Pemerintah Indonesia selalu berupaya untuk membangun proyek pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). Menurut rencana, 18.000 MW dari proyek ini akan dipenuhi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang bahan bakarnya berasal dari batubara. PLTU Batubara memiliki dampak yang tidak baik bagi lingkungan. Salah satunya adalah fly ash (abu terbang). Di berbagai negara maju, PLTU Batubara sudah mulai kehilangan popularitasnya. Amerika Serikat telah menghentikan 24 perusahaan PLTU batubara dalam tiga tahun terakhir.
Indonesia sebaiknya juga telah memikirkan hal ini dan mencoba beralih ke pembangkit listrik lainnya yang dapat memenuhi proyek pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW dan juga tidak mengesampingkan dampak lingkungan yang dihasilkan. Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah Pembangkit Listrik Tenga Nuklir (PLTN) berbahan bakar thorium atau sering disebut PLTT (Pembangkit Listri Tenaga Thorium). PLTT adalah sumber energi yang diyakini dapat merevolusi keberadaan sumber energi fosil saat ini. Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu daerah yang sangat berpotensi untuk dibangun PLTT di Indonesia.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) telah melakukan studi kelayakan dan uji tapak pembangunan PLTT di Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan. Dari hasil kajian, struktur tanah di Bangka Belitung sangat layak untuk PLTT, karena cukup stabil dan bebas dari gempa.
Bekas tambang timah rakyat di Bangka (Tim KKN UGM Bangka-Belitung)
Selain secara geografis daerah Bangka Belitung sangat cocok untuk dibangun PLTT, Menurut BATAN, Bangka Belitung juga kaya akan bahan bakar thorium. Ada sekitar 121.500 ton cadangan thorium yang tersimpan. Thorium didapatkan dari hasil hasil samping kegiatan penambangan timah yaitu monasit yang tersusun dari unsur–unsur U, Th, RE, PO4. 121.500 ton thorium dapat memberikan daya listrik sebesar 121 gigawatt selama 1000 tahun.
Padahal saat ini total produksi listrik Indonesia masih dibawah 40 gigawatt. Dua hal inilah yang membuat kepulauan Bangka Belitung sangat potensial untuk dijadikan pembangunan PLTT yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi listrik yang lebih murah dan berkelanjutan.
PLTN berbahan bakar thorium sungguh berbeda dengan bakan bakar uranium yang telah komersial saat ini. Selain bahan bakarnya yang lebih melimpah di alam, PLTT memiliki kelebihan sebagai berikut:
Pertama, limbah nuklir yang dihasilkan dari reaktor nuklir berbahan bakar thorium jauh lebih singkat yaitu hanya berkisar ratusan tahun saja, belum lagi jika terdapat pengolahan berupareprocessing dan PNT (partitioning and transmutation) yang intinya jauh dapat mempersingkat umur paruh dari limbah radioaktif nuklir. Tidak seperti umur limbah nuklir berbahan bakar uranium 235 saat ini yang mencapai 10.000 tahun.
Kedua, limbah reaktor jenis ini tidak berpotensi untuk dapat dijadikan bom nuklir, karna tidak menghasilkan plutonium (Pu-239).
Ketiga, Indonesia telah menandatangani dan tercatat sebagai negara yang mengikuti suatu perjanjian Internasional yang disebut sebagai NPT (Non Proliferation Treaty), dimana Indonesia tidak boleh memiliki fasilitas dan melakukan pengkayaan uranium-235. Padahal pada reaktor nuklir yang komersial saat ini, uranium-235 harus diperkaya. Sehingga walaupun di Indonesia terdapat banyak uranium, Indonesia harus memperkayakan uranium tersebut ke negara maju. Memilih reaktor yang berbahan bakar thorium berarti Indonesia dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan energinya, karena pada thorium tidak terdapat prosses pengkayaan seperti uranium. Sehingga Indonesia dapat mengolah bahan bakar reaktor nuklir secara mandiri tanpa harus impor dari negara maju.
Keempat, bahan bakar berupa thorium sangat berlimpah sehingga harga listrik jauh lebih murah. Reaktor nuklir yang komersial sekarang merupakan reaktor nuklir berbahan bakar padat. Reaktor nuklir yang berbahan bakar thorium adalah reaktor berbahan bakar cair dengan teknologi yang telah dikenal sebagai MSR (Molten Salt Reaktor). Menggunakan thorium sebagai bahan bakar utama, Thorium Closed Cycle (Thermal Breeder Reactor menggunakan Th-232 yang dikonversi menjadi U-233).
Reaktor berbahan bakar cair ini (MSR) masih dalam tahap pengembangan, namun reaktor jenis MSR ini pernah beroprasi sejak 1967 oleh Thorcon Power, namun dihentikan karena pada masa itu Amerika Serikat dan Rusia berlomba-lomba untuk membangun senjata nuklir, reaktor jenis ini tidak mendukung hal tersebut karna hasil limbahnya tidak mengandung plutonium (Pu-239) bahan untuk membuat bom nuklir. Saat ini Indonesia telah bekerja sama lewat PT Inuki dengan ThorCon power untuk merealisasikan reaktor jenis MSR ini. (Nurdian, Fakultas Teknologi Nuklir Universitas Gadjah Mada, Peserta Program Kuliah Kerja Nyata Daerah Bangka Belitung).
Komentar Terbaru