JAKARTA – Pemerintah saat ini tengah membahas revisi dari Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Aturan tersebut juga sebenarnya yang mewajibkan penyediaan BBM jenis Premium beroktan 88 sebagai Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) dan Solar sebagai Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT). Revisi tersebut disinyalir sebagai pintu akan dihapusnya BBM jenis premium.
Muhammad Ibnu Fajar, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) saat dikonfirmasi mengakui saat ini telah digodok revisi Perpres 43 Tahun 2018 dan 191 Tahun 2014. Namun Ibnu tidak merinci detail perubahannya, termasuk apakah ada ketentuan penghapusan kewajiban distribusi BBM beroktan 88 dari pemerintah kepada badan usaha.
“Sedang digodog revisinya, nanti kalau sudah disetujui pasti diumumkan,” kata Ibnu kepada Dunia Energi, Selasa (8/9).
Menurut Ibnu, hingga aturan direvisi BPH Migas masih bertugas untuk mengawasi penyaluran BBM jenis JBKP dan JBT. BPH Migas mengacu kepada Perpres 191/2014 dan Perpres 43/2018 memberikan penugasan kepada Pertamina tetap mengawasi penyediaan dan distribusi JBT dan JBKP di seluruh wilayah Indonesia.
“Kecuali Perpresnya direvisi,” tukas Ibnu.
Wacana untuk menghilangkan BBM jenis Premium dan Pertalite sekaligus makin sering terdengar. Ini tidak lepas dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 20 Tahun 2017 yang mensyaratkan BBM gasoline yang dijual minimum memiliki Research Octane Number (RON) 91.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan dengan persyaratan KLHK pemerintah dipacu untuk menyediakan energi bersih yang bisa memberikan banyak manfaat bagi Indonesia. “Kita mengetahui beberapa waktu lalu Norway sudah kasih kompensasi terhadap penghematan CO2. Nah ini juga kita bisa mengharapkan bisa tumbuh kembang,” kata Arifin.
Menurut Arifin, Indonesia menjadi satu dari lima negara yang masih menggunakan BBM beroktan rendah. “Ini adalah untuk mengurangi masalah polusi. Premium ini cuma ada lima negara saja yang menggunakan dan Indonesia termasuk negara besar yang masih menggunakan,” kata dia.
Pemerintah lanjut Arifin tidak akan terburu-buru menghapus Premium. Uji pasar sampai saat ini masih dilakukan oleh Pertamina untuk mengatahui respon masyarakat.
“Kami akan melakukan bertahap. Kemarin diuji coba di Bali, tapi itu aksi korporasi Pertamina untuk mengetahui respons masyarakat. Dari pemakaiannya, nanti kita bisa peroleh kajian,” kata Arifin.(RI)
Komentar Terbaru