut Tulus harus diakui memang terjadi. Untuk itu diperlukan adanya suatu formulasi baru yang lebih pas untuk diterapkan. “ini kan dari 2007 belum dilakukan evaluasi mekanismenya. Jadi memang wajar kalau ada evaluasi menyeluruh. Jangan sampai yang tidak berhak misalnya restoran-restoran mewah yang justru gunakan barang subsidi,” ungkap Tulus.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyatakan dengan kondisi yang ada sekarang memang akses terhadap LPG 3 kg bersubsidi masih sangat diperlukan. Tapi lagi-lagi menurutnya mekanisme jadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.
“Saya kira memang masih banyak yang diberikan akses subsidi LPG. Hanya mekanismenya saja yang menurut saya perlu diperbaiki, agar lebih tepat sasaran,” kata Komaidi.
Mekipun terus jadi polemik nyatanya tidak sedikit yang merasakan manfaat dari keberadaan LPG 3 kg. Masih banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap keberadaan “Si Melon”. Suka atau tidak, LPG 3 kg masih dibutuhkan. Itu kenyataannya. Nilai subsidi yang terus membengkak memang perlu dicarikan jalan keluar tapi bukan berarti jalan keluar yang ditempuh adalah jalan pintas yang merugikan masyarakat. LPG 3 kg terbukti bisa menghidupkan asa dan harapan masyarakat. Jika tepat sasaran subsidi LPG 3 kg ini bisa jadi salah satu senjata masyarakat bergulat melawan pagebluk, menata kembali ekonomi yang lebih baik.
Komentar Terbaru