Saat ini, emisi karbon di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor energi dan transportasi. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekitar 87,4% produksi listrik nasional pada tahun 2022 masih berbasis bahan bakar fosil. Tentunya hal ini akan menyebabkan persediaan energi fosil akan terancam karena ketergantungan yang tinggi terhadap energi tersebut.
Pada tahun 2022, Indonesia bahkan tercatat sebagai negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia dengan total 700 juta ton emisi karbon pertahun, dimana angka tersebut meningkat 18% dari tahun sebelumnya (Laporan Global Carbon
Budget, 2022)

Sumber gambar: Katadata.com
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengurangi emisi karbon demi mencapai target Net Zero Emission 2060. Sistem energi saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, yang tidak hanya mencemari lingkungan tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap perubahan iklim. Bahan bakar fosil sendiri merupakan energi non terbarukan, dimana pengadaannya membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun.
Energi fosil ini berasal dari tumbuhan maupun hewan yang terkubur dalam tanah dengan jangka yang waktu yang sangat lama. Untuk itu, pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi solusi strategis. Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen bersama seluruh stakeholder terkait untuk saling berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi yang ada di Indonesia.
Mengingat Indonesia adalah negara yang luas dengan jumlah penduduk diatas angka 200 juta orang, maka hal tersebut terus menjadi tugas pemerintah dalam memasifkan berbagai program kerja unggulan yang ramah linkungan.
Pemerintah juga mencanangkan peningkatan literasi masyarakat terkait pentingnya penggunaan EBT sebagai alternatif atas ketergantungan terhadap energi fosil. Indonesia sendiri, di tingkat global, telah menyampaikan komitmennya pada Paris Agreement dengan menetapkan target penurunan emisi atau Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Komitmen yang semakin kuat tersebut ditunjukan dengan pembaruan Dokumen NDC Indonesia pada 2021 di mana Pemerintah Indonesia menambahkan sektor kelautan dan perikanan serta kontribusi dari sisi adaptasi. Pengaturan terkait pajak karbon sendiri diperkuat melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Tujuan utama pengenaan pajak karbon bukan hanya menambah penerimaan APBN semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle). Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
EBT sendiri memiliki peran vital dalam menciptakan sistem energi yang berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendukung pembangunan ekonomi hijau. Pemanfaatan potensi lokal seperti tenaga surya, angin, dan biomassa dapat menjadi solusi untuk memperluas akses listrik di daerah terpencil.
Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia adalah langkah strategis yang tidak hanya penting tetapi juga menjadi keharusan untuk mewujudkan target Net Zero Emission pada tahun 2060. Dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap isu perubahan iklim dan dampak negatif dari ketergantungan pada bahan bakar fosil, negara ini dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selain itu, Indonesia uuga perlu menyeimbangkan pertumbuhan ekonominya dengan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks ini, pemanfaatan EBT menjadi kunci utama untuk mencapai kedua tujuan
tersebut.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai jenis EBT. Beberapa teknologi utama yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah panel surya, turbin angin, energi laut, dan microgrid. Microgrid adalah sistem energi terdesentralisasi yang memungkinkan distribusi energi di level lokal.
Konsep ini sangat relevan untuk mengatasi tantangan ketimpangan akses energi di daerah terpencil di Indonesia. Dengan menggunakan microgrid berbasis EBT, daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh jaringan listrik utama dapat mendapatkan akses energi yang bersih dan terjangkau. Microgrid juga dapat meningkatkan ketahanan energi di daerah-daerah rawan bencana, karena sistem ini dapat beroperasi secara mandiri tanpa tergantung pada jaringan utama.
Microgrid adalah sistem distribusi energi lokal yang dapat beroperasi secara mandiri atau terhubung ke jaringan utama. Teknologi ini memungkinkan penggunaan sumber EBT secara optimal, khususnya di daerah terpencil seperti Papua. Microgrid dapat menyediakan sumber daya yang andal untuk daerah terpencil dan pedesaan terpencil dan pedesaan yang tidak terhubung ke jaringan listrik utama.
Komunitas-komunitas ini sering menderita mengalami pemadaman listrik dan pemadaman listrik karena kondisi jaringan listrik utama yang buruk. Microgrid dapat menyediakan sumber daya yang stabil yang tidak bergantung.pada jaringan listrik utama. Dengan pengembangan microgrid system maka ketergantungan terhadap energi non terbarukan dapat dikurangi.
Pengertian Microgrid (Berdasarkan Penelitian Jurnal) Microgrid adalah sistem distribusi energi lokal yang dirancang untuk menyediakan listrik yang handal, ramah lingkungan, dan fleksibel. Sistem ini dirancang untuk menjawab kebutuhan energi masyarakat lokal dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan efisiensi.
Microgrid dapat beroperasi dalam dua mode utama, yaitu “grid-tied” (terhubung dengan jaringan utama) atau “islanded” (beroperasi secara mandiri). Penelitian yang dilakukan oleh Ekanayake et al. (2020) menyoroti pentingnya microgrid dalam menjaga stabilitas energi di wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik utama.
Shahzad et al. (2023) menunjukkan bahwa microgrid memiliki potensi besar untuk meningkatkan akses energi berkelanjutan di daerah yang minim infrastruktur energi. Selain itu, integrasi microgrid dengan teknologi digital seperti Internet of Things (IoT) dapat memberikan efisiensi tambahan dalam mengelola pasokan dan permintaan energi. Penelitian oleh Lidula & Rajapakse (2011) juga mengemukakan bahwa microgrid memungkinkan penggunaan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, secara lebih efisien dengan dukungan sistem kontrol cerdas.
Lebih lanjut, Uddin et al. (2018) menyoroti peran penting sistem penyimpanan energi (Energy Storage System/ESS) dalam operasional microgrid. ESS mampu mengurangi beban puncak dan memastikan kontinuitas pasokan listrik, bahkan dalam kondisi darurat. Ansari et al.(2020) mencatat bahwa microgrid memberikan solusi desentralisasi energi yang memungkinkan masyarakat lokal untuk mengelola dan memiliki sumber daya energi secara mandiri.
Hal ini tidak hanya meningkatkan kemandirian energi tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi komunitas lokal.
Skema Microgrid System Microgrid system merupakan kombinasi dari berbagai komponen yang bekerja secara sinergis untuk menyediakan pasokan energi yang stabil dan ramah lingkungan. Sumber energi terbarukan menjadi elemen utama dalam sistem ini, seperti panel surya yang memanfaatkan intensitas matahari yang tinggi di berbagai wilayah Indonesia, turbin angin yang optimal di daerah pesisir dengan kecepatan angin yang stabil, biomassa yang mengolah limbah organik menjadi energi, hingga energi laut yang memanfaatkan teknologi Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) dan arus laut sebagai sumber energi tambahan.
Selain itu, sistem ini dilengkapi dengan komponen penyimpanan energi (ESS) yang berfungsi menyimpan energi berlebih dari sumber terbarukan. Baterai lithium-ion menjadi solusi populer untuk penyimpanan jangka pendek, sementara teknologi penyimpanan hidrogen memberikan alternatif untuk penyimpanan jangka panjang dan penggunaan darurat.
Sistem distribusi energi dalam microgrid dirancang untuk mendistribusikan energi langsung kepada pengguna akhir tanpa kehilangan daya yang signifikan. Jaringan lokal ini juga dilengkapi dengan sistem kontrol pintar yang mampu mengelola distribusi daya secara real-time.
Pengelolaan microgrid juga melibatkan teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT) untuk memantau performa komponen secara detail dan Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis data serta mengoptimalkan distribusi energi. Dalam operasionalnya, microgrid dapat berfungsi dalam tiga mode utama: grid-tied, di mana sistem terhubung dengan jaringan listrik utama untuk ekspor atau impor daya; islanded, yang memungkinkan operasional mandiri menggunakan sumber daya lokal; dan hybrid, yaitu kombinasi dari kedua mode tersebut untuk fleksibilitas maksimal.
Dengan efisiensi distribusi energi yang lebih tinggi, fleksibilitas operasional, dan kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan komunitas lokal, microgrid menawarkan solusi yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan energi masa depan.
Skema ini juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk mengadopsi teknologi energi terbarukan secara lebih luas dalam upaya mencapai Net Zero Emission 2060.
Komponen Dasar Microgrid
Mengetahui dan memahami teknologi pembangkit listrik yang menggunakan sistem baru sangat penting untuk mengevaluasi proyek microgrid yang potensial
1) Pembangkit: Sistem pembangkit microgrid terbagi menjadi dua, yakni dapat disalurkan dan tidak dapat disalurkan. Dapat disalurkan seperti generator gas alam, generator biogas, dan gabungan panas dan listrik (combined heat and power). Sedangkan tidak dapat disalurkan termasuk sumber-sumber terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, bahan bakar nabati dan lain sebagainya (Lidula, N. W. A., & Rajapakse, A. D. (2011).
2) Sistem penyimpanan energi: Energy storage system (ESS) melakukan beberapa fungsi dalam MG seperti memastikan kualitas daya, mengurangi beban puncak, pengaturan frekuensi, menghasilkan output dari sumber energi terbarukan (RES) dan menyediakan daya cadangan untuk sistem (Uddin, M., et al. 2018.) ESS juga memainkan peran penting dalam
optimasi biaya microgrid.
3) Beban: Microgrid menyajikan dua jenis beban utama: (i) beban kritis yang harus dilayani dalam semua kondisi dan (ii) beban yang dapat ditangguhkan beban yang dapat disesuaikan untuk penyeimbangan beban MG dan karenanya mencapai pembangkitan listrik yang paling
ekonomis (Mariam, L., et al. 2013)
Analisis SWOT
Microgrid memiliki kekuatan (strengths) utama dalam memanfaatkan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Sistem ini mengurangi emisi karbon secara signifikan dan mampu
mendukung komunitas yang tidak terjangkau oleh jaringan utama.
Keunggulan lainnya adalah fleksibilitas desainnya yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan lokal, serta efisiensi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem energi tradisional. Selain itu, microgrid memberikan keamanan energi yang lebih baik dengan memungkinkan operasional mandiri
selama pemadaman jaringan utama.
Namun, microgrid juga memiliki kelemahan (weaknesses) seperti biaya investasi awal yang tinggi. Pengembangan infrastruktur untuk energi terbarukan dan sistem penyimpanan memerlukan dana besar, yang menjadi tantangan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia.
Kompleksitas teknologi yang digunakan juga menjadi hambatan karena membutuhkan sumber daya manusia yang terampil untuk pengoperasian dan pemeliharaan. Dari sisi peluang (opportunities), microgrid membuka jalan bagi pengembangan energi lokal, khususnya di wilayah terpencil yang memiliki potensi sumber daya terbarukan.
Dukungan kebijakan pemerintah, seperti insentif untuk energi terbarukan dan pembiayaan inovatif seperti green sukuk, juga memperbesar peluang keberhasilan implementasi microgrid. Selain itu, adanya kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat dapat mempercepat pengembangan sistem ini.
Namun, ancaman (threats) yang dihadapi microgrid termasuk ketidakstabilan regulasi energi dan ketergantungan pada teknologi yang dapat rentan terhadap gangguan atau serangan siber. Selain itu, persaingan dengan sistem energi konvensional yang telah mapan juga menjadi tantangan besar.
Dengan menganalisis SWOT ini, dapat disimpulkan bahwa microgrid merupakan solusi yang menjanjikan untuk transisi energi di Indonesia. Meskipun ada tantangan, kekuatan dan peluang yang dimiliki microgrid dapat dimaksimalkan dengan perencanaan dan dukungan yang tepat dari berbagai pemangku kepentingan.
Kesimpulan
Penerapan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia adalah langkah krusial untuk mencapai sasaran Net Zero Emission pada tahun 2060. Dengan memanfaatkan berbagai teknologi, seperti panel surya, turbin angin, energi laut, dan microgrid, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta menurunkan emisi karbon yang membahayakan lingkungan.
Agar transisi energi ini dapat terwujud dengan sukses, Indonesia harus menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya investasi, kebijakan yang belum optimal, dan perlunya kerjasama yang erat antar sektor.
Salah satu teknologi yang sangat mendukung transisi energi ini adalah microgrid, yang berperan penting dalam memastikan keberlanjutan dan pemerataan akses energi. Microgrid merupakan sistem energi terdesentralisasi yang dapat menghasilkan dan mendistribusikan energi secara lokal, memanfaatkan sumber energi terbarukan seperti sinar matahari, angin, dan biomassa.
Dengan kemampuan untuk beroperasi secara mandiri maupun terhubung dengan jaringan utama, microgrid menawarkan fleksibilitas tinggi, khususnya di
daerah-daerah terpencil dengan infrastruktur yang terbatas. Teknologi ini juga meningkatkan ketahanan pasokan energi dan mempermudah integrasi berbagai sumber energi terbarukan yang dapat diproduksi secara lokal.
Keunggulan utama dari microgrid terletak pada kemampuannya untuk menyuplai energi di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik konvensional, seperti pulau-pulau terpencil dan daerah pedalaman. Dengan penerapan teknologi ini, Indonesia dapat mengatasi ketimpangan akses energi yang masih terjadi, terutama di wilayah Indonesia Timur dan daerah perbatasan yang masih sering kekurangan pasokan listrik.
Selain meningkatkan kualitas hidup masyarakat, penerapan microgrid juga membuka peluang ekonomi baru yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
Dengan adanya kebijakan yang mendukung, peningkatan investasi, dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun sistem energi yang berkelanjutan, inklusif, dan ramah lingkungan.
Pemanfaatan EBT, termasuk teknologi microgrid, akan mempercepat pemerataan akses energi di seluruh penjuru negeri, yang pada gilirannya akan memacu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis yang tepat untuk mempercepat transisi energi harus menjadi prioritas utama demi masa depan Indonesia yang lebih cerah, bebas emisi, dan lebih ramah terhadap lingkungan.
Microgrid berbasis EBT adalah solusi strategis untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Dengan pemanfaatan sumber daya lokal, teknologi ini dapat mendukung target Net Zero Emission 2060 dan menciptakan sistem energi yang adil, tangguh, dan berkelanjutan.
Dengan kebijakan yang mendukung, investasi yang lebih besar, serta kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan sistem energi yang berkelanjutan, inklusif, dan mendukung pembangunan ekonomi hijau. Pemanfaatan EBT akan mempercepat pemerataan akses energi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah-daerah terpencil, yang pada gilirannya akan mendorong pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, langkah-langkah strategis yang tepat untuk mempercepat transisi energi Indonesia harus menjadi prioritas utama demi masa depan yang lebih cerah, bebas emisi, dan ramah lingkungan.
Melalui strategi ini, Indonesia dapat memimpin transisi energi di kawasan Asia Tenggara. Microgrid bukan hanya solusi teknis tetapi juga langkah konkret untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang inklusif.
Komentar Terbaru