Kesepakatan itu muncul di pengujung September 2016. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat bermufakat untuk meningkatkan volume subsidi Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 13,5 persen tahun depan. Volume LPG bersubsidi pada 2017 disepakati 7,09 juta ton, lebih tinggi dari tahun ini sebesar 6,25 juta ton.
Ada beberapa pertimbangan pemerintah di balik kesepakatan untuk menentukan besaran volume subsidi LPG. Salah satunya adalah melihat tren pertumbuhan usaha mikro. Selain itu juga mempertimbangkan pertumbuhan rumah tangga di Indonesia Timur, yang sedang melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG. Untuk 2017, ada 517 paket rumah tangga di tiga daerah, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Maluku.
Harus diakui bahwa konsumsi LPG bersubsidi memang terus meningkat setiap tahun. Kementerian ESDM mencatat, sejak 2007 hingga 2015 tercatat konsumsi elpiji pada masyarakat kian melonjak hingga 21,1 juta metrik ton. Sementara pada 2015, volumenya mencapai 5,567 juta ton.
Namun, dalam praktiknya selama ini ada inefisiensi dalam penyaluran subsidi LPG. Makanya banyak masyarakat mampu pun menerima subsidi tersebut. Tahun ini nilai subsidi LPG sudah mencapai Rp 28 triliun, yang sebenarnya masih bisa dihemat.
Sejatinya penggunaan LPG kemasan 3 kilogram—akrab disebut Elpiji 3 kg– yang semestinya diperuntukan bagi rumah tangga golongan tidak mampu, dalam praktiknya sudah lama tidak tepat sasaran. Betapa tidak? Hingga saat ini, LPG bersubsidi kemasan 3 kg digunakan oleh setara sekitar 58 juta kepala keluarga (KK) atau dikonsumsi oleh sekitar 232 juta jiwa dari total 250-an juta jiwa penduduk Indonesia. Artinya, sudah sekitar 90 persen rakyat Indonesia yang menggunakan LPG bersubsidi. Padahal masih ada beberapa propinsi yang belum dilakukan program pengalihan minyak tanah ke LPG 3 kg seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.
Besarnya jumlah elpiji bersubsidi yang dikonsumsi masyarakat itu bukan berarti seluruhnya sengaja dinikmati oleh golongan mampu dan atau industri yang beralih ke elpiji 3 kg. Namun sudah dapat dipastikan, dengan jumlah pengguna sebanyak setara sekitar 58 juta KK tersebut, elpiji bersubsidi menjadi alat bisnis bagi para pelaku pengoplos yang mengoplos elpiji tabung 3 kg ke dalam tabung 12 kg dan 50 kg yang dijual dan digunakan oleh golongan mampu dan industri. Hal ini akibat disparitas harga yang sangat lebar di samping lemahnya aspek pengawasan dari aparat penegak hukum.
Elpiji bersubsidi sejak 2001 harga eceran tertingginya ditetapkan pemerintah hanya sebesar Rp 4.250/kg, sedangkan harga jual elpiji nonsubsidi pada posisi harga minyak dunia US$ 45 per barel adalah di sekitaran Rp.10.500/kg. Dengan menyelewengkan atau mengoplos elpiji 3 kg ke elpiji nonsubsidi, pengoplos bisa mengeduk keuntungan sebesar sekitar Rp 5.000/kg.
Mengecilkan disparitas harga jual untuk menghindari pengoplosan dengan memaksa PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, menurunkan harga jual elpiji nonsubsidi mendekati harga jual elpiji bersubsidi adalah tindakan bodoh dan sangat tidak solutif. Sekecil apapun disparitas harga elpiji, tetap memancing minat pengoplos untuk tetap melakukan pengoplosan.
Karena itu, pemerintah perlu membuat solusi yang bijak. Misalnya dengan membuat peraturan yang tegas dengan menetapkan bahwa elpiji bersubsidi hanya diperuntukan bagi kepentingan alat memasak pada rumah tangga, orang tidak mampu dan atau usaha mikro saja. Penetapan kelompok yang berhak ini ditetapkan dari hasil pendataan langsung yang seakurat mungkin.
Pemerintah sejatinya mampu menetapkan dengan alas hukum yang tegas bahwa penerima subsidi elpiji setidaknya adalah mereka yang selama ini telah tercatat sebagai penerima beras miskin (raskin). Ini akan lebih bisa diterima oleh setiap pihak draipada membuat parameter lain tentang apa yang dimaksud dengan orang miskin atau rentan miskin.
Pendistribusian beras miskin untuk rakyat miskin terbukti terselenggara dengan baik. Raskin sudah diterima masyarakat sebagai jaring sosial bagi masyarakat miskin yang telah terbukti mampu membantu meringankan beban rakyat miskin.
Karena itu, pendistribusian elpiji bersubsidi untuk orang miskin harusnya melibatkan serta menjadi domain kementerian sosial dan dibawah kendali Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia. Ketika pemerintah menetapkan siapa yang berhak ditetapkan sebagai pengguna elpiji bagi orang miskin dengan menggunakan data penerima beras miskin, ini sangat punya efek psikologis yang bisa membuat malu orang yang tidak mau disebut orang miskin jika mereka membeli elpiji 3 kg untuk orang miskin. Jika ini dilakukan tabung elpiji 3 kg untuk orang miskin harus diberi ciri khusus yang setiap orang bisa tahu penggunanya adalah orang miskin.
Harga jual elpiji bersubsidi 3 kg yang sudah sekitar 15 tahun tidak pernah dikoreksi naik pada dasarnya telah mengelabui masyarakat secara terbuka. Kendati pemerintah berdasarkan Permen ESDM sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) elpiji bersubsidi sejak 15 tahun yang lalu adalah sebesar Rp.4.250/kg, nyatanya masyarakat tidak pernah membayar untuk satu tabung elpiji bersubsidi sebesar itu. Masyarakat membeli dari penyalur akhir, yaitu pengecer dengan harga diantara Rp.20.000/tabung sampai Rp.30.000/tabung.
Anehnya, tentang harga yang tidak mengacu kepada harga yang ditetapkan pemerintah, rakyat nyaris tidak mempermasalahkannya asalkan elpiji selalu tersedia dan mudah diperoleh sepanjang waktu. Itu artinya publik sangat berharap bahwa elpiji yang disubsidi pemerintah semestinya ditetapkan dengan peraturan yang tegas hanya untuk penggunaan bagi rumah tangga orang miskin sebagai bantuan sosial pemerintah kepada rakyat yang dilakukan dengan pola distribusi beras untuk orang miskin
Di sisi lain, harga jual elpiji 3kg sudah saatnya dikoreksi ulang setidaknya mendekati harga elpiji nonsubsidi namun pemerintah harus menjamin bahwa HET elpiji bersubsidi berlaku sama diseluruh wilayah Ngara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah sudah saatnya menjelaskan kepada publik bahwa elpiji yang digunakan di negeri ini sekitar 70 persen adalah berasal dari impor. Masyarakat perlu tahu bahwa elpiji bukanlah produk yang murah. Apalagi LPG berbeda dengan LNG atau CNG. Harga jual elpiji juga bergantung dengan biaya distribusi , pajak, margin SPBE, margin agin agen, dan pangkalan. Ini harus dijelaskan secara komprehensif kepada masyarakat agar rakyat bisa memahami persoalan elpiji. (***)
Komentar Terbaru