Energi baru terbarukan (EBT) telah menjadi salah satu topik utama dalam pembahasan global mengenai keberlanjutan dan mitigasi perubahan iklim. Meningkatnya kebutuhan energi dari tahun ke tahun akibat pertumbuhan populasi dan industrialisasi, dunia menghadapi tantangan besar untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil yang tidak hanya sebatas jumlahnya tetapi menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca.

Energi baru terbarukan (EBT) merupakan salah satu pengelolaan energi dari proses alam yang berkelanjutan dan dijadikan sebagai energi alternatif, selain itu EBT juga mempunyai sifat ramah lingkungan, sehingga berkontribusi dalam pengatasi pemanasan global dan mengurangi emisi (pencemaran cahaya, panas, atau elektron dari suatu permukaan benda padat atau cair) pada karbon dioksida (Sarante, 2024).

Energi baru terbarukan mencakup berbagai sumber daya alam yang melimpah dan berkelanjutan, seperti energi surya, angin, air, biomassa, panas bumi, gelombang laut, dan pasang surut, dimana semuanya memiliki peran penting dalam menyediakan solusi energi ramah lingkungan di masa depan.

Adapun manfaat dan keunggulan EBT meliputi hasil energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan energi fosil, biaya yang stabil sepanjang masa pakai fasilitas, serta sumber energi yang berkelanjutan. Energi ini dihasilkan secara domestik, mengurangi ketergantungan impor minyak bumi, tidak menghasilkan polusi atau emisi gas rumah kaca, dan memiliki faktor kapasitas yang optimal, yakni rasio antara beban rata-rata dengan kapasitas maksimum pembangkit.

Potensi EBT di Indonesia sangatlah besar karena sumber daya alamnya yang melimpah. Sebagai negara tropis dengan garis pantai yang panjang, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan tenaga surya, angin, dan gelombang laut. Selain itu, sumber biomassa seperti pertanian dan perkebunan juga dapat diolah menjadi bahan bakar yang bersih dan ramah lingkungan.

Namun, pemanfaatan EBT di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan Seiring meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya energi bersih, pengembangan EBT diharapkan tidak hanya menjadi solusi atas kebutuhan energi nasional, akan tetapi juga berkontribusi pada upaya global untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Melalui inovasi teknologi dan kebijakan yang mendukung, EBT dapat menjadi tonggak penting dalam perjalanan menuju keberlanjutan energi di masa depan.

Meskipun menawarkan banyak manfaat, EBT memiliki beberapa keterbatasan seperti lokasi sumber yang umumnya terpencil sehingga membutuhkan investasi tinggi untuk infrastruktur, eksplorasi dan pembangunan pembangkit, serta potensi dampak pada stabilitas tanah di sekitar energi (Sarante, 2024).

Selain itu, EBT seperti biomassa mengandalkan pembukaan lahan yang luas untuk menanam tanaman yang digunakan untuk bahan biomassa. Pembukaan lahan ini akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan karena pembabatan hutan menjadi perkebunan atau tanaman yang homogen. Ketergantungan pada kondisi geografis, kebutuhan lahan yang luas, keterbatasan dalam penyimpanan energi, pembangunan infrastruktur yang mahal, dan juga efisiensi yang belum optimal menjadi kendala dalam pembangunan EBT di Indonesia.

Selain itu, sampai saat ini Indonesia masih mengalami masalah yang jauh lebih besar yaitu permasalahan pengelolaan sampah. Data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat timbulan sampah nasional mencapai 70 juta ton sampah per tahun. Dengan angka emisi CO2 pada tahun 2019 pada sektor limbah mencapai 134.119 ton.

Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60%
sampah dihasilkan dari rumah tangga, sebagian berupa sampah organik sisa makanan dan sampah kemasan plastik. Aktivitas industri menghasilkan 30% sampah berupa limbah produk, bahan kemasan, dan bahan tidak habis pakai. Institusi publik seperti kantor pemerintah, sekolah, dan medis menyumbang 10% sampah mencakup berbagai jenis sampah. (Widodo, 2019).

Praktik pengolahan sampah yang dilakukan sebanyak 69% sampah diangkut dan dikubur di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sebanyak 10% sampah ditimbun, sebanyak 7% dikomposkan dan didaur ulang, sebanyak 5% sampah dibakar, serta sisanya 7% tidak dikalola dengan baik. (Agustin, Sudarti, & Yushard, 2023).

Namun masih banyak TPA yang masih menggunakan cara konvensional yaitu dengan menumpuk sampah begitu saja pada lahan terbuka atau open dumping yang berpotensi untuk mencemari air, tanah, dan udara. Open dumping bukanlah solusi dari penanggulangan sampah berkelanjutan.

Volume sampah akan terus bertambah tiap tahunnya sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Semakin besar populasi dari penduduk maka akan semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi, dari pemenuhan kebutuhan ini sisa yang
tidak terpakai seperti kemasan produk dan sisa produk akan menjadi sampah. LFG (Landfill Gas) yang merupakan produk sampingan alami dari dekomposisi sampah di tempat pembuangan akhir terdiri atas gas metana dan karbon dioksida.

Sampah organik yang membusuk di TPA akan menghasilkan emisi gas CH4 (Metana) dan CO2 (Karbon dioksida) sebagai hasil dari penguraian. Kedua gas ini merupakan gas rumah kaca (GRK) yang dapat memicu pemanasan global jika dibiarkan secara terus menerus. Dampak pemanasan global yang ditandai dengan peningkatan suhu bumi akibat bertambahnya konsentrasi gas
rumah kaca (GRK) di lapisan atmosfer dekat permukaan bumi adalah perubahan
iklim.

Fenomena mengenai perubahan iklim ini tidak hanya mengancam ekosistem alami tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial. Data hasil emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di TPA Bantargebang di
Bekasi Jawa barat mencapai angka 2.034,5 ton CO2 per tahun (Sekarsari, Kristanto , & Dahlan, 2023), sedangkan di Kalimantan Selatan tepatnya di TPA
Basirih diperkirakan pada angka 0,38876 Gg per tahun.

Emisi GRK di TPA Telumelito provinsi Gorontalo pada tahun 2023 diperkirakan 889 Gg per tahun. (Muarif, Jusuf, & Prasetya, 2022). Diperkirakan pada tahun 2023 potensi metana di TPA Makbon kota Sorog Papua Barat Daya mencapai 1,484E+5 m3/tahun .(Allo & Widjasena, 2019). Data ini menunjukkan bahwa persoalan emisi sampah bukan hanya terjadi di satu daerah saja tetapi di seluruh Indonesia.

Hal ini lah yang membuat angka emisi GRK terus naik setiap tahun karena tidak ada penanganan konkrit terkait permasalahan ini. Bukan hanya udara, tetapi akan ada efek samping pencemaran lain dari sistem open dumping yakni leachate. Leachate yaitu cairan yang dihasilkan dari percolasi air melalui tumpukan sampah mengandung senyawa kimia seperti logam berat dan senyawa organik dapat meresap pada tanah sehingga mengganggu kesuburan dan merusak tanah.

Selain itu leachate yang mengalir ke kubangan air atau sumber air dapat mencemari air tersebut sehingga tidak layak untuk digunakan.

Waste to energy (WTE) menjadi solusi untuk pengelolaan sampah sekaligus kebutuhan energi yang juga akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. WTE dapat dikategorikan sebagai sebagai salah satu bentuk EBT dikarenakan sampah, sebagai sumber energi dapat dihasilkan secara terus menerus oleh aktivitas manusia setiap harinya.

WTE umumnya diklasifikasikan ke dalam teknologi pengolahan biologis atau biokimia dan teknologi perlakuan teral atau termokimia. Prinsip waste to energi dapat diterapkan di TPA untuk mengurangi emisi yang dihasilkan dari tumpukan sampah yang hanya dibiarkan terus menerus. Gas CH4 akan dimanfaatkan menjadi biogas yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar.

Di Indonesia, beberapa TPA telah mengadopsi teknologi WTE untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu contoh yang dapat dijadikan referensi penerapan teknologi WTE adalah TPA Benowo Surabaya yang menggunakan teknologi ini untuk mengolah sampah menjadi listrik. TPA ini memiliki fasilitas yang mampu mengolah 1000 ton sampah perhari hingga menghasilkan listrik dengan kapasitas sekitar 12 MW (Mega Watt).

Terlepas dari biaya pembangnan infrastruktur untuk penerapan WTE pada TPA yang tinggi, pembangunan WTE menjadi salah satu jawaban dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan dapat menghasilkan energi terbarukan yang ramah lingkungan sekaligus mengurangi dapak dari emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh penimbunan sampah yang ada di TPA dengan system open dumping oleh karena itu Penerapan prinsip WTE dalam pengolahan sampah membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan masyarakat.