JAKARTA – Rencana sejumlah bank besar Jepang untuk menghentikan pendanaan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dinilai perlu diapresiasi. Rencana tersebut menjadi indikasi bahwa bank Jepang mulai serius mengupayakan phase out dari proyek PLTU.

Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst di International Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), mengatakan bank Jepang selama ini menjadi yang paling aktif dalam mendanai proyek-proyek PLTU dan pertambangan.

“Saya belum baca policy details yang mreka keluarkan seperti apa, tapi rasanya kalau Mizuho hanya memotong setengah dari portfolio lending coal mereka by 2030, lalu zero by 2050, ini masih kurang agresif. Karena berarti masih ada 30 tahun lagi dimana mereka masih bisa mendanai PLTU. At least, sebanyak 50% dari total portfolio mereka atau sebesar 150 miliar yen. Perlu dilihat lagi juga, loopholes apa yang masih ada di lending policy ini,” kata Elrika kepada Dunia Energi, Selasa (21/4).

Elrika mengatakan, setiap tahunnya kebijakan yang dikeluarkan bank Jepang tersebut yang terkait dengan ESG, termasuk untuk sektor batu bara semakin rigid. Ini menandakan para lender mulai mengikuti permintaan international investors yang semakin aware dengan kaidah ESG.

Mizuho dikabarkan akan memberhentikan penyaluran kredit untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang baru. Mizuho juga akan memangkas saldo kredit sebesar 300 miliar yen atau setara US$ 2,8 miliar untuk proyek pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2030 dan akan berhenti membiayai secara total pada 2050.
Langkah Mizuho, juga diikuti oleh Sumitomo Mitsui Financial Group Inc (SMFG) Jepang yang menyatakan tidak akan lagi memberikan pinjaman kepada PLTU baru mulai 1 Mei mendatang.

Elrika menambahkan, yang perlu diperhatikan lebih dalam bukan hanya dari sisi lender komersial, tapi juga ECA (export credit agency) terutama dari ketiga negara yang berebut influential geopolitik di Indonesia seperti JBIC, KEXIM/KDB/K-sure, CEXIM.

“Mereka ini jadi kunci penentu proyek-proyek PLTU, karena selain mereka menyediakan dana pinjaman dengan murah (concessional loans) mereka juga datang dengan asuransinya. Dan saat ini exposure ECAs dari ketiga negara ini di Indonesia sangat besar. Yet, policy lending mereka belum kelihatan perubahannya,” tandas Elrika.(RA)