BERBILANG tahun ikan asap sudah jadi ikon Penatarsewu, masyhur seantero Sidoarjo, Jawa Timur. Jika Anda baru pertama kali berkunjung dan kurang yakin dengan gawai penunjuk arah, tak perlu menyebutkan nama tempat, Anda cukup menyebut, “ Di mana Kampung Ikan Asap?” Akan langsung diarahkan ke Penatarsewu, sebuah desa yang berjarak sekitar 13 Km dari pusat kota Sidoarjo
Tak jelas kapan persisnya ikan asap menjadi primadona mata pencaharian di sana. “Sebelum saya lahir kegiatan pengasapan sudah ada,” ujar Cholik, Kepala Desa Panatarsewu, kini 50 tahun kepada Dunia-Energi, akhir pekan lalu.
Desa Penatarsewu termasuk desa tua. Kehidupan di sana sudah dimulai pada era Majapahit. Sanggagewu, salah satu dusun di desa tersebut merupakan medan perang. Disebut Sanggagewu karena beribu-ribu prajurit mati di sana.
Sedangkan Dusun Pelataran di sebelahnya merupakan area luas yang dipakai para prajurit untuk menambatkan kuda-kuda mereka. Karena lapangan yang luas dan lapang, daerah itu disebut Pelataran. Boleh jadi, kebiasaan pengasapan itu sudah dimulai pada era tersebut.
Tak sekedar soal makanan, cerita ikan asap Penatarsewu adalah cerita tentang keikhlasan perempuan. Dari dulu, kaum perempuanlah yang banyak bergumul dengan ikan asap. Merekalah penjaga tradisi kekhasan ikan asap Penatarsewu yang diwariskan turun temurun.
Tidak dengan narasi besar tentunya. Mereka hanya tahu, jika sabar melakoni, ikan asap akan bisa membahagiakan keluarganya. Dalam bahasa sederhana mereka, cukup untuk membeli beras. “Lumayan Mas untuk tambah-tambah uang dapur,” ujar Hanifah.
Hanifah sudah berpuluh tahun “bermandi asap”. Saya bertemu dengannya di salah satu rumah asap, tempatnya bekerja. Mungkin karena sudah terbiasa dia sama sekali tak terganggu dengan asap yang terus mengitari wajahnya. Dia tekun membolak-balik tusukan ikan dan mengipasinya. Kipasan itu tentu saja mengundang kepulan asap baru.
Sesekali dia menyiramkan air untuk memadamkan api yang muncul di sisi perapian berukuran 2 x 1 meter tersebut. Jika tak sigap, api itu bisa menyambar kerak-kerak di cerobong. Akibatnya, bisa fatal, tempat pembakaran ikan itu, penduduk sekitar menyebutnya dengan rumah asap, bisa terbakar.
Sambil menunggu ikannya matang, tangan perempuan itu lincah menusukkan bilah bambu ke tubuh ikan. Tidak hanya satu, tapi sampai delapan ikan sekaligus. Jika tak terbiasa, bilah bambu yang runcing itu salah-salah bisa menusuk tangan. “Tusuk lurus di atas atau di bawah tulang ikan,” ujar Hanifah, 30 tahun.
Toh resep ini tak semudah mengucapkannya. Saat saya mencobanya, bilah bambu itu susah betul menembus badan ikan. Saat memaksa mendorong, badan ikan malah robek dan bilah lancip itu nyaris melukai tangan. “Saya sudah melakukannya sejak kelas 3 SD,” ujar wanita tersebut menghibur saya yang kesusahan menirukan aktivitasnya.
Meski sudah puluh tahun, dia tak pernah bosan membolak-balik ikan. Juga tak merasa sayang dengan Ijazah SMA-nya. Asal mau siapapun bisa mendapat cipratan rezeki ikan asap. Lulusan apapun bisa. “Lumayanlah untuk tambah-tambah belanja,” ujarnya. Dia tak punya pengasapan sendiri, bekerja pada dari jam 09.00 sampai jam 13.00. Dia membakar ikan hampir 125 kg setiap harinya. Kebanyakan ikan mujair, sekitar 80 kg. Sisanya bandeng dan patin.
Ikan mujair memang paling banyak diminati warga Sidoarjo, disusul bandeng. Sementara ikan yang dagingnya lebih lunak yang sangat populer di kota-kota besar seperti patin dan lele kurang dilirik.
Untuk empat jam kerja, Hanifah mendapat upah Rp 90 ribu sampai Rp 100 ribu. Jumlah yang lumayan. Upah UMR buruh pabrik di Sidoarjo untuk 2019 sebesar Rp3,8 juta dengan jam kerja delapan jam. Suaminya sendiri bekerja di pabrik pengolahan ikan. Sidoarjo termasuk salah satu ringroad industri di Jawa Timur.
Hanifah sama sekali tak berniat buka pengasapan sendiri. “Siapa yang mengurus anak-anak,” ujarnya. Dengan bekerja pada orang seperti sekarang, dia masih berkesempatan memberikan kedua anaknya yang masih SD sarapan. Begitu anaknya pulang sekolah, dia juga sudah di rumah.
Tak hanya Hanifah, sekarang pengasapan memang jadi tumpuan perekonomian mayoritas masyarakat di sana. “Sekarang hampir 90 persen dari 870 KK” ujar Cholik. Multiflier effect ikan asap lumayan besar. Tiap hari dibutuhkan sekitar 11-13 ton ikan untuk diasap, mulai dari ikan mujair, patin dan lele. Ini artinya peluang bagi petani tambak. Kebutuhan itu tak hanya dipasok dari tambak di Penatarsewu, tapi juga dari daerah lain.
Tenaga kerja yang terlibat juga banyak. Satu rumah pengasapan bisa mempekerjakan dua sampai empat orang pegawai, tergantung banyaknya ikan yang diasap. Pegawainya kebanyakan perempuan. Selain mengasap, ada pekerja yang khusus membersihkan sisik ikan, dan mengeluarkan jeroan ikan.
Sebelum bencana Lapindo pada 2016. Hanya sekitar 20% yang terlibat. Sisanya mengadu nasib di luar desa. Setelah bencana Lapindo, sekitar 70% dari perantau itu kembali ke desa. Mereka kembali untuk memastikan keluarganya aman dari limpasan lumpur, sekaligus mencari nafkah baru.
Yang kembali rata-rata memilih ikan asap sebagai mata pencaharian untuk melanjutkan hidup. Ada juga yang memilih jadi petambak, hanya memasok ikan ke rumah asap.
Peluangnya memang ada. Saat itu, sesuai dengan data dari Kantor Desa Penatarsewu, pasokan ikan Jawa Timur, khususnya Sidoarjo, banyak disuplai daerah lain seperti Pasuruan. Warga Penatarsewu memanfaatkan keadaan tersebut sebagai peluang pekerjaan baru.
Meski tak ikut hilang tersapu lumpur, Penatarsewu turut menderita. Para petambak rugi belasan juta rupiah. Modal amblas. Bahkan, ada juragan tambak yang harus merelakan ratusan juta rupiah menguap. “Perekonomian sulit sekali saat itu. Anjlok sampai 50%,” ujar Cholik, sang kepala desa. Ganti rugi hanya diterima satu kali panen. Padahal, petani berulangkali mengalami gagal panen. Udang, ikan, dan lele banyak mati karena airnya tercemar lumpur Lapindo.
Cholik, mengakui kehidupan perekonomian warganya membaik setelah Pertagas turun tangan membantu kegiatan ikan asap. “ Sekarang tingkat perekonomian baik. Tambak dan ikan asap bagus,” ujarnya.
Sesuai dengan rekomendasi social mapping yang dilakukan UGM, Pertagas sejak 2016 mulai menginisiasi program “Kampung Ikan Asap”. Dimulai pada penguatan kelompok dan membenahi proses produksi. Pertagas merasa perlu masuk ke sana karena Penatarsewu termasuk desa yang dilewati pipa gas mereka . Proses produksi dan pemasaran ikan asap dibenahi.
Sebelum ada program “Kampung Ikan Asap”, warga melakukan pembakaran di tempat terbuka. Akibatnya asapnya kemana-mana. Dinding rumah pun menguning. Yang paling berbahaya, anak-anak beresiko terjangkit pneumonia, yang menyerang saluran pernapasan. Pertagas kemudian membantu dengan membuat rumah asap dengan dilengkapi cerobong untuk mengkanalisasi asap. Sampai sekarang Pertagas sudah membangun sekitar 88 rumah asap
Bahan bakar diganti. Yang tadinya arang dari kayu diganti batok kelapa. Tak hanya mengurangi asap, penggunaan batok kelapa juga lebih ekonomis. Jika arang harganya 140.000/zak, batok kelapa hanya Rp 25.000 per sak. Waktu pembakaran pun lebih singkat. Dengan arang, waktunya sekitar lima jam. Batok kelapa menyingkatnya menjadi tiga jam.
Warga pun diperkenalkan dengan inovasi “pure zero waste,” Intinya, tak ada yang terbuang dari proses produksi. Semua dimanfaatkan. Air bekas pencucian ikan dipakai untuk menyiram tanaman. Sebelumnya, warga main gampang. Hasil cucian dibuang ke sungai. Malah ada satu dua warga yang nekad membuat pengasapan di atas saluran irigasi.
Setelah dilakukan penyuluhan dan penyadaran, “pure zero waste,” mulai terwujud. Tak ada sampah tersisa. Jeroan ikan dipakai untuk makan lele, sedangkan sisiknya dijual kepada pengrajin sebagai material barang kerajinan.
Yang paling terasa bantuan coolbox. Sebelumnya warga kerap dipusingkan dengan kekurangan ikan untuk diasap. Mereka tak bisa nyetok. Paling-paling hanya untuk satu hari. Tapi dengan coolbox, ikan bisa disimpan untuk beberapa hari
Semua perbaikan itu mampu mengerek pendapatan. Pada 2017, pendapatan warga masih 3-4 juta per bulan, setahun kemudian naik 60% menjadi 5-6 juta per bulan. Produksi ikan asap pun naik dari 7 ton menjadi 11 ton. Jika diuangkan peningkatannya sekitar Rp 550 juta.
Pemasarannya yang tadinya hanya satu dua pasar, kini sudah menjangkau empat pasar, yakni Pasar Porong, Pasar Tanggul angin, Pasar Larangan, dan Pasar Tulangan. Belum bisa ekspansi ke pasar di luar kota karena ikan asap diproduksi tanpa bahan pengawet sehingga tak bisa tahan lama. Hari ini dijual, hari itu juga untuk dibeli untuk dikonsumsi.
Tak berhenti sekadar peguatan di hulu. Dibantu Social Development Studies Centre (SODEC), lembaga di bawah Universitas Gadjah Mada, pada 2018, Pertagas melakukan pemutakhiran social mapping. Sesuai dengan rekomendasi pemetaan tersebut, setelah menguatkan hulu, disiapkan program penguatan hilir, berupa resto apung. Ini sekaligus embrio pembentukan desa wisata yang diharapkan bisa jadi sumber pemasukan baru warga Penatarsewu. Mereka diharapkan tak lagi gagap jika Pertagas keluar dari sana. Bagaimanapun warga harus siap disapih, berdiri tegak di atas kaki sendiri.
Menangkal Asap dengan Pohon Payung
Tak sekadar menggenjot ekonomi, lingkungan pun diperhatikan Pertagas . Meski sudah dikanalisasi dengan dengan cerobong, asap tetap menjadi sumber polusi udara. Untuk menangkalnya, mulai digalakkan penanaman pohon trembesi. Pohon ini dipilih karena dikenal sebagai penangkal polusi kelas wahid
Jika sudah rimbun, dari kejauhan bentuknya mirip payung. Mungkin karena daunya hanya tumbuh di ujung ranting. Akarnya kuat meghujang dengan kemampuan menyerap air di atas pohon lain. Dengan daunnya yang lebat, pohon ini mempunyai kemampuan menyerap CO2 lebih banyak.
Dia juga tahan segala cuaca. Usianya mampu bertahan hingga dua ratus tahun dengan tinggi mencapai 25 meter dan diameter 1,5 meter-2 meter. Tentunya rindang bukan kepalang.
Dengan karakteristik seperti itu, pohon itu kini banyak ditanam di pinggir-pingir jalan sebagai penangkal debu dan polusi udara. Dari tempat asalnya di Amerka Selatan, pohon dengan nama latin Albizia Saman atau Samanea Saman ini dibawa menyebrangi lautan, tersebar di berbagai negara terutama yang beriklim tropis.
Sempat kalah pamor oleh kayu angsana yang dianggap cepat tumbuh, trembesi kini menjadi primadona. Angsana meski cepat tumbuh, ternyata rapuh sehingga tak bisa bertahan lama. Sebuah perusahaan sempat mengkampanyekan “Tree for Life” dengan menanam jutaan pohon trembesi sepanjang 1.350 km di jalur pantura Merak-Banyuwangi
Dengan melibatkan pekerja, masyarakat, dan siswa sekolah dasar, pada 23 Agustus 2019 lalu trembesi mulai ditanam disekeliling desa Penatarsewu. Untuk tahap awal disiapkan 1.500 pohon.
“Program ini merupakan realisasi program berkelanjutan Kampung Ikan Asap di Pertagas EJA,” ujar Fithrpo, Head Of QC HSE PT Pertamina Gas EJA. Menurut dia, penanaman pohon trembesi tersebut dilakukan untuk membantu mengurangi tingkat pencemaran di Kampung Ikan Asap akibat aktivitas pengasapan ikan. Di desa tersebut, Pertagas mengimplementasikan konsep OSOT atau one stack one tree. Kehadiran tanaman tersebut diharapkan bisa mengurangi efek pencemaran udara akibat asap yang muncul dari cerobong asap.
Zainal Abidin, Manager PR dan CSR Pertagas, berharap ke depan Kampung Ikan Asap tidak hanya terkenal sebagai penghasil ikan asap dan Resto Apung-nya, tapi juga menjadi role model kampung lain di Sidoarjo khususnya, untuk terus peduli dengan lingkungan hidup
Pertagas sebelumnya juga secara berkesinambungan melakukan sosialisasi terhadap warga setempat agar menjaga budaya hidup sehat. Untuk mengantisipasi dampak aktivitas pengasapan ikan, warga saat ini telah terbiasa menggunakan masker saat melakukan pengasapan.
Kepedulian terhadap lingkungan senantiasa diletakkan beriringan dengan peningkatan ekonomi dalam setiap program CSR Pertagas. Program pendampingan terbaru di desa tersebut seperti Resto Apung tak luput dari hal tersebut “Resto kita dampingi untuk berubah menjadi Green Resto. Konsep rumah makan yang ramah lingkungan,” ujarnya. Green resto menjadi outlet utama wisata terintegrasi yang juga didesain ramah lingkungan.
Keseimbangan lingkungan dan manfaat ekonomi yang dikembangkan Pertagas seperti disebutkan Zainal Abidin sejalan dengan pernyataan Ketua Dewan Proper, Prof. Sudarto. Dalam berbagai kesempatan mahaguru Universitas Dipenogoro itu menyatakan bahwa CSR yang dikembangkan perusahaan harus memperhatikan fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan.
Ini paralel dengan doktrin global tentang pembangunan berkelanjutan yang mengharuskan perusahaan menjaga keseimbangan profit, planet, dan people, biasa disebut triple bottom line (3 P) yang dipopulerkan oleh John Elkington, pada 1988. Dalam bukunya, “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line ini 21st Century Business, penulis bisnis berkebangsaan Inggris itu menganjurkan dunia usaha tak mengukur sukses hanya dari sisi profit saja, tapi juga harus melihat pengaruh perusahaannya terhadap perekonomian secara luas, lingkungan, dan masyarakat di sekitar operasi.
Jika ini terlaksana, generasi mendatang akan punya kesempatan menjalani hidup yang berkualitas karena kita tak pernah merampok kesempatan tersebut.(HT)
Komentar Terbaru