Saat ini telah memasuki era industri 4.0 yang seluruh teknologi digunakan dalam kegiatan sehari-hari membutuhkan energi. Energi tersebut dihasilkan dari Sumber Energi. Terdapat berbagai macam sumber energi antara lain matahari, panas bumi, nuklir, ombak, angin, hidrogen hingga sumber energi fosil (batu bara, minyak dan gas bumi). Sumber energi fosil adalah sumber energi yang paling populer digunakan pada seratusan tahun terakhir. Sumber energi yang ada memiliki spesifikasi serta sifat alamiah yang masing-masing berbeda. Perbedaan ini, yakni:

  1. Ada yang jumlahnya terbatas dan ada yang tak terbatas,
  2. Ada yang merusak lingkunan dan ada yang ramah lingkungan,
  3. Ada yang biaya pengelolaanya mahal namun ada pula yang murah,
  4. Ada yang risiko kecelakaan nya rendah dan ada pula yang tinggi.

Karena dalam 1 abad terakhir Sumber Energi mayoritas adalah Sumber Energi Fosil, maka hampir seluruh aktivitas peradaban manusia ditopang oleh sumber energi yang ketersediaanya terbatas dengan emisi polutan dan dapat dikategorikan berbahaya bagi lingkungan.

Melihat hal tersebut, maka sejak COP 21 di Paris dilakukan kampanye Transisi Energi ke energi yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan. Program ini merupakan solusi utama yang perlu diformulasikan pengimplementasiannya agar dapat menjadi solusi yang riil. Namun tentunya melakukan transisi energi hendak lah sesederhana itu dan ini dibuktikan dengan porsi bauran energi yang hanya “Poco-poco” saja bagi energi bersih dibandingan fosil yang masih mendominasi.

Terdapat banyak sekali tantangan transisi energi saat ini, antara lain pertama kebutuhan energi dunia masih sangat bergantung pada energi fosil.

Energi fosil masih sangat dominan sehingga untuk melakukan transisi ke sumber energi lain tentu akan membutuhkan waktu dan perlu dilakukan secara bertahap.

Kedua, Sumber energi fosil sudah sangat lebih matang (established) dan efisien saat ini terdapat teknologi yang lengkap serta Sumber Daya Manusia (SDM; tenaga ahli) yang mencukupi, perhitungan operasionalnya pun sudah lebih jelas. Sebaliknya, bagi EBT saat ini masih menghadapi kendala dalam implementasinya, antara lain infrastruktur yang masih belum matang, proses distribusi belum efisien, teknologi yang digunakan masih jarang, begitupun ahli SDM nya.

Ketiga, adalah dari aspek pemodalan, teknologi yang masih baru serta SDM yang masih berkembang membuat pemodal atau bahkan bank masih belum berani mengambil risiko pendanaannya dikarenakan masih banyak terdapat pasti (uncertainty).

Kondisi ini cukup dilemaHs bagi Indonesia, karena negara ini memiliki cukup banyak ragam potensi sumber EBT. Dari segi alam, Indonesia memiliki intensitas dari terik matahari sepanjang tahun, garis Pantai terpanjang di dunia, energi gas bumi yang melimpah, serta tenaga angin yang melimpah diberbagai area Indonesia. Indonesia sendiri memiliki seHdaknya 441 Gigawatt potensi energi terbarukan yang setara dengan 7x produksi Listrik nasional pada tahun 2018. Potensi energi terbarukan tersebut terkontribusi dari tenaga air, panas bumi, bio energi tenaga surya, tenaga angin serta energi laut.

Apa yang bisa kita perbuat untuk mendorong transisi energi di Indonesia?

Saat ini dengan melihat data distribusi pembangkit listrik di dunia bahwa sudah mulai terlihat adanya pertumbuhan dari energi terbarukan. Meskipun secara mayoritas masih disumbang oleh energi fosil, dimana sekitar 35,7% disumbang dari Batu Bara, sekitar 25% dari Gas Alam dan fosil lain. Sumber energi sisanya sudah mulai ditopang oleh energi terbarukan, antara lain Air dari yang terbesar lalu diikuH dengan Nuklir, Angin, Matahari, Bio energi, dan lainnya.

Lalu, sampai kapan kita mau membiarkan implementasi transisi energi ke EBT tarik ulur seperti sekarang ini? Apabila kita mengengok ke beberapa negara tetangga lain disekitar kita, ada Jepang yang telah mengimplementasikan Honeycomb wind lense turbine, China dengan araticial sun nuclear fusion reactor, Malaysia dengan solar project Mudajaya, dan Thailand dengan powerhouse of Srinagarind hydropower plant & Kwai Yai river.

Perubahan harus dimulai dari sekarang dengan menghadapi risiko kegagalan, keuntungan finansial yang relaHve lebih sedikit untuk saat ini, guna meraih tujuan yang jauh lebih besar serta bermanfaat untuk jangka panjang untuk anak cucu kita. Selain itu, penerbitan greenbond serta transaksi di bursa karbon menjadi salah satu dari mekanisme yang dapat merangsang geliat green economy.

Tentunya kebijakan-kebijakan pendukung dari Pemerintah tetap akan selalu dibutuhkan sebagai landasan yang akan sangat efektif dalam mensimulasi pergerakan ekonomi serta pemodalan kearah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Saat ini target bauran energi berdasarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) sulit tercapai dan sumber energi fosil masih mendominasi. Oleh karena itu, perlu diupayakan secara cepat agar terbit revisi KEN yang baru.

Selain itu, karena pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sumber energinya dari batubara akan ditutup, maka perlu ada pembangkit listrik dari EBT yang masif dan berkapasitas besar. Jangan sampai karena permasalahan lingkungan membuat Indonesia kekurangan energi. Hal ini akan mengakibatkan terganggunya ekonomi, pertahanan, keamanan dan sendi-sendi peradaban ini. Sumber EBT yang dirasakan mampu berdaya besar adalah geothermal, air dan nuklir. Karena geothermal dan air lokasinya jauh dari pengguna, intermiten, dan tergantung dari kondisi alam, sebaiknya pemerintah tidak menjadikan nuklir sebagai energi terakhir. Karena sumber energi ini menghasilkan energi yang murah, bersih dan kontinyuitasnya tinggi.