Menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, Indonesia menargetkan transisi energi untuk mencapai bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Namun, target tersebut masih sangat jauh dari harapan, Kementerian ESDM (2024) menyatakan bauran EBT di Indonesia baru mencapai 13,93%, dengan dominasi batu bara dan minyak bumi yang
secara kumulatif mencapai 70%.

Sumber: Dunia Energi

Kendala terbesar dari transisi energi adalah biaya yang besar, Kementerian Keuangan (2023) memperkirakan biaya program transisi energi membutuhkan biaya sebesar Rp4000 triliun hingga tahun 2030. Sedangkan rilis terakhir Dana Alokasi Khusus fisik di bidang
infrastruktur EBT hanya mencapai Rp88 miliar.

Joko Haryanto, Direktur Utama BPDLH
menyatakan bahwa pembiayaan transisi energi di Indonesia juga harus dilakukan melalui program kerja sama pemerintah dan swasta.

Wacana skema Power Wheeling (PW) sempat menjadi pembahasan hangat, terutama pada RUU EBET, yakni sebuah mekanisme yang memperbolehkan pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT dan menjual secara langsung ke masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

Menurut Ahli Transisi Energi, Fabby Tumiwa mengatakan skema PW diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan EBT di Indonesia. Namun, skema PW ditentang karena beberapa hal, yakni: 1. Isu konstitusionalitas terkait penguasaan negara; 2. Tarif listrik yang meningkat; 3. Liberalisasi sektor ketenagalistrikan.

Maka, penulis akan merekonseptualisasi skema PW agar dapat memenuhi kebutuhan percepatan EBT dan ketenagalistrikan Indonesia.

Secara filosofis, skema PW tidak menyalahi konstitusi terkait penguasaan negara terhadap cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup. Perlu dibedakan antara penggunaan kata ”dikuasai” atau ”dimiliki”, frasa ”dikuasai” pada hakikatnya berarti memiliki kewenangan mengelola, yang caranya dapat secara penuh atau bekerja sama dengan swasta. Sehingga pemaknaan ”dikuasai” harus dimaknai secara luas, selama bertujuan baik.

Adapun skema PW sebenarnya sudah dikenal di UU Ketenagalistrikan dan Permen ESDM
1/2015. Namun belum terlaksana karena belum ada peraturan pelaksana dan konsep yang jelas. Atas permasalahan tersebut, Pemerintah dapat menentukan lokasi yang dapat dilakukan skema PW, agar terjadi pemerataan pasokan listrik. Selanjutnya rekonseptualisasi skema PW akan dilakukan melalui sistem Build, Operater, Transfer (BOT).

Pihak swasta nantinya dapat membangun, mengoperasikan pembangkit listrik EBT, dan menjual listrik sesuai waktu kontrak. Di akhir masa kontrak, pembangkit listrik EBT akan dialihkan ke
pemerintah melalui PLN untuk dilanjutkan operasinya.

Selain itu, Pemerintah bersama PLN akan menetapkan tarif minimal dan maksimal untuk penjualan listrik, agar mencegah tarif yang terlalu mahal dari pihak swasta.

Salah satu perbandingan negara yang berhasil menerapkan skema PW adalah Vietnam. Hal ini berdampak positif pada transisi energi di Vietnam yang mencapai 20,8% bauran EBT di tahun 2023. Selain itu Vietnam memperoleh peningkatan invetasi, seperti misalnya investasi Perusahaan Tesla sebesar 1,5 miliar US Dollar ke Vietnam di tahun 2024 karena
berhasil menyediakan EBT.

Skema PW terhadap cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak bertentangan dengan konstitusi jika dimaknai secara luas. Pemerintah berwenang untuk menetapan batasan tarif penjualan listrik agar dapat menstabilkan pasar. PW dilakukan dengan sistem Build, Operate, Transfer (BOT).

Skema ini memungkinkan pihak swasta membangun dan mengoperasikan pembangkit EBT, yang kemudian dialihkan ke pemerintah setelah kontrak selesai