Lebih dari 80% energi dunia dipasok menggunakan bahan bakar fosil, dengan permintaan minyak & gas diprediksi meningkat seiring meningkatnya aktivitas ekonomi dalam waktu dekat. Namun, meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil ikut meningkatkan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti emisi gas rumah kaca (Gas 𝐶𝑂2, 𝐶𝐻4, dan 𝑁2).

Melihat perkembangan dunia saat ini, Wood Meckenzie dalam White Paper yang berjudul “Achieving Resilience in the Energy Transition to Safeguard Indonesia’s Economic Growth & Sustainable Development” (Ngu dkk., 2023) berpandangan skeptis bahwa dunia sulit mencapai target Net Zero Emission 2050. Di mana dengan mempertimbangkan rendahnya laju perkembangan teknologi dan minimnya komitmen investasi energi terbarukan, didapat proyeksi kenaikan suhu global mencapai 2,5°C.

Baik pemerintah, organisasi internasional, dan LSM telah mengakselerasi segala upaya yang tepat untuk memitigasi perubahan iklim selama 50 tahun terakhir. Konvensi tentang Polusi Udara Jarak Jauh Lintas Batas (1979) dan Protokol Montreal (1978) adalah salah satu upaya yang berhasil dan menjadikan landasan awal bagi Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Di bawah UNFCCC, kerangka kerja turunan seperti Konferensi Perubahan Iklim (COP) menghasilkan Paris Agreement dan target dunia dalam mencapai kenaikan suhu maksimal 1,5°C/tahun. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu kerangka kebijakan untuk menurunkan konsumsi energi global (Bertoldi, 2022). Di Indonesia sendiri, kebijakan tersebut dilahirkan melalui UU No. 16 tahun 2016 yang meratifikasi Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate Change, tak hanya itu, Indonesia juga telah menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat UNFCCC tahun 2016 dengan arahan implementasi pelaksanaannya yang dituangkan dalam Roadmap Enchanced NDC di tahun 2022, serta dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-CCR) 2050 yang diserahkan pada tahun 2021.

Pada dokumen tersebut, dinyatakan bahwa Indonesia akan mencapai “Peak Emissions” di tahun 2030 dan NZE untuk semua sektor penghasil emisi di tahun 2060 atau lebih awal melalui skenario Current Policy (extended NDC), transisi dan LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement).

Berkaca dari hal tersebut, sejatinya Pemerintah Pusat sudah membuat pedoman arah kebijakan implementasi EBT di seluruh wilayah Indonesia. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2009. Namun, regulasi tersebut masih terlalu umum dan tidak memuat langkah-langkah strategis, ditambah kondisi sosio-geografis yang dimiliki berbagai daerah membuat daerah tersebut memiliki keterbatasan ruang gerak dan diharuskan membuat kebijakan turunan.

Akibatnya, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki keterbatasan lanskap dan strategi untuk diterapkan di daerahnya. Dengan potensi EBT yang dimiliki DIY relatif terbatas, Pemda harus merumuskan kebijakan strategi pengelolaan energinya, di mana DIY perlu memberikan tekanan lebih pada kebijakan konservasi energi dan sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya EBT yang ada.

Identifikasi Masalah dan Analisis
Secara sosio-geeografis, DIY merupakan provinsi pengimpor energi karena tidak memiliki sumber daya energi berbasis fosil. DIY mendapatkan suplai dari luar provinsi untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi finalnya (listrik, bahan bakar minyak, dan bahan bakar gas). Kelistrikan DIY tergabung dalam sistem interkoneksi Jawa Madura Bali (JAMALI) PLN (Perda DIY No.6 Tahun 2020 tentang RUED DIY Tahun 2020-2050, 2020). Hal tersebut menyebabkan DIY rentan terhadap fluktuasi pasokan energi dari luar, yang pada gilirannya dapat memengaruhi stabilitas energi daerah.

Berkaca dari hal tersebut, dengan potensi EBT di DIY diprediksi mencapai 7,52 GW dengan potensi energi surya mencapai 7,35 GW, energi angin 150 MW, biomassa 15 MW, dan sumber energi air 15,7 MW, DIY telah merumuskan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang mengacu pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Pada strategi yang tercantum di RUED DIY telah diproyeksikan mengenai penghematan energi sebesar 12% pada tahun 2025 dan 24% pada tahun 2050, dengan membandingkannya terhadap skenario Business As Usual (BAU).

Penghematan tersebut diharapkan dapat dicapai melalui berbagai inisiatif, seperti peningkatan elastisitas dan intensitas energi, optimalisasi penggunaan energi terbarukan, serta menekankan diversifikasi energi dengan memperbesar porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi daerah.

Strategi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mengurangi ketergantungan DIY pada energi impor, tetapi juga untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi karbon dioksida (𝐶𝑂2), yang diperkirakan dapat mencapai penurunan emisi hingga 9,51 juta ton pada tahun 2050. Belum lagi, dalam (PERDA DIY NOMOR 6 TAHUN 2020), tingkat pencapaian konsumsi listrik per kapita yang diproyeksikan untuk DIY juga masih berada di bawah target yang ditetapkan oleh KEN, yaitu 1.259 kWh/kapita pada tahun 2025.

Padahal target yang ditetapkan oleh KEN adalah sebesar 2.500 KWH/kapita. Hal tersebut jelas mengindikasikan bahwa masih ada gap yang harus diatasi untuk memastikan bahwa semua penduduk DIY dapat menikmati akses listrik yang memadai sekaligus mengurangi impor energi.

Tinjauan Aspek Kebijakan Saat Ini
Pertama, dari sisi regulasi, tercatat hanya Perda 15/2018 tentang EBT yang telah diterbitkan oleh Pemda DIY untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan di kota pelajar ini. Namun, regulasi tersebut masih belum diimplementasikan di lapangan. Selain itu, belum diaturnya strategi pengembangan energi terbarukan yang jelas serta insentif untuk energi terbarukan dalam regulasi tersebut, menciptakan ketidakpastian pasar dan menghambat invesi.

Adapun insentif yang disebutkan dalam Pasal 41 ayat 2 (dua) hanya berupa pemberian penghargaan dan dukungan perizinan. Selaras dengan tren di sektor ketenagalistrikan, Pemda DIY juga belum memiliki peraturan yang dapat menarik minat masyarakat dan mempercepat adopsi teknologi energi bersih di sektor transportasi, industri dan bangunan seperti yang dilakukan India, di mana Program BELP menjadi patokan bagi Kementerian Energi India untuk mengesahkan UU Konservasi Energi Tahun 2001, agar harga CFL kedepannya dapat turun dengan mengajak beberapa vendor terkait untuk berpartisipasi (Ahuja dkk., 2009).

Kedua, dari sisi sosio-ekonomi, berdasarkan Data dari (Renstra 2023 – 2026 PUPESDM DIY) menunjukkan capaian sasaran strategis “Meningkatnya Rumah
Tangga Berakses Listrik” telah mencapai target 99,99%, sama seperti tahun sebelumnya. Namun, menurut (Bappeda Jogja, 2024), penambahan jumlah rumah tangga miskin (subsidi) yang menikmati listrik sebesar 1.471 KK belum mencapai target baseline sebesar 1.952 KK.

Dari aspek bauran energi, porsi EBT dalam bauran energi daerah DIY pada tahun 2022 hanya mencapai 6,47%, dengan target 6,6% pada tahun 2025 (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah, 2023). Selain itu, alokasi dan realisasi anggaran menunjukkan efisiensi sebesar 7,71% (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah, 2023), yang pada satu sisi mencerminkan adanya upaya penghematan, namun di sisi lain mengindikasikan kurang optimalnya alokasi sumber daya untuk mencapai target yang lebih ambisius.

Misalnya, realisasi program pengelolaan energi terbarukan hanya mencapai 92,29% dari target anggaran, dan penurunan anggaran ini semakin parah sejak tahun 2021, dengan jumlah anggaran yang terus menurun dari Rp878,3 juta menjadi hanya Rp134 juta pada tahun 2023 (Rahmadi, 2023).

Pada tahun 2023, anggaran yang tersedia hanya digunakan untuk pemeliharaan 313 pembangkit energi terbarukan milik pemda dengan rincian 310 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), 2 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dan 1 Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH) (Alghifari, 2023).

Penurunan anggaran ini mengakibatkan minimnya implementasi Perda DIY Nomor 15/2018 tentang Energi Terbarukan. Dengan adanya anggaran yang terus menurun, pemerintah daerah perlu lebih aktif dalam menarik investasi swasta dan mengembangkan kemitraan publik-swasta untuk mempercepat transisi energi ini. Tanpa dorongan yang lebih kuat, pengembangan EBT di DIY bisa terhambat, mengakibatkan ketergantungan yang terus-menerus pada sumber energi fosil yang merugikan ekonomi dalam jangka panjang.

Ketiga, dari sisi teknologi, Pemerintah DIY telah mengembangkan aplikasi SIPGELIS (Sistem Informasi Pengawasan dan Pengendalian Perizinan Ketenagalistrikan) sebagai inovasi untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian perizinan di sektor ketenagalistrikan (Laporan Kinerja Instansi Pemerintah, 2023). Namun, aplikasi tersebut tampaknya lebih berfokus pada aspek administrasif dan perizinan.

Selain itu, terdapat uluran program dari pusat, yakni Desa Mandiri Energi (DME) yang dimulai sejak tahun 2007 (Sugiyono, 2010). Program tersebut bertujuan untuk mengembangkan pembangkit listrik terdesentralisasi di berbagai desa dengan memanfaatkan EBT lokal. Namun, sebaran penduduk DIY yang berpencar-pencar di daerah pesisir membuat pemanfaatan EBT hanya tersentralisasi di satu komunitas.

Adapun teknologi yang potensial untuk dikembangkan di DIY adalah teknologi bahan bakar nabati (BBN), biogas, pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) (Sugiyono, 2010).

Sayangnya, kebijakan dan implementasi terkait pengembangan teknologi tersebut masih belum dimaksimalkan mengingat minimnya insentif dari pemerintah.

Keempat, dari sisi lingkungan hidup, emisi CO2 pada penggunaan energi DIY naik secara signifikan, dari 2,80 MT CO2 pada tahun 2015 menjadi 3,20 MT CO2 pada tahun 2017. Tren ini juga tercermin dalam emisi per kapita yang naik dari 0,76 Ton CO2/kapita pada tahun 2015 menjadi 0,85 Ton CO2/kapita pada tahun 2017, serta emisi per PDRB yang meningkat dari 33,53 Ton CO2/Miliar Rupiah menjadi 34,44 Ton CO2/Miliar Rupiah pada periode yang sama (Perda DIY No.6 Tahun 2020 tentang RUED DIY Tahun 2020-2050, 2020).

Tentu kenaikan emisi tersebut mengindikasikan adanya kebijakan yang belum efektif dalam mengendalikan dan mengurangi dampak lingkungan dari aktivitas energi.

Berdasarkan skenario Business As Usual (BAU) yang tercantum pada RUED DIY, emisi CO2 diproyeksikan akan terus tumbuh hingga mencapai 11,80 MT pada tahun 2050, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan dampak lingkungan serius apabila tidak diimbangi dengan upaya reduksi yang lebih agresif.

Implementasi Kebijakan Three Phase Strategy dan Deliberasi Instrumental
Dalam arus global yang semakin sadar akan pentingnya konservasi energi, China membuktikan diri sebagai salah satu negara yang mampu menjaga keamanan energinya sembari tetap berkomitmen pada penurunan emisi karbon (Chotimah,
2017).

Pendekatan China tidak hanya relevan bagi negara-negara besar, tetapi juga dapat diadaptasi oleh wilayah dengan skala lebih kecil seperti DIY. Pada awal memulai proyek transisi energi, China dihadapkan pada masalah populasi yang besar dengan tingkat kemiskinan yang signifikan serta tantangan pembangunan
ekonomi yang kompleks (Gambhir dkk, 2012).

Apabila kita menggunakan studi kasus pada DIY, bisa dikatakan DIY juga menghadapi situasi dan tantangan serupa,
meskipun dalam skala regional tentunya.
Kondisi beberapa wilayah di DIY yang masih hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, serta masih bergantungnya mayoritas masyarakat pada sektor pertanian tradisional, dan industri di DIY yang belum efisien secara energi, tentu menambah beban pada ekonomi dan lingkungan.

Kondisi tersebut jelas memaksa pemangku kebijakan untuk menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan kebutuhan untuk mengurangi emisi karbon untuk menjaga lingkungan.

Gambar 1. Tingkat Penduduk Miskin Kabupaten/Kota DIY- Jateng 2024 ((Firosy & Suditomo, 2024)

Adapun strategi untuk menghadapi kondisi tersebut dapat melalui tiga fase, yakni i) fase energy self-sufficiency, ii) fase supply-oriented energy security dan going abroad strategy, dan iii) fase penurunan intensitas dan konservasi energi (Chotimah, 2017).

Gambar 2. Pendekatan Three Phase Strategy

Fase Pertama: Energy Self-Sufficiency
Fase pertama adalah pemfokusan terhadap swasembada energi (energy self-sufficiency), dengan penekanan pada sumber daya energi internal. Di DIY, fase pertama ini dapat dimanifestasikan melalui pengembangan infrastruktur energi terbarukan yang memanfaatkan potensi lokal, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di berbagai wilayah yang memiliki potensi tersebut.

Tentu program tersebut haruslah didukung oleh kebijakan yang mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengembangan energi terbarukan, serta melibatkan swasta dan akademisi dalam tahap realisasinya.
a) Inventarisasi Potensi Energi Terbarukan Pada fase ini dilakukan studi mendalam yang melibatkan para akademisi sebagai bentuk memanfaatkan keuntungan DIY sebagai kota pelajar untuk memetakan potensi energi terbarukan di seluruh wilayah DIY, termasuk potensi
tenaga surya, angin, mikrohidro, dan biomassa.
b) Pengembangan Infrastruktur Energi Lokal
Melihat potensi sinar matahari yang terik dan banyaknya wisata-wisata air atau sungai sehingga strategi yang diterapkan adalah membangun PLTS di wilayah- wilayah dengan intensitas sinar matahari tinggi, serta PLTMH di daerah perbukitan yang memiliki aliran sungai kecil yang dapat dimanfaatkan.
c) Desa Mandiri Energi (DME)
Kemudian langkah ketiga pada fase satu ini adalah dengan memperluas dan memperkuat program Desa Mandiri Energi yang telah ada, dengan menambah
cakupan desa-desa yang berpartisipasi dan meningkatkan kapasitas produksi energi terbarukan mereka.

Kegiatan DME juga dapat bekerja sama dengan lembaga atau organisasi mahasiswa di kampus sebagai upaya melibatkan mahasiswa dan akademisi. Contohnya seperti organisasi Dewan Energi Mahasiswa (DEM) UGM yang telah memiliki program kerja Desa Energi yang telah dilaksanakan dan berjalan di Desa Tamanmartani, Kalasan dan Tlatar Kandangan, Turi, DIY.

Penerapan langkah-langkah tersebut akan membantu mengurangi ketergantun DIY pada energi fosil yang dipasok dari luar daerah, sekaligus dapat meningkatkan ketahanan energi lokal. Peningkatan ketahanan energi ini juga akan mendukung penciptaan lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan, yang pada gilirannya akan membantu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Setelah swasembada energi tercapai, DIY harus berfokus pada penguatan keamanan pasokan energi (supply-oriented energy security).

Dalam konteks ini, langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemerintah DIY meliputi diversifikasi sumber energi, peningkatan efisiensi distribusi energi, dan adopsi teknologi baru. Diversifikasi sumber energi dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai jenis energi terbarukan secara bersamaan. Jika pada fase pertama sudah dilakukan inventarisasi jenis energi terbarukan yang potensial, maka pada tahap ini
diversifikasi lebih menyangkut hal teknis dalam pemanfaatan energi seperti tenaga surya, angin, dan biomassa, untuk memastikan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan.

Fase Kedua: Supply Oriented Energy Security & Going Abroad Strategy
a) Diversifikasi Sumber Energi
Mengembangkan berbagai jenis pembangkit energi terbarukan yang disesuaikan dengan potensi lokal berdasarkan hasil inventarisasi, misalnya pengembangan pembangkit listrik tenaga angin di daerah pesisir dan pembangkit listrik tenaga biomassa di kawasan pertanian.
b) Peningkatan Efisiensi Jaringan Distribusi Dalam hal ini dilakukan upaya memperkuat jaringan distribusi energi agar lebih efisien dan tahan terhadap gangguan, serta memastikan bahwa energi yang dihasilkan di satu wilayah dapat didistribusikan secara efektif ke wilayah lain yang membutuhkannya.
c) Kolaborasi Antar Lokal dan Internasional Perlu juga membangun kerjasama dengan daerah lain di Indonesia, serta dengan negara-negara atau wilayah yang memiliki teknologi maju dalam pengelolaan energi terbarukan, untuk transfer teknologi dan transfer of knowledge.

Kolaborasi ini pada gilirannya juga dapat menjadi peluang DIY untuk mengenalkan budaya dan pariwisatanya ke dunia.

Perlu kita pahami bersama, bahwa pada fase kedua ini, DIY perlu untuk mengadopsi teknologi terbaru dalam pengelolaan energi, seperti smart grid, yang dapat meningkatkan efisiensi distribusi energi dan meminimalisasi kehilangan energi. Selain itu, kerjasama antar daerah dan internasional akan membuka peluang bagi DIY untuk belajar dari best practice di tempat lain, serta mendapatkan akses ke teknologi dan sumber daya yang lebih canggih.

Fase Ketiga: Tahap Transisi dan Konservasi Energi
Setelah fase pertama dan kedua dilaksanakan, DIY harus beralih dari fokus pada efisiensi energi ke pengurangan intensitas karbon. Tahap ketiga atau disebut dengan tahap transisi ini penting untuk mencapai target penurunan emisi karbon yang lebih ambisius, sejalan dengan komitmen global terhadap perubahan iklim.

Langkah-langkah strategis pada fase ketiga ini harus mencakup kebijakan yang ketat dalam konservasi energi, serta penerapan teknologi rendah karbon di seluruh sektor, termasuk transportasi, industri, dan rumah tangga. Strategi utama dalam fase ini meliputi:
a) Pengembangan Kebijakan Konservasi Energi DIY perlu menerapkan regulasi yang mewajibkan pengurangan penggunaan
energi di sektor-sektor dengan konsumsi energi tinggi, seperti industri dan transportasi, serta mendorong adopsi teknologi hemat energi.
b) Peningkatan Penggunaan Teknologi Rendah Karbon Selain itu juga perlu memperluas penggunaan kendaraan listrik dengan terlebih dahulu memperkuat infrastruktur fisik, penerapan sistem berbasis tenaga surya di sektor pertanian, dan teknologi bersih lainnya dalam skala besar, baik di sektor publik maupun swasta.
c) Pendidikan dan Kesadaran Publik
Tidak kalah penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon melalui kampanye edukasi, serta mendorong partisipasi aktif dalam program-program konservasi energi dengan memanfaatkan media sosial dan menggaet tokoh-tokoh atau influencer Jogja yang terkenal.

Pada fase ketiga ini, fokus utama adalah memastikan bahwa pengurangan emisi karbon menjadi bagian integral dari semua kegiatan ekonomi dan sosial di DIY. Penerapan teknologi rendah karbon harus didukung oleh insentif pemerintah, seperti subsidi untuk pembelian kendaraan listrik atau pengurangan pajak bagi perusahaan yang menerapkan teknologi hijau. Juga tak lupa keterlibatan akademisi untuk menyediakan riset-riset berkualitas yang mendukung agenda penerapan teknologi tersebut.

Pasca Tiga Fase Terlaksana: Penyelarasan Kebijakan dan Deliberasi
Instrumental

Setelah melalui tiga fase tersebut, DIY perlu melakukan penyelarasan kebijakan yang holistik untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari penerapan strategi tersebut.

Penyelarasan kebijakan haruslah melibatkan integrasi kebijakan energi dengan kebijakan ekonomi dan lingkungan, serta memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sejalan dengan tujuan jangka panjang untuk mencapai ketahanan energi dan penurunan emisi karbon. Dalam konteks ini, proses deliberasi instrumental mencakup dua aspek utama:
a) Strategic-Instrumental.
Penyelarasan kebijakan energi dengan kebijakan ekonomi dan perubahan iklim, yang bertujuan untuk menciptakan sinergi antara berbagai kebijakan dan
memastikan bahwa semua kebijakan tersebut mendukung tujuan penurunan emisi karbon dan ketahanan energi.
b) Resource-Instrumental.
Pengembangan dan pemanfaatan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk teknologi rendah karbon, sumber daya manusia yang terlatih, dan dukungan finansial.

Adanya penerapan Three Phase Strategy dan deliberasi instrumental adalah ditujukan untuk memastikan bahwa DIY tidak hanya mengadopsi strategi yang tepat, tetapi juga memiliki sarana dan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan agendanya. Dengan demikian, langkah-langkah strategis seperti Three Phase Strategy dan deliberasi instrumental yang melibatkan semua pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mewujudkan visi ketahanan energi dan pengurangan emisi karbon di masa depan.

Apabila strategi-strategi tersebut
dilaksanakan dengan baik, DIY dapat menjadi percontohan bagi daerah lain dalam hal pengelolaan energi yang berkelanjutan dan responsif terhadap tantangan perubahan iklim global, di mana dalam proses transisinya tetap memperhatikan kondisi internal seperti tantangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang larut di dalamnya.