Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) merupakan organisasi non pemerintah yang melakukan usaha dalam menunjang dan membantu usaha anggota dalam bidang energi dan batubara. Sejak 2011, Aspebindo resmi menjadi anggota luar biasa dari Kamar Dagang Indonesia (KADIN). Anggota Aspebindo kini terdiri atas lebih dari 100 perusahaan yang terdiri atas perusahaan perdagangan, perusahaan pemilik tambang batubara, serta perusahaan yang bergerak dibidang energi baik energi minyak dan gas atau energi terbarukan.
Di era transisi energi batu bara menjadi energi baru terbarukan, Aspebindo mendorong terjadinya komunikasi antar anggota untuk bertukar pikiran, menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dalam menunjang perkembangan dan pertumbuhan usaha dalam persaingan global. Aspebindo juga menjalin kerjasama yang kondusif dengan stake holder baik pemerintah, lembaga legislatif dan sektor swasta yang menjadi penunjang perkembangan organisasi dan industri terkait.
Untuk membedah peran dan sepak terjang Aspebindo, wartawan Dunia Energi Hidayat Tantan, Dudi Rahman, Alfian Tandjung, dan Yurika mewawancarai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu. Anggawira juga aktif sebagai Tim Ahli Komite Investasi di Kementerian Investasi/BKPM dan menjadi Komisaris Utama di salah satu anak perusahaan Krakatau Steel, serta Tim Ahli Komwas SKK Migas. Anggawira juga menjabat Sebagai Wakil Ketua Umum BPP HIPMI.
Berikut petikan wawancaranya.
Aspebindo adalah organisasi non pemerintah yang melakukan usaha dalam menunjang dan membantu usaha anggota dalam bidang energi dan batubara. Bagaimana sebenarnya peran Aspebindo?
Pondasi energi kita 70 % diisi batubara, dan mayoritas industri ini dipegang pengusaha. Bagaimana merumuskan kebijakan dan keseimbangan secara tepat. Tidak mudah ya, tapi ini udah konsukuensinya dan pilihan kebijakan. Tentunya sebagai para pengusaha kita berharap adanya keadilan antara pengusaha besar dengan para pemegang IUP atau pengusaha kecil, dan para trader. Ekosistem ini harus dihidupkan.
Kemarin kan banyak kebijakan atau polemik di PT PLN (Persero) seolah-olah trader tidak boleh main, harus langsung ke pengusaha tambang. Itu menurut saya sangat keliru sekali, jangan sampai ada ekosistem usaha yang dimatikan karena kebijakan. Harusnya kolaboratif saja. Kenapa trader hidup, karena ada peluang. Mungkin karena penambangnya tidak bisa jualan, tidak punya uang. Jadi menurut saya malah harus dibuat sedemikian rupa sehingga ekosistem bisa tumbuh, jangan mematikan. Misalkan ada proyeksi 2040 mengurangi PLTU, artinya ada pengusaha batubara yang berkurang. Nah ini kan harus dicarikan ruangnya, ada edukasi, transisinya bagaimana. Transisi bukan dari pemeritah tapi pelaku usaha. Karena yang menggerakkan ekosistem ini kan pelaku usaha. Driven perekonomian kan pengusaha, pemerintah hanya kecil sekali. Kalau pelaku usaha tidak bergerak, tidak mencari inovasi, maka kalau pemerintah mau ngomong apapun tak akan jalan barang itu. jadi kebijakan pemerintah harus dirumuskan secara bersama dan realistis.
Kemarin seolah-olah pak Presiden on-off, ini kan perlu perumusan. Kesalahan fatal pernah terjadi ketika konversi dari minyak tanah ke LPG. Kita tidak punya sumber LPG tapi diarahkan kesana, yang ada sekaranga nombok terus karena harus impor LPG. Karena terburu-terburu, hanya melihat short saja, dipaksakan. Saat itu mungkin berhasil, tapi lihat sekarang bagaimana kondisinya. Saat ini ada konversi kompor listrik, itu bagaimana, harus dievaluasi dan seperti apa. Sekarang seolah-olah berlebih surplus energi khususnya di Jawa, tapi itu kan energi batubara. Kalau nanti benar-benar tidak ada bagaimana. Harus di elaborasi.
Kita itu kaya akan natural gas. Bisa dimaksimalkan. Banyak kargo natural gas yang tidak terserap. Ini sebenarnya bisa dimaksimalkan utk potensi dalam negeri.
Menyikapi kondisi sektor energi dan batubara saat ini, apa yang dilakukan Aspebindo?
Kita sadar baru berdiri, perlu konsolidasi lagi. Artinya kita memb erikan suatu narasi, ini suatu diskursus. Sambil pelaku-pelaku yang sudah berjalan kita menyerap dari mereka dan kita sampaikan. Kita juga berusaha juga untuk komunikasi dengan pengambil kebijakan yang ada. Dalam Munas Aspebindo kemarin banyak yang hadir. Saat ini era nya bukan berkompetisi tapi berkolaborasi bagaimana mencari formula yang tepat. Artinya kita jangan di driven negara-negara lain. Kita harus punya guidance yang clear dan realistis, jangan seolah-olah ikut sana-sini tapi belum dirumuskan secara detail. Jadi menurut saya kebijakannya harus detail. Jangan seolah-olah ikutan tapi tidak tau mau melangkah kemana, harus ada tujuan yang clear. Crush program boleh, tapi kan harus menjadi bagian dari longgterm planning. Crush program PLTU, itu bagian dari longterm planning atau tidak? nah ini yang harus dimaksimalkan. Kita kan kaya diversifikasi energi, tapi kembali ke skala keekonomiannya seperti apa. Harus dicari skala keekomian energi, formulanya seperti apa. Karena energi ini kan menjadi hal yang vital dan primer utk tumbuh berkembang. Menarik investasi juga kan orang pasti melihat energinya.
Misal cina mau masuk ke sini atau korea, pasti mereka akan tanya pasokan gasnya bagaimana, ada jaminan dari pemerintah atau tidak. artinya pemerintah harus menyiapkan suatu infrastruktur yang memang punya keberlanjutan. Banyak program yang sudah bagus, tapi implementasinya bagaimana. Ini kan harus diukur juga. Kalau itu bisa terjadi, selesai. Kita kan kaya sumber gas, colok di suatu daerah bisa langsung nyala.
Skala prioritas Aspebindo ke sektor apa?
Realitanya 70 % energi kita masih di pasok batubara. Tapi kita tidak membatasi diri, kita juga deliver bermacam isu. Saat ini ada isu perubahan iklim, ini kita harus ikut juga. Tapi seberapa realistis hal itu perlu kajian lebih dalam. memang sudah ada DEN yang jadi salah satu stakeholder utama dalam perumusan kebijakan, tapi yang sudah dirumuskan dewan energi tersebut juga perlu di exercise juga. Harus diimprove dan disesuaikan dengan situasi yang ada.
Di Eropa sudah beralih ke EBT, tapi karena COVID-19 kembali lagi ke batubara. Di sisi lain kenapa bisa mahal, ya itu dipicu dari logistiknya juga. Karena suplainya juga tidak ada, dan ketersediaan logistik yang terbatas. Hal-hal ini juga perlu diperhatikan. Perlu berhati-hati dan harus punya exit plan kalau sekiranya tidka bisa berjalan sesuai target yang ada.
Saat ini era transisi energi batu bara menjadi energi baru terbarukan (EBT). Transisi energi idealnya berapa tahun?
Transisi energi ini kan harus disesuaikan dengan resources yang ada. Resources kita yang besar itu kan di natural gas, harus dimanfaatkan secara optimal. Nah saat ini natural gasnya seolah-olah belum dimanfaatkan secara maksimal. Natural gas itu kan energi bersih. Karbonnya rendah. Jadi menurut saya transisi energi tidak bisa fully bicara EBT. Karena costnya juga kan masih cukup tinggi. Dan perlu dibangun ekosistem industrinya di dalam negeri. Ini kan harus dilihat peta jalannya bagaimana. Relatif kalangan menengah atas sudah care. Saya sudah pasang di rumah itu solar panel 5500 Wp, itu hampir Rp70juta. Harusnya ini bisa inline dengan subsidi keuangannya. Ini harus di link and match kan. Misalkan pasang ini bisa dapat bunga sekian persen. Nah ini yang saya lihat belum terjadi. Malah yang ada bunga 0% itu beli kendaraan listrik. Nah bisa tidak ada packaging packaging seperti itu. pasang solar panel itu memang cukup tinggi di awal, tapi bisa menghemat tarif bulanannya. Misalkan saya tadinya per bulan Rp5 juta, setelah pakai solar panel cuma Rp2 juta sekian.
Pabrik-pabrik, atau gudang-gudang seharusnya bisa dapat insentif kalau pakai PLTS. Harus dilihat dengan helicopter view. Jadi bukan dari sisi produsen saja, dari sisi konsumen harus di driven dengan suatu kebijakan yang tepat. Misalnya kayak mobil listrik, pajaknya kecil, tapi harga mobilnya masih belum kompetitif. Harga mobil dengan BBM hanya Rp 150juta, sementara mobil listrik Rp 700 jutaHarusnya bisa didekatkan misalkan harga mobil listriknya Rp 350juta, mungkin orang akan banyak beralih. Atau misalkan untuk kendaraan dinas pakai mobil listrik. Tapi kita lihat belum ada langkah kesana secara masif. kendaraan listrik kan penghematannya lumayan. Secara spare part juga tidak perlu ganti oli. Tapi ini kan perlu di driven juga. Harusnya di internal pemerintahan sudah diterapkan juga penggunaan kendaraan listrik ini ya. Sekarang tinggal keseriusan pemerintah bagaiamana. Misalkan di SKK Migas, mobil-mobil para bos diganti kendaraan listrik. Harus di challenge. Pemerintah harus mencontohkan lebih dulu, nanti pasti masyarakat ikut. Pak Presiden jangan pakai S-Class, tapi ini contoh ya. Harus dicontohkan, jangan hanya bicara. Kalau hanya bicara akan sangat sulit.
Terkait transisi energi, apakah langkah pemerintah sudah tepat atau menari dengan gendang orang lain?
Menurut saya masih driven daripada kesepakatan-kesepakatan internasional. Yang secara realistis masih cukup sulit diterapkan di negara kita. Jangan kita membuat sesuatu yang tidak applicable. Bukan anti terhadap EBT, tapi factuallynya yang sederhana saja apakah mobil-mobil dinas di kementerian-kementerian sudah diganti mobil listrik atau belum. Kalau pemimpin belum melakukan itu, hanya talking-talking saja ya bagaimana. Kita ini kan budaya timur. Masyarakat pasti ikut para pemimpinnya. Yang saya lihat pak Menhub yang pakai mobil listrik Hyundai. Penggunaan mobil listrik juga kan perlu edukasi ke pengemudinya. Atau mungkin ada award bagi kementerian yang sudah gunakan mobil listrik. Perlu ada movement. Ada colaborative actions. Kita tidak menyalahkan pemerintah, tapi kalau pemerintah kurang ya kita push secara bijak dan realistis.
Bagaimana mencapai titik temu antara pemasok batubara dan energi?
Batubara itu kan langsung bisa di eksekusi oleh UMKM misalnya. Untuk masalah natural gas, harus ada direction dari negara. tapi kita kan tidak ada sumber LPG. Kenapa waktu itu dipaksakan konversi dari minyak tanah ke LPG, ada kekuatan apa ini? jangan sampai ada kesalahan lagi seperti itu. kita juga kan sudah tidak punya duit. Kan filosofinya dont put your investation in one basket. Nah ini kita benar-benar fully kesitu, totally LPG. Dulu sempat ramai batubara gasifikasi, DME, jargas. Tapi itu tidak boosting. Kalau pada saat itu jargas di boosting, malah bisa tepat sasaran ke masyarakat. Sekarang LPG 3kilogram yang menggunakan bukan kalangan yang memang memerlukan. Dan ini perlu pengawasan lagi kan. Improvement BUMN sektor energi perlu ambil peranan penting. Contoh Pertamina, PLN, tidak punya direktur research dan inovasi? How come? Padahal inovasi itu kan lahirnya dari sana. Harusnya mereka punya orang yang bisa meriset. Seperti NASA, mereka sudah jago, punya direktur yang concern riset berbasis inovasi. Ilmu pengetahuan/ knowledge kan sudah implemetatif di perguruan tinggi, pakar. Tapi kalau teknologi itu kan di pelaku usaha. Harusnya pelaku usaha connect antara knowledge dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Ngapain erick tohir ngurusin toilet? Its too small. Harusnya boosting how to improve ini itu yang lebih besar. Toilet itu juga kan bukan milik Pertamina, ada milik swasta, tinggal kasih standarisasi saja. Tidak perlu CEO hebat untuk urus toilet. Bagi kita kalangan menengah kan jadi lucu. Toilet itu kan ada yang jaga, jangan sampai kebijakan merugikan rakyat kecil. Ini harus dipikirkan juga. Orang yang mencari hidup dari situ harus dikasih ruang pilihan alternatif.
Transisi energi bagi Aspebindo itu suatu keniscayaan atau harus dilewati?
Di abad-21 ada 2 hal yang merubah behaviour masyarakat, yaitu teknologi dan informasi. Kedua, perubahan iklim. Ini keniscayaan yang memang terjadi. Jadi concern terhadap energi bagaimana bisa melakukan keseimbangan terhadap lingkungan itu harus dilakukan, bagaimana supaya kita tidak didikte. Energi kan sudah menjadi kebutuhan primer. Tanpa energi kita tidak bisa ngapa-ngapain. Era industri itu lahir karena ada energi, simpelnya seperti itu. jadi untuk lompat ke energi lain kan harus diperhitungkan resourcesnya. Ukuran negara maju itu kan dilihat dari konsumsi energi per kapita. Kedua, ketika sudah mencapai per kapita sebagai negara maju secara energi, maka nanti akan dilahirkan dari energi apa. Transisi energi itu kan energinya sudah tersedia lalu kita switch ke energi yang ramah lingkungan. Tapi energi yang ramah lingkungan berhubungan ke cost ya. Kalau ada cost pasti kan harus ada yang dikorbankan.
Contoh bicara kedaulatan pangan. Tak akan mencapai kedaulatan pangan kalau tidak ada perubahan behaviour masyarakat. Behaviour masyarakat kita makannya indomie, sampai kapan pun Indonesia tidak akan bisa menanam gandum. Behaviour ini kan dibentuk. Yang membentuk behaviour daripada makan indomie kan oligarki, zaman Soeharto. Pengusaha yang melahirkan itu. sebenarnya ini bisa kita ubah secara perlahan. Tidak bisa dipaksakan kalau pemain atau pengusahanya tidak dilibatkan. Kunci utamanya disitu. Pengusaha harus diberikan suatu insentif yang menarik sehingga ada margin. Kalau sudah ada margin bisa main sendiri barang itu. harus begitu.
Sampai sekarang belum terlihat, misalnya soal mobil listrik. Orang kalau mau investasi mobil listrik pastikan lihat demandnya, kalau tidak ada ya tidak di eksekusi barang ini. jadi perlu kebijaksanaan dalam membuat kebijakan, perlu helicopter view. Ini yang perlu dilakukan bersama. Tidak bisa bondo nekat seperti di Amerika Latin.
Di hulu migas sekarang 70 persen dikuasai Pertamina, tapi bagaimana hasilnya? Ini perlu dievaluasi. Kalau semuanya mau takeover BUMN, artinya bukan Indonesia incorporated. Ini lah yang kita rasakan. Saya di hulu migas juga sudah teriak-teriak. Karena kalau hanya mengandalkan mereka itu akan sangat berat.
Bagaimana dengan penilaian negatif tentang trader?
Itu kan yang main bukan swasta, tapi BUMN nya juga. PGN,atau apa, main juga disitu. Ini kan terkait bagaimana mereview kebijakan. Peran trader akan sangat ada. Misalkan hulunya berapa, hilirya berapa, kan bisa di cek costnya berapa. Sekarang pemerintah sudah tegas di era sekarang, lumayan lah.
Komentar Terbaru