Pada November 2021 saya diminta sebagai panelis di forum Energy adn Mining Editor Society (E2S) bertema “Kilang Dalam Transisi Energi”, dengan subtema ‘Roadmap Pengembangan Kilang Petrokimia, Green Fuel, serta Hilirisasi Produk.’
Saya membuka diskusi penel itu dengan Kisah Zaman Batu yang berakhir bukan karena batu sudah habis, tapi peruntukannya yang beralih-fungsi karena ditemukannya material dan ‘teknologi’ lain yang menggantikannya, yakni besi, tembaga, dan seterusnya. Batu masih ada, tapi bukan lagi sebagai senjata, alat potong, atau untuk keperluan sehari-hari lainnya.
Demikian yang akan terjadi pada bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas bumi). Dengan adanya syarat dan kecenderungan penggunaan energi masa depan yang harus selaras (comply) dengan ‘3D’ (dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi), maka mau tidak mau bahan bakar fosil yang erat kaitannya dengan emisi unsur karbon akan semakin ditinggalkan. Apalagi COP26 di Glasgow, UK, yang baru lalu sudah mengisyaratkan target penurunan suhu bumi hingga 1,5 derajat Celsius dan ‘Net-Zero carbon emission’ hingga 2050. Artinya, penggunakan sumber energi fosil sebagai bahan bakar akan dikurangi secara signifikan.
Lalu bagaimana dengan nasib kilang minyak Indonesia?
Dalam presentasi tersebut saya tunjukkan cadangan minyak dan gas bumi negara-negara yang tergabung dalam OPEC maupun Non-OPEC sebagai pembanding dengan cadangan migas kita. Nyatanya bahwa cadangan migas Indonesia tidak ada apa-apanya dibanding cadangan mereka. Sebut saja Venezuela yang memiliki 17.8% dari cadangan minyak dunia atau sekitar 304 milyar barrel minyak. Atau Saudi Arabia yang menduduki ranking kedua, sekitar 298 milyar barrel minyak (17.2% dari cadangan minyak dunia).
Indonesia hanya memiliki sisa cadangan terbukti (P1) sekitar 3,15 miliar barrel. Hal ini sering disebutkan di berbagai tulisan maupun presentasi ilmiah bahwa jika sekarang ini setiap hari diproduksikan rata-rata 650 – 700 ribu barrel, dengan tanpa menemukan cadangan baru yang besar, maka dalam belasan tahun sisa cadangan minyak Indonesia akan habis. Untuk itu aktivitas eksplorasi selalu digaungkan, agar hasilnya sesuai harapan. Itulah kenapa dalam target produksi 1 juta barrel minyak dan 12 miliar kaki kubik gas per hari di tahun 2030 yang dicanangkan pemerintah, salah satu upayanya adalah mengandalkan keberhasilan eksplorasi.
Katakanlah target produksi 1 juta barrel minyak per hari itu tercapai di tahun 2030 sehingga kebutuhan bahan baku (feed-stock) kilang minyak Pertamina, yang sekarang sekitar 1 juta barrel, terpenuhi. Dengan asumsi jenis minyak yang tidak cocok dengan desain kilang dapat di-swap dengan minyak impor yang sesuai, maka yang perlu dipertimbangkan adalah adanya keterikatan kita sebagai warga dunia dengan keputusan COP26.
Kita tidak boleh menutup mata dengan keputusan COP26, karena sebagian besar kilang minyak kita menghasilkan bahan bakar untuk transportasi (BBM). Di sinilah perlunnya reposisi kilang minyak Indonesia untuk menyelaraskan antara komitmen pemerintah terhadap keputusan COP26 dengan program green fuel dan hilirisasi sektor migas.
Reposisi kilang minyak yang dimaksud adalah dengan membuat semakin beragamnya produk petrokimia yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Alih-alih memperbesar dan meperluas kilang, atau bahkan membangun kilang baru, untuk meningkatkan produksi bahan bakar minyak, ada baiknya lebih menganeka-ragamkan (diversifikasi) produk petrokimianya. Apalagi sudah diperkirakan kecenderungan penggunaan kendaraan listrik semakin meningkat di tahun-tahun yang akan datang.
Selain itu, perlu dipikirkan dan direncanakan dengan lebih rinci tentang keberadaan gas jika target 12 milyar kaki kubik per hari itu tercapai. Sampai saat ini belum terlihat ada tanda-tanda membangun infrastruktur gas dan LNG yang dapat menampung, mendistibusikan, dan memanfaatkannya. Apalagi kalau kita menginginkan gas bumi sebagai energi transisi sebelum beralih ke ‘Zero-carbon emission’, yakni ke era energi baru dan terbarukan (EBT). Kita harus belajar dari Kisah Zaman Batu di awal tulisan ini.
Agaknya masih banyak hal yang perlu dibenahi, termasuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah sebagai turunannya. Maka, sebaiknya kita langsung membedah Undang-Undang Energi daripada hanya berkutat pada Undang-Undang Migas yang tidak pernah jadi. Karena kita perlu langkah besar yang strategis bagaimana mengatur penggunaan energi yang beragam dan berlimpah di negara zamrud khatulistiwa ini.
Komentar Terbaru